Bukan tanpa kebetulan, hidangan yang disajikan tuan rumah
pada Mother (Maiyah on the road) malam sabtu (18/8) kemarin dua hari setelah
perayaan kemerdekaan RI adalah martabak. Penganan khas lebaksiu, banyak dari
kita yang tidak tahu atau tidak peduli proses sehingga seporsi martabak bisa
dinikmati. Baiklah, sebelum dimulai episode Mother yang entah edisi keberapa,
alangkah lebih indahnya diawali dengan meyiapkan ember atau wadah yang sudah
dipastikan kebersihannya, satu kilo tepung terigu, satu sendok teh backing
soda, satu sendok makan susu bubuk dan satu sendok teh soda kue. Campur semua
bahan kecuali soda kue dalam wadah, aduk menggunakan tiga batang penjalin yang
diikat jadi satu sambil masukan air sedikit demi sedikit, aduk (cara mengaduk
seperti mendayung sampan) terus sampai adonan kalis atau matang, setelah adonan
kalis masukan soda kue dan aduk lagi, pastikan adonan tidak ke'enceren,
tahap terakhir diamkan adonan sekira satu jam sebelum benar-benar siap untuk
dicetak dalam loyang. Sudah kebayang bagaimana ribetnya menemukan kenikmatan
sepotong martabak??? Saya belum menjelaskan loyang (cetakan) yang terbuat dari
besi dengan ketebalan berapa centi, besar kecilnya api, putih telornya atau
kuning telornya yang dipakai campuran adonan, dimenit keberapa setelah adonan
dituang dalam loyang sebaiknya menaburi gula??? Kita cukupkan saja penjelentrehan
tentang martabak, bagi yang masih penasaran silahkan ajak ngobrol tukang
martabak langganan anda sembari menunggu pesanan.
Kembali ke Mother, setelah dibuka dengan bacaan Tahlil,
Mother mengalir, mas Puh selaku tuan rumah menenteng baki dari dalam, diatasnya
telah terseduh bergelas-gelas kopi. Selain martabak, singkong rebus, ketela
rebus, gorengan dan snack-snack aneka jenis siap dilahap penggiat Lingkar
Gagang Poci.
Tema pendidikan tiba-tiba mengalir dalam forum Mother malam itu.
Kang Nahar berpendapat “ sejatinya pendidikan adalah Maiyah” di maiyah tak ada
yang mengharuskan sebenar-benarnya guru menjadikan muridnya paham dan mengerti
apa yang sedang dipelajari, tugas guru adalah menemani setiap individu-individu
murid dengan kemampuan dan bakatnya masing-masing. Sekolahan di kota kabupaten
tidak bisa disamakan dengan di kecamatan apalagi desa, banyak faktor yang
membentuk individu murid memiliki ghiroh menggauli ilmu pengetahuan.
Kang Aziz , pendidik di sekolah dasar pelosok menceritakan, sepulang sekolah
jangan harap ada obrolan sesama murid tentang pelajaran, paling banter “ balik
sekolah yuh pada dolanan layangan”. Banyak lagi persoalan-persolan pendidikan
yang muncul di Mother malam itu, sebelum jauh obrolan – yang belum tentu
bersolusi- berlanjut, salah satu penggiat menghubungkan persolan pendidikan dengan isu
yang sedang hangat terblowup, FDS, bagaimana FDS dipandang dari kacamata
pendidik.
Berkaca dari anaknya yang disekolahkan di Sekolah Dasar yang menerapkan
FDS, salah satu penggiat POCI merasa kasihan apabila benar-benar FDS
diberlakukan merata. “Tanpa adanya FDS, paling tidak 4-5 mata pelajaran
terjadwal, buku paket yang harus dibawa segini-telapak tangan direntang
kira-kira setebal kamus al-munawir-, belum buku tulis jadinya segini-kamus
al-munawir plus oxford-. Banyangkan kalau FDS, bisa-bisa segini- dua
kali lipat kamus al-munawir dan oxford-.” Lebih lanjut ia bercerita
pengalamannya sebagai guru, selepas jam duabelas siang, makan siang dan
istirahat barang setengah jam, matahari sedang dipuncak-puncaknya, kantuk
menyerang, tak jarang ia ngglambyar saat menerangkan pelajaran, kelas
sudah tak kondusif. Apa jadinya kalau harus dipaksaan sampai jam empat sore. Obrolan FDS terhenti oleh *ehemmmmie yang sudah tersaji di
tengah forum tanpa ada kode dari penggiat seperti pada Mother-mother
sebelumnya.
Setelah hidangan *ehemmmie tandas, kang Nahar mengajak
evaluasi terkait rutinan POCI di GBN. Ibarat toko, POCI adalah PALUGADA, apa
yang lo mau gue ada. Ibarat menyuguhkan penganan dan minuman, POCI harus bener
tur pener. POCI sudah kadung mengproklamirkan terbuka untuk semua golongan,
jangan sampai pada saatnya tiba, POCI menyuguhkan penganan dan minuman dengan
cara yang membuat luka di hati yang melingkar.
Selanjutnya kang Luay, ditengah kesibukan beliau,
alhamdulillah bisa ikut melingkar disaat jarum jam menunjukan pukul setengah
tiga dini hari, memancing pegiat yang hadir untuk menggali nilai-nilai
kemaiyahan dalam diri. Satu persatu mengutarakan pengalaman-pengalaman selama
bermaiyah. “ Di Maiyah, saya menemukan sedulur, sedulur yang apa adanya
bukan ada apanya”
“dengan Maiyah saya lebih bisa menahan emosi, dulu saya
orangnya gampang marah, senggol bacok istilahnya”. “Orang-orang Maiyah itu murni, tidak suka pura-pura”. “Orang Maiyah mampu menemukan kebaikan dalam keburukan
sekalipun”. “Bermaiyah, untuk urun rembug supaya Indonesia tidak terlalu
rusak, minimal untuk anak cucuku nanti bisa tahu sejatinya Indonesia”
Maiyah itu upaya setiap pelakunya, sendiri-sendiri atau bersama-sama,
untuk mencari dan menemukan ketepatan posisi dan keadilan hubunganya dengan
Tuhan, sesama makhluk, alam semesta dan dirinya sendiri. (Cak NUN)
Adzan subuh menyudahi segala obrolan, martabak tinggal dua
biji, episode Mother yang entah edisi keberapa segera rampung, sebelum diakhiri
episode ini, kebersihan wadah adonan sangat berpengaruh besar dalam sukses atau
tidaknya membuat martabak, mau tepung terigumu merk yang paling mahal, backing
sodamu paling teruji, soda kuemu terbukti mengembangkan adonan sempurna, susu
bubukmu terenak, loyangmu di buat dari besi pilihan dengan ketebalan pas, besar
kecil apimu mampu kau kendalikan, jangan harap martabakmu akan mengembang
sempurna, empuk, dan bisa dinikmati, kalau ada- jangankan- kotoran, bahkan
setitik sabun yang notabenenya pembersih wadahmu tersisa, martabakmu akan
bantat, liat, belang, tak berpori, berakhir di keranjang sampah.
Wallahu’alam....
Balapulang, 21 Agustus 17, 03.33 WIB