Bismillah ArRohman ArRohiym.
Semoga Tuhan mengajarkan kita untuk
menunduk lebih rendah, menghijrah jauh
lebih dalam kesanubari kesadaran, serta memenuhi hati kita dengan cinta dan
mencahayai akal kita dengan Qur'an Sucinya.
“1) Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. 2) Dan siang apabila menampakkannya. 3) Dan malam apabila menutupinya.4) Dan langit serta pembinaannya. 5) Dan bumi serta penghamparannya. 6) Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). 7) Maka Allah ilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 8) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. 9)Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (Suroh Asy Syams)
Orang-orang jawa, Tegal khususnya menyebutkan kata kaca sebagai
pemaknaannya atas cermin. Sebuah benda atau sesuatu yang mampu memantulkan
bayangan dengan sempurna, dan tidak melulu
harus terbuat dari glass (inggris.read) yang dilapisi oleh Alumunium. Ambil contoh Cermin obsidian yang ditemukan
di Anatolia (kini Turki), berumur sekitar 6000 SM, cermin batu mengkilap dari
Amerika tengah dan selatan berumur sekitar 2000 SM, cermin dari tembaga yang
mengkilap telah dibuat di Mesopotamia pada 4000 SM dan di Mesir purba pada 3000
SM, dan di China, cermin dari perunggu dibuat pada 2000 SM. Entah apa yang digunakan pertama kali untuk penduduk Jawa Kuno sebagai cermin, namun orang-orang jawa yang telah kehilangan
sejarah tuanya sepertinya telah melampui fungsi Kaca itu sendiri menjadi sangat
filosofis, spiritual dan mistis. Terlihat dari pepatah-peribahasanya yang
kebanyakan memiliki dua sisi atau memantul;
"nrimo ing pandum" , "becik kethitik olo kethoro",
"desk mowo toto negoro mowo coro", "urip iku urup" dan
sebagainya.
Maka kemudian Poci Maiyah edisi Kali ini menggelar Tema Kaca!?% untuk menelisik lebih dalam tentang wahana, realitas, ilusi, cahaya dan sejatinya apakah kita ada atau apa
yang sebenarnya membuat kita bisa disebut ada, kitalah manusia di depan kaca
atau malah kitalah yang didalamnya.
Seringkali manusia cenderung kehilangan
titik koordinatnya, semisal saat ia
mencoba membenarkan sesuatu dengan penuh nafsu, atau ekspresi memaksa, atau ekspresi
amarah, dengan segala keyakinan atas benarnya itu kepada orang lain. Padahal ia
sebagaimana sedang memunggungi sebuah cermin, bahwa bisa jadi ia tidak melihat
wajahnya sendiri, namun cermin di belakangnyalah yang menggambarkan sejatinya
pantulan dirinya. Dicermin itu, terlihat wajah-wajah yang melas, ngeri,
benci, sedih, terpukau, heran, kagum orang-orang
dihadapannya, dan hanya wajahnya sendiri
yang tak ada.
Lantas, kita tarik mundur kebelakang, adakah sesuatu yang bisa kita kenali,
ketahui, identifikasi lewat mata tanpa
adanya cahaya? Jika dalam teori optik apa yang kita lihat, tidak lebih adalah
pantulan bayangan benda yang dicahayai, ditangkap oleh mata dan diceriterakan
di dalam otak kita. Disinilah konsepsi, konstruksi kebenaran kita di uji, apakah isi fikiran, prasangka, penafsiran kita itu
nyata atau sebenarnya itu hanya ilusi?
Ambil contoh sederhana (pernah disampaikan
oleh Sabrang MDP), Anda bayangkan sebuah bunga, kebenaran setangkai mawar
seumpama. Jika ada 10 orang memotret bunga
tersebut akankah sama hasilnya? jelas
akan berbeda karena memiliki sisi yang berbeda pula, siapa yang benar? semua
benar sesuai ukuran mereka masing-masing.
Baiklah, sekarang 10 orang tersebut mengambil dari angle yang sama, namun
propertinya berbeda, ada yang
menggunakan kamera ponsel mitho, asus, samsung, kamera digital dan DSLR, apakah hasilnya sama? sekali lagi
pasti berbeda, siapa yang benar? semua
benar, hanya saja ada ukuran kejelasan
dan ketidak jelasan disitu. Lanjut!!! 10 orang tersebut
menggunakan properti yang sama, sama-sama kamera super canggih untuk memotret setangkai mawar itu, apakah potretnya bisa menjelaskan kebenaran
setangkai mawar itu? pasti tidak, wong cuma gambar. Terus!!! Jadilah kau bunga, setelah kau jadi setangkai mawar apakah
kemudian kau akan mengetahui kebenaran tentang setangkai mawar?
"Maka
kita yang sekarang sedang membaca ini, dirimu sekarang berletak dimana, di dalam cermin, atau di luar
cermin!?% Dirimu sesungguhnya itu,
apakah kau ini yang mengenakan pakaian lengkapmu, duduk bersila, duduk bebas, menyeduh
kopi, menikmati kopi, mendengar riuh rendah suara,
memandang-dipandang, menggenggam
microphone atau tidak, menyimak atau
mengabaikan, meremehkan atau memuji, menghargai atau membenci, merasa
adil atau merasa berlaku dzolim, lengkap berbalut daging, tulang, darah atau malah sebenarnya itu semua
bukan juga dirimu!?% Tempatmu selama belasan tahun, puluhan tahun kau
menganggapnya hidup di dalamnya, dimana engkau hanyalah seorang pengganti berdurasi
minimal 63 tahun dan sudah ada seratus, seribu, sejuta nama yang juga
pernah menempati posisimu, kedudukanmu,
dan mereka sekarang kau gantikan dan kau juga akan digantikan lainnya, benarkah
nyata tempat ini?"
Dari semua keawaman, ketidak tahuan, kemalasan, kebodohan, kesombongan kita, bahkan jika pandaimu kita bawa ke hadapan
Allah, saktinya kita, kita bawa ke
hadapan Allah, adakah kesemua itu
layak? Padahal hal yang mendasari
semuanya adalah cinta, bukan pandaimu
membaca al qur'an, bukan detailnya
dirimu menceritakan siapa Rosulullah, atah bukan betapa luasnya diri kita mejabarkan Tuhan Sang Maha. Namun cintamu atas qur'an, cintamu atas Kanjeng Nabi, Cinta-Ikhlasmu atas Allahlah satu-satunya
yang bisa kau persembahkan.
Sekacau apapapun Negri yang kita
tempati, sengeri apapun dunia yang kau
duduki, separah apapun fitnah-fitnah
yang kita jumpai, atau sepelik apapun urusan-urusan rumah tangga, pencarian jati diri, atau semiris apapun
penderitaan mendera kita, kita tetap
bisa memilih untuk tidak merasa menderita meski penderitaan itu ada, kita tetap
bisa memilih untuk condong kepada arah cahaya meski gelap terlalu pekat atau
kita bisa memilih untuk tetap mencinta agar Tuhan tidak marah ke kita meski
ridloNya tidak sekalipun kita peroleh.
Lalu,
sudahkah kita mendengar bisikan "wal akhirotu laka minal uwla?"
Sekian.
wAllahua'am bishowab wa bil murodli.