Mukadimah Poci Maiyah Januari 2019
Oleh: Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay
Bismillah Ar Rahman Ar Rohiym, dengan segala
ketertundukan kami di dalam naungan Cinta-Mu duh Gusti, Yang tidak ada Cahaya selain Cahaya-Mu untuk menerangi
kejuhulan kami, agar terang benderang
kami mengenal diri kami sendiri, dan semoga Engkau Mengizinkan kami untuk
barang secuil mampu mengenal-Mu.
La hawla wala quwwata wala
sulthona illa billahil ‘aliyyil adziym, bahwa tidak ada keberanian,
kepandaian, kehebatan, kesombongan sedikitpun yang berani kami tunjukan, selain
bahwa apa yang akan kami lakukan, kami sinauni, murni berangkat dari
kesungguhan kami mengagumi, merindukan, mencintai Kekasih-Mu Ya Rabb, maka
himpunlah kami kedalam Ridlo-Mu, hantarkanlah kami ke dalam Cinta-Mu, dan Jagalah
kami dari mendzolimi diri kami sendiri.
Sebagaimana di bawah pohon
itu, dalam rentan luka darah bersimbah, Kekasih-Mu, junjungan kami, justru
berbisik ;
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengeluhkan kelemahanku, ketidakberdayaanku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih diantara yang mengasihi. Engkau Tuhan orang-orang lemah dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau hendak menyerahkan diriku? Kepada orang-orang asing yang bermuka masam terhadapku, atau kepada musuh yang Engkau takdirkan akan mengalahkanku?
-In Lam takun ‘alayya ghodobun, fala ubaliy-
Hal itu tidak aku risaukan asal Engkau tidak murka
kepadaku (Asal Engkau tidak Murka padaku, aku tidak peduli - simbah). Namun
Rahmat-Mu begitu amat luas. Aku menyerahkan diri pada Cahaya-Mu yang menerangi
segala kegelapan, serta menentukan kebaikan urusan dunia dan akhirat. Aku
berlindung dari Murka-Mu. Aku senantiasa memohon Ridlo-Mu, karena tidak ada
daya dan kekuatan kecuali atas Perkenan-Mu” (Muhammad - Martin ling ;139)
***
Terlalu lama makhluk yang
disebut manusia saling bertikai, bertempur, berperang membunuhi saudaranya
sendiri, seakan bahwa apa yang mereka kejar di dunia ini, baik kekayaan,
kekuasaan, ketenaran adalah sebaik-sebaiknya pencapaian hidup, bahwa setelah
mati mereka menganggap tidak ada lagi babak selanjutnya, kehidupan selanjutnya.
Selama ribuan tahun - jelas hal tersebut tidak bisa dihindari sebagaimana yang
telah wahyu jelaskan bahwa “yuwaswisu fiy sudhuwrinnas, minal jinnatiy wannas”–
kebimbangan, keraguan, kegelapan, kejahatan yang muncul, justeru dari sesama
manusia sendiri. Kegagalan mereka untuk mengenali diri mereka sendiri
membuatnya tersesat jauh untuk mengenali siapa Pencipta mereka, hingga pada memahami
kenapa mereka bisa “ada” di siklus dunia ini.
Maka beruntunglah dan patut
disyukuri, manusia-manusia yang telah bersentuhan dengan Maiyah tidak turut
terjebak pada keadaan atau konflik yang ada. Bukan Maiyah sebagai simbol,
sebagai jargon, sebagai institusi apalagi organisasi, namun maiyah sebagai
proses-nuanasa-cuaca yang para manusianya “diperjalankan” kembali mengenali
Tuhannya, Utusan-Nya, Wahyu Suci-Nya, Para Malaikat-Nya, serta Ketentuan dan
Kehendak-Nya atas seluruh kejadian
kehidupan di semesta ini hingga kehidupan sejati di akhirat nanti. Maiyatullah
wa Maiyaturrosul.
Jannatul Maiyah dilatih
untuk tidak terjebak pada kesemuan-kesemuan perjalanan tanpa kesadaran, akal
dan rasa. Yang pada kondisi umumnya, manusia seringkali belum khatam
melewati satu fase, namun memaksa langsung menuju fase selanjutnya. Sadar
sebagai bangsa belum, ujug-ujug sudah dipaksa bernegara. Aqil baligh belum,
sudah diancam-ancam dengan dan harus takut pada dosa. Kenal Alif-ba-ta, A-b-c-d,
Alfa-beta-teta-omega belum sudah diminta bertulis kata berujar makna.
