Reportase Poci Maiyah Harokat Agustus 2018 : Ilmu "Kayaknya"
Oleh: Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay
Catatan ini ditulis ashar enam agustus 2018. Ketika baru
semalam kabar dari Lombok menggema di seluruh penjuru Indonesia. Maka kami
bersujud hanya KepadaNya, Wahai Dzat
Yang Maha Agung, Al Aziz, Al Hakiym, dan KepunyaanNya lah timur dan barat, MilikNyalah 'Arsy Yang Agung, Yang jiwa-jiwa manusia berada di dalam
KekuasaanNya, dan Hanya kepadaNyalah
kami dikembalikan.
°Katanya, Kayaknya.
Sebuah pesan masuk dalam Group Chat Para Pegiat Poci Maiyah;
"Pangapunten
Bagi yg masih
kebingungan kenapa mukodimah kali ini copas brutal dari daur, tanpa memberikan tambahan kalimat, atau penjlasan apapun, sedikitpun.
Tidak lebih adalah karna
berkenaan dengan tema itu sndiri. "Ilmu Kayaknya"
Ini sudah menjadi skema dimana
reportase akan dituliskan.
Bahwasanya, tema kali ini tidak akan ada giringan opini
apapun bagi para manusia yang hadir di GBN nanti, yang kemudian membaca daur trsbt. 31 iqra', 31 tajalli.
Semua bebas menuai
"ilmu kayaknya" masing2 dalam diri,
semua bebas menafsir, mentadabbur,
memaknai, meng-gabah den interi sesuai
denga "ilmu kayaknya" dalam limitasi masing-masing diri.
Karena selama ini
kitalah, poci maiyah, yang selalu berusaha menyuguhkan sebuah perangkat
dialektika bagi para jama'ah dan penggiat, maka, kali ini biarlah daur dan
irodah-irodah Allah saja yang akan menjadikan tema "ilmu kayaknya"
itu akan menjadi.
Menyesatkankah
Merusuhkah? Membingungkah?Atau semakin
mencinta?Atas segala kesungguhan-kesugguhan yang ada, atas segala
perbedaan-perbedaan yang ada, dengan jibril, isrofil, mikail, rahmah, dzul
qornain serta rokib-atid sebagai saksinya."
Jadi, maka
menjadilah! mukodimah PM edisi Agustus dengan penuh kewaguan dan kebimbangannya. Bergulir melewati peristiwa-peristiwa, konstanta waktu dari detik menuju menit, menit menuju jam, jam menuju hari, hari menuju jemuah malam
awal bulan gelaran PM di monumen GBN.
Katanya, Si Pawang
Hujan Ayi Fahmi, tidak bisa datang sebagaimana biasanya, beliau masih ada
urusan di Pekalongan, padahal beliaulah yang selama ini memenuhi peran ikhlas
lillahi ta'ala, membawa mobil untuk mengangkut sound system. Katanya pula, Pak Manten bupati poci maiyah siap stand by
mobil carry saktinya, namun seperti biasa akan spasi sejenak memenuhi panggilan
tahlil rutinnya. Katanya lagi, Si
Koordinator baru itu sudah ready ala patriot kemerdekaan bertekad menjuguli
peran Yi fahmi.
Namun nyatanya, Kang
Koor ilang entah kemana rimbanya, Ayi
Fahmi sampai sebagaimana biasanya waktu yang ditetapkan, bersama Kang Ajat
usung-usung sound system, atau Mas Oki,
Kaki Luth, Soniy Adi Sakpencuur yang tanpa
isyarat selalu sudah gelar-gelar terpal di GBN, atau Mas Piek yang selalu misterius dengan ilmu jaelangkungnya;
"datang tak di undang dan hilang tanpa pamitan", hingga lelah kami
menunggu Pak Manten Samsul yang tak kunjung tiba.
Ada gurat-gurat, arsir-arsir,
ceruk-ceruk takdir yang memang tidak mudah dipahami. Manusia bisa menghendaki
apapun namun Allahlah Puncak Kehendak Semesta bekerja. Hingga apa-apa yang para
sedulur maiyah poci itu ikhtiarkan bisa menjadi sangat konyol dan membuat
mereka ngakak menikmati kemesraan tajalli Tuhan.
Toh, wajah-wajah baru
selalu hadir setiap gelaran di GBN, atau
bau-bau sedulur lama juga tidak pasti hadir. Mungkin seperti tidak terlihat Pak Manten dalam dimensinya, Kang Peppi dalam mujahadah kopinya, dan belasan nama-nama lainnya yang tetap
bergulir laiknya tasbih dalam satu putaran, berjarak namun tetap pada satu irama, satu nafas, satu aliran, satu getaran yang sama dalam lingkaran
bernama Maiyah.
