Jumat, 07 Januari 2022

KEBER-MANFAATAN



Mukadimah Poci Maiyah Januari 2022

Oleh: Rizky Eka Kurniawan



Para fata memiliki kekuatan yang dahsyat dalam diri mereka hingga nafsu tak akan mampu menguasai mereka. Begitupula dengan apa-apa yang dijadikan watak bawaan jiwa, seperti rasa cinta akan sanjungan dan pengakuan.

—Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi

 


1 Januari, tepat saat petasan masih menghiasi langit-langit malam dan sorak meriah orang-orang masih terdengar merayakan pergantian tahun baru. Saya baru berkesempatan untuk berkunjung kembali ke Gubug Syafa’at, setelah mungkin hampir satu atau tiga tahun lamanya saya tidak pernah lagi ke sana karena beberapa alasan terkait pekerjaan saya yang sekarang berada di luar kota.


Di akhir-akhir kunjungan saya, tepat ketika waktu subuh hampir tiba dan fajar akan segera menyapa dunia. Salah satu pegiat Poci Maiyah, Abdi Luthfaidi bertanya kepada saya, “Menurutmu apa yang membuat manusia bisa dikatakan bermanfaat?” dengan spontan Gus Lu’ay yang mendengar pertanyaan itu langsung menunjuk saya sambil berkata “Mukadimah Poci Maiyah bulan Januari temanya Kebermanfaatan.”


Maka, dituliskannya mukadimah ini sebenarnya adalah sebuah jawaban untuk pertanyaan salah satu teman baik kami. Dan, untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebelumnya kita perlu mendefinisikan lebih dulu mengenai apa itu kebermanfaatan?

 

Beberapa orang kerap kali menganggap sesuatu bisa dikategorikan manfaat bila mempunyai nilai guna dan beberapa lagi menggap sesuatu dapat dikategorikan manfaat bila dapat membawa keuntungan bagi dirinya sendiri atau pun orang lain.

 

Tapi apa sebenarnya manfaat itu? Apakah hanya sebatas sebagai sesuatu yang mempunyai nilai guna dan menguntungkan kita selayaknya barang yang diperjualbelikan dalam perdagangan?

 

Tidak, di mukodimah ini kami akan membahas pengertian manfaat dengan lebih holistik dan komprehensif, tidak terbatas pada nilai guna dan keuntungan yang diperoleh darinya saja, tapi juga termasuk aspek-aspek kemanusiaan, spiritual dan sosialnya.

 

Bagi kami, sesuatu bisa dikategorikan manfaat bila sesuatu tersebut ditempatkan dengan adil sesuai dengan potensi dan proposinya. Dan satu-satunya kunci untuk berbuat adil adalah dengan mengenali diri sendiri.

 

Mengenal diri adalah pra-syarat utama yang harus dipenuhi seseorang agar keberadaannya bisa eksis sebagai manusia dengan seluruh sisi kemanusiaannya sehingga keberadaannya tidak hanya sekedar sebagai makhluk biologis saja, yang pekerjaannya hanya untuk mencari makan agar bisa bertahan hidup lebih lama.

 

Dengan mengenal diri, seorang bisa mengoptimalkan seluruh potensi dan daya yang dimilikinya sebagai manusia, seluruh perangai yang ada di dalam atau pun di luar dirinya, baik intelektual, emosi, harta, kekuatan serta harkat dan martabatnya bisa ia optimalkan untuk berjuang di jalan Tuhan.

 

Abu Hamid Imam al-Ghazali dalam Kimiya’us Syaadah berkata “ilam anna miftaha makrifatillahu ta’ala huwa marifatu nafsi” (Ketahuilah, kunci mengenal Allah adalah mengenal diri sendiri). Perkataan ini juga selaras dengan hadits Nabi, “man arofa nafsahu faqod arofa robbahu” (Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya).

 

Oleh karena itu, mengenal diri sendiri tidak hanya sekedar membuat keberadaan kita bermanfaat, tapi juga membuat diri kita bisa mengenal Tuhan lebih dekat. Dan, keindahan-keindahan Tuhan akan mulai tersikap ketika kita telah mampu mengenali diri sendiri. Bagaikan saat melihat ribuan bintang di langit, keindahan Tuhan begitu mempesona sebagaimana firman-Nya,

 

 

وَلَـقَدْ جَعَلْنَا فِى السَّمَآءِ بُرُوْجًا وَّزَيَّـنّٰهَا لِلنّٰظِرِيْنَ

 

"Dan sungguh, Kami telah menciptakan gugusan bintang di langit dan menjadikannya terasa indah bagi orang yang memandang(nya)," (QS. Al-Hijr ayat 16)

 

Pada dasarnya segala sesuatu yang ada dalam alam semesta semuanya bermanfaat, bahkan kotoran makhluk hidup apabila ditempatkan dengan baik akan menjadi pupuk kompos yang bisa menyuburkan tanah dan menyegarkan tumbuh-tumbuhan agar bisa berbuah.