Membedakan apa itu berani dan nekat, bergegas dan terburu-buru, baik dan benar
saja tidak bisa, eh sudah digiring untuk membangun peradaban atau maju perang, dan
betapa wagu jika ada ajakan, himbauan, perintah untuk menyamakan atau
menyatukan tujuan/visi, padahal belajar istikomah saja belum.
Bagaimana bisa seseorang
memiliki keberanian diri dan kesiapan mental, untuk memiliki sebuah tujuan,
jika kejernihan akal, ketenangan hati, kekokohan mental, kekuatan fisik, daya
untuk bisa menikmati dan menemukan kebahagiaan dalam setiap situasi, serta
keistikomahan yang melebur membentuk karakter saja dia belum selesai? Jika
Selalu terburu-buru, jika tersandung dan terus berulang kali tersandung.
***
“law laka law laka ma kholaqtul aflaq” – Jika bukan karena engkau (Muhammad) tidaklah akan Kuciptakan semesta ini.
Ialah Nur Muhammad, makhluk
yang kali pertama Allah ciptakan sebelum ada itu ada, sebelum semesta
berlangsung, sebelum bangsa malaikat, jin, iblis, tanah, air, udara, logam,
bintang-bintang, planet, satelit, matahari, bulan, bumi, langit, manusia
diciptakan. Sepercik Nur Muhammad Allah hamparkan, dan berlangsunglah organisme
semesta, seluruh makhluk, kehidupan, ruang, waktu, awal dan akhir dalam lingkup
Sunnatullah-Nya, dalam Genggaman Irodah dan Kuasa-Nya. Semua mensiklus dalam Sunnah-Nya,
pada setiap petik detail yang manusia bahkan seluruh makhluk tak akan mampu
memahami ilmu-Nya walau setitik. La rayba fiyh.
***
(Dan Dia menundukan malam dan siang untuk kalian, dan matahari) lafal wasyamsa bila dibaca nashob berarti diathofkan kepada lafal sebelumnya, bila dibaca rafa’ berarti menjadi mubtada (bulan dan bintang-bintang) kedua lafal ini dibaca nashab dan rafa’ (ditundukan) kalau dibaca nashob, maka berkedudukan menjadi hal, dan kalau dibaca rafa’ maka menjadi khobar (dengan perintah-Nya) berdasarkan Kehendak-Nya (Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda Kekuasaan Allah bagi kaum yang memahami-Nya) bagi kaum yang mau mentadabburinya. (Tafsir Al-Jalalain, An Nahl 16:12)
***
Air adalah air, api adalah
api, sifat keduanya tidak akan bisa bersatu dan pertemuan langsung keduanya
akan mengahancurkan satu sama lain atau salah satunya. Namun keutuhan membuat
keduanya berharmoni dalam perbedaannya. Air tak akan mampu bertransformasi,
menjadi ringan, menguap keangkasa tanpa panas untuk membebaskannya. Air tak
akan mampu kokoh menggunung es tanpa panas rela meninggalkannya sepenuhnya. Dan
sial bagi api jika air tak mau mengangkasa mensedakahkan oksigen pada udara,
atau diam tak mau mendidih bersinergi menjadi lava melebur bebatuan keras.
Semua memiliki jarak,
seperti kata akan kehilangan makna tanpa spasi. Dan setiap jarak adalah pemisah
sekaligus pemersatu bagi mereka yang bisa menemukan
wasilah/perantara/medium yang tepat. Kenapa harus mempertentangkan air dan api
jika besi bisa mengharmonikannya dengan syahdu. Kau ambil air, masukan kedalam
panci, didihkan untukmu meracik kopi, teh dan sebagaianya maka bahagialah
hidupmu.
Tapi manusia bisa jatuh
sangat dalam dan menjadi begitu sombong, rakus, malas, pendengki, pemarah,
bersyahwat, dan tamak untuk mengenal dan menaklukan dirinya sendiri.
Kemudian lahirlah kehidupan dimana manusia saling bertikai, berebut kekuasaan,
memperbudak antara manusia satu dengan manusia lainnya. Bahkan lebih tersesat
ketimbang hewan ternak (kal an’am balhum adloll).
