Kita awali dengan membuka Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Apa itu Petani, dalam laman KBBI Petani adalah orang yang
pekerjaannya bercocok tanam. Mulia sekali pengertian itu, tapi kenyataannya
juru bercocok tanam itu jauh sepanjang hayatnya beratapkan mendung kelabu.
Tetapi Pada masa lampau awal negeri
agraris ini ranum-ranumnya ada masa ketika petani diriwayatkan sedemikian
mulianya. Tersebut dalam kata-kata seorang pejuang dan ulama besar yang saya
banggakan KH Hasyim Asyari :
”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan di waktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.”
Kita bernostalgia menarik masa kebelakang bagaimana petani digambarkan
dalam film layar lebar atau tulisan serta cerita-cerita sebagai figur yang
cemerlang walaupun berpenampilan gembel serta compang camping tetapi perannya
menjadi jagoan penumpas kejahatan dan sebagai orang dermawan.
Tapi kondisi sekarang postulat pendiri Jamiyah Nahdatul Ulama itu
semakin terkikis dan kehilangan gaung, dan dunia petani semakin jauh dari
ilustrasi-ilustrasi yang digambarkan dalam film ataupun tulisan-tulisan para
pengarang dulu.
Sebelum kita berkecil hati untuk
menjadikan anak-anak kita bercita-cita menjadi petani, mari kita cari alasan
untuk menjawab mengapa kita dan generasi kita harus menjadi Petani:
Pertama sekarang petani kecil dan
buruh tani yang ada sudah pada uzur dan generasi penerus masih enggan
meneruskan kegiatan bercocok tanam. Tetapi kedepan kesempatan menjadi petani
kaya dan suskses terbuka lebar untuk pengusaan lahan diatas 2 Ha sebab kondisi
sekarang yang hampir putus regenerasi petani. Ditambahkan terus berkembangnya
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di dunia pertanian yang akan menjadikan optimis
dunia pertanian akan dilirik tetapi tidak mengesampingkan kearifan budaya serta
ramah terhadap alam. Serta dengan peran serta pemerintah yang terus menggenjot
dunia pertanian sebagai salah satu penyumbang untuk pertumbuhan perekonomian,
dengan berbagai hal kebijakan serta besarnya dana yang digelontorkan untuk
memperkuat posisi tawar petani itu sendiri dari mulai hilir hingga hulu yang
bermuara untuk sebuah kata yaitu KESEJAHTERAAN
petani sendiri yang berimbas langsung pada meningkatnya perekonomian negara
secara umum.
Kedua kalau dilhat dari
perspektif agama yang saya anut dalam
agama Islam Petani adalah pekerjaan yang paling mulia dan banyak sekali balasan
kebaikan yang akan diperoleh Bagaimana Imam Syafi’i berpendapat bahwa bertani
atau menjadi petani adalah pekerjaan yang paling baik berlandaskan daripada
asalnya hanya ada tiga profesi sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Mawardi. Beliau
berkata:
“Pokok mata pencaharian tersebut adalah bercocok tanam (pertanian), perdagangan dan pembuatan suatu barang(industri)”.
Dan petani adalah ahli
sedekah tanpa pencitraan yang tersebut
dalam hadits dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu dia berkata:
Telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman melainkan apa yang dimakan dari tanaman tersebut bagi penanamnya menjadi sedekah, apa yang dicuri dari tanamannya tersebut bagi penanamnya menjadi sedekah, dan tidaklah seseorang merampas tanamannya melainkan bagi penanamnya menjadi sedekah”. (HR Muslim).
Itulah kelak alasan kita untuk
generasi masa depan yang bertanya kenapa saya harus menjadi Petani.
Ketiga Sekarang kita lanjut Petani sebagai profesi
sastrawi, yang
menurut Komang Armada:
“Yang menghibur sekaligus jarang dicermati adalah, maqom dunia tani adalah maqom yang sastrawi. Ada relasi romantik antara sastra dengan dunia kaum tani. Ini pendapat subyektif memang, tetapi percayalah, ada benarnya kok. Begini. Profesi berwahana hutan, bukit-bukit, flora, ternak bahkan laut ini adalah silsilah dari mana ide dan gagasan dibedah”.
Sulit, misalnya, membayangkan
sebuah karya puisi punya nyawa tanpa menyebut lembah, daun, angin, bunyi
serangga, bulir padi. Sewaktu menggubah ‘Huma di Atas
Bukit’, bisa jadi Ian Antono tiba-tiba dijatuhi wahyu berwujud anak sungai, “…sebatang
sungai membelah huma yang cerah,” katanya. Chairil punya larik masyhur “Cemara
berderai sampai jauh…”
Dalam ‘Anak Semua Bangsa’,
Pramoedya memberi porsi khusus kepada anak tani bernama Trunodongso demi
menyampaikan gagasannya. Novelis Mo Yan memilih kata ‘sorgum’ dalam salah satu
novel maha karyanya, ‘Sorgum Merah’.
Nah, contoh-contoh tadi cukup
kiranya sebagai tetenger
seberapa kental kadar kesastrawian profesi ini.
*Retno AS