 

Dalam sebuah riwayat Nabi bersabda, “tidurnya orang alim lebih baik daripada ibadahnya orang bodoh” karena orang alim memiliki kapasitas ilmu yang memadai untuk mengenali dirinya sendiri sehingga ia dapat menempatkan dirinya dengan adil. Keadilan dalam menempatkan diri, membuat setiap perlakuannya bermanfaat bagi kehidupan semesta. Keberadaannya membuat kehidupan tetap seimbang dan harmonis mengikuti takdir Tuhan.

 

Sedangkan orang-orang bodoh, tidak mempunyai kapasitas ilmu yang memadai untuk mengenal dirinya sendiri, ia tidak dapat menempatkan dirinya dengan adil sehingga ibadahnya tidak memiliki nilai apa-apa yang bermanfaat untuk dirinya.

 

Salah satu bengawan ilmu fiqh, Imam ar-Rofi'i kerap kali menggunakan waktu luangnya di sela-sela kesibukannya mengajar untuk mendatangi masjid-masjid. Imam ar-Rofi'i selalu datang dengan membawa sikat, sesampainya di masjid ia akan segera membersihkah toilet-toilet masjid itu.

 

Hingga suatu ketika ada salah satu muridnya kaget melihat Imam ar-Rofi'i sedang membersihkan toilet masjid. Sang murid pun bertanya,

 

“Ada itu bahrul ulum (samudera pengetahuan), kenapa anda melakukan ini?”

 

Dan jawaban Imam ar-Rofi'i sangat sederhana,

 

“Saya melakukan ini supaya hati saya tidak sombong. Orang di mana-mana memanggil, memuja dan menghormati saya, tapi ketika saya membersihkan toilet-toilet masjid, perlahan-lahan kesombongan saya hilang”

 

Hal ini menjelaskan, bila kebermanfaatan bisa dilakukan dengan hal-hal kecil, meskipun sekecil buah zahrah bilamana itu ditempatkan dengan adil sesuai dengan potensinya maka itu akan berbuah manfaat.

 

Mereka yang berbuat adil kedudukannya berada dalam maqom futuwwah. Mereka yang berada di maqom ini dijuluki sebagai al-fata (pemuda yang sempurna dengan kefasihan akal pikiran). Mereka adalah orang-orang yang dikuatkan Tuhan, bahkan hingga pada masa tuanya, munculnya uban di kepala mereka tidak menandakan kelemahan bagi dirinya, melainkan sebagai tanda kewibawaan dan ketenangan.

 

Sebagaimana saat Nabi Ibrohim melihat uban, ia bertanya kepada Tuhan ,“Wahai Robbku, apakah ini?” lalu Allah menjawab, “Ini adalah ketenangan dan kewibawaan (waqar)” dan Ibrohim pun berdo’a, “Ya Allah, tambahkanlah bagiku ketenangan dan kewibawaan”

 

Allah telah menghapuskan kelemahan bagi mereka yang telah berbuat adil. Mereka yang berbuat adil selama hidupnya akan terus dikuatkan agar bisa terus berbuat manfaat, hingga sampai pada masa tuanya meskipun tubuhnya telah terlihat ringkih dan lemah. Ia akan tetap terlihat kuat karena kewibawaannya. Orang-orang akan segan padanya, ia akan dihormati sebagai orang mulia yang tinggi derajatnya karena banyaknya manfaat yang telah diberikannya pada masyarakat.

 

Wallahua’alam bissawab.

 

 

*

 

 

Para Pemuda Ksatria sejati tak punya sedikit pun rasa bosan.

Mereka kuat berpijak pada setiap kebajikan dan kemuliaan.

 

Keadaan-keadaan ruhani mereka menulari teman duduknya.

Selalu berada di antara penghormatan kepada kaum Ahlullah dan kasih sayang penuh kebaikan.

 

Saat datang seorang yang sebaya, mereka lebih mendahulukannya dengan bakti mereka, dan dalam hal itu seorang ksatria tak akan punya penyesalan.

 

Mereka memiliki segala macam amal ritual dari ilmu yang tersembunyi, namun tidak sedikitpun itu meninggalkan tanda dalam diri mereka walau sebiji wijen.

 

Bagaikan anak panah, mereka dan orang-orang sebelumnya, dan yang bersama mereka yang Allah berikan pengajaran.

 

— al-Futuhat al-Makkiyah Jilid 4

 

Kuningan, 7 Januari 2021