Padhal mereka yang bertikai,
meski berbeda suku, bangsa, bahasa, budaya, warna kulit, fadilah tetaplah masih
dalam satu ras, ras manusia, bukan iblis, bukan malaikat, bukan jin, bahkan,
bukan coro. Tanah tak akan membenci rumput, rumput tak akan membenci
kambing, kambing tak akan membenci harimau, harimau tak akan memakan membunuh
anaknya sendiiri dan masing-masing kesemuanya tak akan membenci menghancurkan
ras mereka sendiri, semua saling terhubung, satu kesatuan, satu keutuhan.
Kehidupan menyelimuti ruang dan waktu untuk satu dengan lainnya, untuk saling
mendorong agar bisa tumbuh dan berkembang.
Maka betapa dzolimnya
manusia yang justeru malah membenci, membunuh, memperbudak dan menghancurkan
satu sama lain, menghancurkan diri mereka sendiri. Padahal kesemuanya itu
berasal dari satu dzat yang sama bernama Nur Muhammad.
***
Tibalah masa dimana rosul
ke-313 di utus ditengah-tengan manusia dengan risalah Agung yang tidak hanya
berlaku bagi kaumnya, namun membawa rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil
‘Alamiyn).
“Laqod jaa akum Rosuwlun min anfusikum ; Sungguh telah datang Seorang Rosul dari Bangsamu sendiri.”
Yang masa tumbuhnya tidak
lebih nyaman ketimbang manusia lainnya. Beliau terlahir dalam keadaan piatu
tanpa sempat mengenal bagaimana ni’mat rasa ketika seorang Ayah membelai
kepalanya, makan dari kerja keras Ayahanya, disentuh pundaknya ketika akan
jatuh tersungkur, dan ni’mat di marahi Ayahnya ketika beliau bermain terlalu
jauh masuk kedalam lembah, beliau tidak meraskannya. Bahkan menuju fase cah
angon, beliau telah kehilangan ibu yang sangat menyayanginya. Beliau tumbuh
dengan tidak lebih nyaman ketimbang manusia lainnya, namun apa yang akan berada
dipundak beliau jauh lebih berat ketimbang siapapun manusia yang pernah hidup
di dunia.
(Baginda) Muhammad hadir
ditengah-tengah kehidupan, menyatukan masa lalu- masa kini – masa depan, awal
dan akhirat, innalillahi wa inna ilihi roji’un, agar semua makhluk mulai
kembali mengenali siapa dirinya sendiri, juga bersiap untuk menyambut kehidupan
sejati di Negeri Akhirat kelak. Menguswahkan kerendahan hati, kasih,
kebaikan, kesabaran, pengendalian diri, ketekunan agar Rahmat sepenuhnya
tersebar ke alam raya.
“Siapa Rosulullah bagimu, bagi kehidupanmu, bagi keluargamu, bagi bangsa negerimu?”
Mampukah kita menyuapi
seseorang dengan lembut padahal ia terus memaki-maki diri kita? Mampukah kita
rela berbagi harta keluraga kita demi kesungguhan orang lain memeluk islam di
dalam hatinya, mampukah kita tetap mendo’akan kebaikan bagi mereka yang
memfitnah kita? Menuduh kita dengan sebutan orang gila, tukang sihir,
pengada-ngada bahkan dengan mereka yang mengusir kita dari tempat tinggal kita
sendiri? hingga kepada mereka yang ingin membunuh diri kita? Mampukah kita
bersikap keras terhadap diri kita sendiri, namun lunak, pendamai dan
penyemangat bagi sahabat-sahabat kita? Dan beranikah kita semena-mena kepada
semesta ini, jika itu semua adalah satu bahagian dari Nur Muhammad?
***
Alhamdulillah ‘ala Kulli hal
Betapa sayangnya Rabb kepada
Indoneisa -lewat Simbah sebagai (salah satu) wasilah Rahmat/Sayang-Nya dan
penyambung warisan kenabian- berkenan menghadiahi Maiyah dengan Sinau Barengnya
kepada manusia-manusia yang seringkali tersandung-sandung itu. Tersandung tidak
karena kelalaiannya disengaja, namun
memang karena cuacalah yang membuat mereka menjadi buta mata, tuli telinga,
tangan terikat untuk mampu mengenali dirinya sendiri, mau menerima dirinya
sendiri, dan bersedia mengkhilafahi dirinya sendiri, dan mengenali kepada siapa
sebaik-baik uswah (Rosulullah) yang harus di ikuti.