Ayi Fahmi dan Koordinator baru itu mengawiti dibukanya acara,
wajah-wajah baru mulai satu persatu merapikan duduk silanya melingkar mesra,
bergabung menjadi shof utama meng-khusyui Al ikhlas, Al falaq, An Nas, Indonesia Raya dan Sohibu baitiy. Ada yang khidmat, ada yang pecicilan, ada yang ruwet nyiapin kompor, ada yang cekrak-cekrek ambil gambar, ada yang clingak-clinguk, ada pula yang
berkerut kening berfikir memandang motor berada di dalam taman, bukan ditempat
parkir, mungkin penasaran lewat mana masuknya. Dan demikian itulah semesta
maiyah, selalu padat dalam ruang, dan
meruang dalam kepadatan tanpa menyisakan celah untuk tak ada yang bisa di daur
tadaburi. Semua seolah katanya, semua
seolah kayaknya, padahal justeru
sebenarnya itulah nyatanya.
°Empat
Puluh-nya Patang Puluhan.
"Ahlan wa Sahlan,
Sugeng Rahayu, Sugeng Rawuh"
Disuluk oleh Kang Koor menyalami semua sedulur-sedulur baru
malam itu, dilanjut perkenalan satu
persatu dan disaut kembali dengan hadir perdananya Kang Idin selaku Violinist
(pemain biola kalo ga tau artinya! makanya baca! yang rajin, baca terus ampe jelek!) memabukan suasan gelaran GBN malam itu.
Memasuki fase berikutnya,
Kang Koor mulai mengajak bersama mentadarusi mukadimah satu persatu. (Lho? ko pake kata
fase, bukan sesi? bukannya malah yang
benar itu sesi berikutnya kan? Siapa pula yang akan membenarkan dan
menyalahkan, toh fase jauh lebih pas di
dalam maiyah. Bahkan kata fase tidak memisahkan, tidak mengkotakkan, antara peristiwa yang telah
dilewati, yang sedang di alami dan yang
akan di nikmati, tidak sebagaimana kata sesi yang harus mengikat simpul di
akhir peristiwa. Fase adalah satu kesatuan antara sepasi menuju kata
berikutnya, menghambur, melebur menjadi kalimat, makna-makna, universalitas. Jadi sudahi saja perdebatan
ini dan fokuslah pada reportase yang sedang kita tulis, jangan ngelantur!)
Sampailah daur 31 kuadrat "Ilmu Kayaknya", dan "Allah bertajalli Padamu"
dibacakan paragraf terakhirnya. Melawati kalimat-kaliamat ajaibnya Mbah Nun,
istilah-istilah asing yang membingungkan sekaligus mengasikan, hingga berulang
kali melafal kata "Patang Puluhan" berkali-kali.
Ajaib, entah sudah
kali berapa keajaiban yang Allah perlihatkan di Poci Maiyah. Jika
pertemuan-pertemuan sebelumnya GBN sudah ramai dari pukul 21.00, entah
bagaimana ceritanya hingha pukul 22.31 ternyata jumlah jama'ah masih ajeg saat
pertama mukodimah di tadaruskan.
Kang Koor meminta kepada salah seorang jama'ah bernama mas
Abdan untuk menghitunh total semua orang yang hadir di situ tepat pada 22.31.
"Satu, dua, tiga...tiga puluh tujuh, tiga puluh delapan, tiga puluh sembilan, tiga puluh... eh, empat puluh?"
Kang Koor langsung menyahut;
"Selamat datang di Universitas Patang Puluhan wahai
generasi Empat Puluhnya zaman ini"
Prok... prok... prok.
°Kemesraan
Sinau hingga Teori Konstanta Nuklir Komet.
"Setelah tadarus, maka kita akan memasuki fase ta'rif. Jika tadi kita hanya membaca, maka ta'rif adalah proses mengumpulkan semua informasi yang ada, menyaringnya dan mengambil point-point yang
kita butuhkan untuk mencapai satu titik fokus. Maka, kami mengajak
anda semua untuk kembali mencermati paragraf-paragraf yang telah anda
baca, wAllahua'lam, namun bisa saja apa
yang anda baca justeru jawaban hidup yang anda cari, justeru sebenarnya menggambarkan karakter
anda selama ini."
Setelah Kang Koor menyampaikan hal tersebut, sekali. Lagi, bim sala bim, munculah
keajaiban-keajaiban lainnya. Dari semua orang yang membaca, muncul menjadi dua tipe;
1. Dia menjadi apa yang dia baca.
2. Keterbatasan kosa kata membuat dia bingung memahami apa
yang ia baca.