Di Sinau Bareng, Jannatul
Maiyah dilatih berulang kali untuk menelaah serta menerapkan siklus Al Insyiroh
agar fase demi fase dalam masa tumbuh tidak timpang atau terbonsai ;
Tadabbur Al Insyiroh ;
Lapangkan dada (jembarno atine, meruang sik, toto niate, sing podo ikhlas lan ridlone) - diangkat bebannya ( berbahagilah, bermesralah, saling mencintailah, tertawa) – tinggikan sebutanmu (gedekno atine, optimislah, berdaulatlah) – kesulitan serta kemudahan (angel-angel titik yo wajar, ngko lag gampang mburine, nyicil sinau sitik, mikir rodo ga linier tapi yo zig-zag, spiral titik ga popo yo, satu nomer) – kesulitan serta kemudahan (yo jenenge urip wajar ono masalah, tapi jangan sampai masalah menundukanmu, engaku masih punya Allah dan Rosulullah, hayuh dolanan) – telah selesai satu, teruskan/lanjutkan lainnya (sing wis apik diterusno, sing ubed, sing luwih nggetih) - kepada Tuhanmulah harapan di gantungkan (bahwa Subjek Utama perubahan adalah Gusti Allah, kalau dikabul disyukuri, tapi ndak usah GR, ojo gumunan).
Manusianya dulu telah minimal selesai dengan dirinya, maka kemudian setelah selesai
melewati fase pertumbuhannya, keikhlasaan, cinta dan kemandiriannyalah yang
akan diperjalankan menuju fase selanjutnya. Karena bagaimana mungkin hati yang
bimbang akan bisa membedakan kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Bahkan, seringkali manusia
yang berikhtiar mengenali Tuhannya, tentang bagaimana asal muasal semua ini,
alasan kenapa ia hidup, alasan apa peranannya di Kehidupan, amanah apa yang Tuhan
peracayakan kepadanya, seringkali terjebak dengan ia membandingkan
dirinya sendiri dengan Tuhannya, bagaimana bisa perbandingan ini dicerna?
Bukankah itu malah menghancurkan eksistensinya sebagi ciptaan/makhluk? Kenapa
perbandingan yang ia ambil tidak antara makhluk dengan makhluk? Yang Allah
telah memberikan petunjuk dalam Wahyu Suci-Nya ;
“Qul In Kuntum Tuhibunallah, fattabi’uniy yuhbibkumullah - al imron 31”
***
“Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh (ia akan mengenali Kekasih-Nya, ia akan mengasihi dirinya, ia akan mencintai asal penciptaannya, ia akan menantikan perjumpaan dengan Kekasihnya) ia akan mengenali Tuhannya”
***
Tibalah di penghung kalimat,
dengan berulang kali menghela nafas panjang, dengan kesabaran menahan bosan,
dengan ketelatenan menjalani proses
Manusia Menuju manusia, hingga pada satu momentum buncah rasa tenggelam dalam
gelombang Samudera Cahaya yang terpantul dimana-mana. Dengan tawadlu,
ketertundukan, rasa malu, harap-harapan penjagaan atas dijaganya rahasia dalam
kesucian-kesuciannya, keanggungan nilai persaudaraan. Sampai suatu ketika seseorang
bertanya :
Bagaimana mungkin kalian bisa merasakan rindu yang teramat dahsyat, bahkan jatuh cinta dan mencintai begitu dalam, kepada seseorang yang sekalipun dalam seumur hidup tidak pernah kalian lihat, temui, jumpai?
“Hanya mereka yang mengimani dan mesyahadatinya yang akan mengerti. Ini adalah ni’mat yang hanya ummatnya yang bisa merasakan dan memahaminya. Ia adalah sebaik-baik manusia, sebaik-baik uswah, Tuhan sangat Mencintainya, yang meski hidup kami terpisah ratusan tahun, tapi beliau sangat menyayangi kami. Maka, tidak semilyar kalipun kami bisa menemukan alasan untuk tidak jatuh cinta padanya dan menyayanginya sepenuh hati. Bahkan kami sangat sangat takut dan malu, bila-bila kami menyakiti atau mengecewakan hatinya.”
Sollu ‘Alaihi Ya Rosulallah, wa ‘ala alihi wa ashabih ajma’iyn.