Tidak ada yang menjawab tidak, hampir semuanya mengakui;
"ko bisa pas ya?", "ini yang saya cari", "memang
inilah yang telah saya lakukan".
Kang Mocka menceritakan pengalaman betapa sulitnya
birokrasi, dan malang tetangganya,
setelah membaca;
"Tidak hanya menghitung jumlah orang miskin, tapi menangis dan marah".
Mas Edi menggambarkan usia anak-anak dalam poci maiyah serta
luwes, peka dan dalamnya telaga maiyah saat ia membaca;
"Mereka tidak
hanya duduk di depan meja membalik-balik lembaran buku-buku, tapi juga mempelajari kegembiraan dan kesedihan, menyelami bayangan kebahagiaan dan fakta
kesengsaraan."
Rizal saling timpal jawaban dengan Kang Koor tentang arti
"menjadi orang" sesungguhnya dalam paragraf;
"Disebut
orang-orang, karena mereka sekarang memang sudah “menjadi orang”, sesudah di Patangpuluhan dulu belajar dan berlatih menjadi orang. Apakah ketika itu mereka
belum orang? Sudah, tetapi belum orang yang mampu melihat hewan di dalam
dirinya. Belum orang yang sanggup menemukan semacam dimensi malaikat di dalam
jiwanya. Belum orang yang memiliki Peta Ilmu Diri untuk mengidentifikasi ragam
himpunan potensi di dalam dirinya."
Mba Ika kebingungan apa yang ia baca, dan jujur bahwa dirinya sebenarnya orang yang
malas baca, bahkan ia memiliki buku
daur, tapi justru temannya yang disuruh baca. Katanya; "aku tidak bisa cepat memahami apa yang
kubaca"
Padahal paragraf yang ia temui seolah menjawab semua
pengakuannya;
"Maka si manusia meletakkan dirinya terus menerus di
jalan pembelajaran, mengasah kepekaan, memperhalus kewaskitaan tentang kapan
Allah seolah-olah ber-tajalli padanya. Maka kepada semua engkau, amati momentum
tatkala Allah ber-tajalli padamu."
Hingga Mbah Subkhi langsung melesat ke masa lampau menikmati
kesengsaraan yang ia alami, rumahya di
rebut paksa oleh saudaranya sendiri. Saat momentum itu terjadi beliau tidak
sama sekali marah, namun malah memiliki
ketatagan dan keyakinam yang muncul berlipat-lipat kepada Allah, bahwa;
"Orang-orang Patangpuluhan menikmati syair-syair ekstra
indah tajallullah atau lirik-lirik dendang lagu Allah yang ber-tajalli."
****
Setelah beberapa tembang, ada lagu mistis malam itu, Mas Ragil membawakan lagu Ingsun-nya mbah
tejo. Menambah suasana semakin gayeng, dilanjut, sholawat dan alunan musik lainnya. Fase
berdialektikapun di masuki. Mustofa Ups langsung lukir menjadi moderator, memoderasi jama'ah untuk mulai rally panjang.
Gus Ulin memulai fase ini dengan:
"Menurut saya ilmu kayaknya adalah prasngka benar-salah
kita terhadap cara pandang itu sendiri. dan inipun, yang saya omongkan juga
masih kayaknya".
Mbah Nahar menyampaikan dari paragraf daur- ilmu kayaknya;
"Banyak tokoh atau aktivis yang sangat yakin dengan
kalimat “Ini kita harus kembali ke Al-Qur`an”. Padahal yang ia maksud Al-Qur`an
di situ adalah penafsirannya. Mereka tidak bisa menemukan jarak nilai antara
ayat Al-Qur`an dengan lapisan pemahaman atas ayat itu di memori otak
mereka."
Bahwa;
"Pada dasarnya memang demikian itu. Saya teringat kasus
al maidah 51, bahwa Nusron Wahid menyampaikan yang tahu persis sebuah tulisan
ya yang nulis, bahkan termasuk tulisan
daur ini hanya mbah nun yang tahu.
Namun kebanyakan orang jarang bisa mengambil jarak antara
dirinya, tafsirnya, dengan teks aslinya. Berarti hanya Allah yang
tahu, dan selain Allah dan Kanjeng
Rosul, ilmu manusia itu ya kayaknya
semua."
Kemudian itu direspon oleh Mas Ulum;
"Justeru ilmu itu pasti, bukan kayaknya, kalau masih kayaknya berarti belum
ilmu".
Luay menimpali;
"Dari sejak zaman Nabiyullah Adam di surga, bisa di pastikan masalah lahir karena dua
sebab; 1) Salah informasi, 2) Salah cara pandang.
Kemudian formulanya adalah seperti ini :
1) Apa niat kita mencari ilmu? perlu di ingat bahwa niat
dengan tujuan berbeda. Jika niatnya
sholat adalah untuk melaksanakan "fardlo/kewajiban" dengan bilangan
rokaat, menghadap kiblat maka Tujuannya tetap
lillahita'ala.
Maka Ilmu diperlukan untuk mampu menjawab persoalan. Skemanya adalah;
Informasi -> metodologi -> kadar kebenaran ->
simulasi/praksis - > menjawab persoalan = ilmu.
ilmu dengan pengetahuan atau wawasan berbeda, orang jawa sudah memiliki falsafah bahwa Ilmu
kelakone kanthi laku. Maka informasi yang belum dipraktekan belum bisa di sebut
ilmu."
Mustofa menengahi dioper langsung kembali ke jama'ah, Mas
Anis, dan Ragil sepertinya menjadi duet maut ikut menggiring;
"Islam, menurut saya adalah Agama Iman, bukan akal"
tutur Mas Anies, di
lanjutkan Mas Ragil menceritakan kisahnya;
"Saya ingin bertanya, ada saudara saya yang cukup fanatik dengan bahasa arab. Kemudian dia
pernah mengatakan bahwa seandainya Indonesia menggunakan bahasa arab Indonesia
bisa maju. Padahal saya orang jawa, beliau juga orang jawa, dan saya sangat menjunjung tinggi jawa,
bagaimana cara saya mengingatkan"
Umpan Mas Ragil diterima oleh Mbah Nahar :
"Mbah Nun sering menyampaikan bahwa Jawa sudah top
banget, begitu kaya akan bahasa dan
wawasan segala bidangnya, maka
pertahankan mas"
Mus melempar umpan lambung, dan Si Jack lah saatnya beretorika:
"Kulo kaping pertami matur sugeng rahayu, kaping kalih matur teng riki bade
silaturrohim, kaping tigo bade merespon
apa yang disampaikan Mas Ulum tentang ilmu harus pasti, ilmu itu pasti benar.
Jika sebuah ilmu itu pasti,
maka Albert Einsten sendiri tidak benar dengan teori relativitasnya.
Bahwa hukum sesuatu tergantung kondisi,
situasi, gaya dan ruang yang
melingkupinya. Maka, jika ada satu teori
mengatakan bahwa sebuah Komet yang mengarah ke bumi dipengaruhi oleh gaya
gravitasi, beserta kecepatan gaya serta
konstanta nuklir di dalam komet itu, maka komet akan jatuh ke bumi dalam
kecepatan sesuai dengan hukum aerodinamikanya.
Namun, teori ini
tidak bisa kemudian dipakai untuk kejadian yang sama, karena besar ukuran, daya ledak konstan nuklir pada komet saat
memasuki atmosfer bumi hingga keluar api, akan dipengaruhi oleh hukum-hukum
lainnya. Jadi jika ilmu awal di terapkan pada kejadian komet, ilmu itu akan gagal, salah total alias ilmu tidak pasti"
Dan fase ini di akhiri dengan clossing statmen Kang Koor:
"Ilmu kayaknya adalah kondisi dimana sesuatu tidak
berada tepat pada titik tengah
(tawasuth), sehingga, sesuatu yang gagal menemukan tirik tengah
akan gagal pula menyeimbangan (tawazun) antara
beban keduanya. Ketika tawasuth dan tawazun tidak tercapai, maka mustahil menemukan tasammuh (toleransi), menerima keberagaman sehingga puncaknya adalah keadilan."
°Catatan
Poci Maiyah Agustus 2018
Maiyah
Bukan sekadar ilmu
kayaknya tanpa rasa
Bukan sekadar
prasangka-prasangka tanpa cinta.
Maiyah mampu melebur
menjadi kata-kata, makna-makna,
rahasia-rahasia.
atau menyelinap
menjadi sabda-sabda layar kaca,
disaksikan oleh jutaan
mata rakyat Indonesia
disaksikan oleh
seluruh penghuni negeri kathulistiwa
bahwa memahami duka
padamu, adalah juga luka padaku
***
Maka, apapun yang
terjadi malam itu, sebanyak apapun
kejutan-kejutan, nikmat, rahasia yang Allah berkahkan ke Poci Maiyah
tidak lebih adalah Irodah-irodah Allah yang tidak ada satupun makhluk mampu
melakukannya, sebagaimama segala
kejadian itu dengan tawadlu kami maknai sebagai sesuatu yang Mili Soko Langit.
Panggung, 06 Agustus
2018