Reportase Milad 3 Tahun Poci Maiyah
Oleh: Lingkar Gagang Poci
Gelap yang kian jatuh, tak
membuat semangat runtuh. Jamaah dari berbagai daerah tetap sedia — menyimak
seksama. Hujan yang mulai reda — kian menyisakan aroma petrichornya. Setelah
Sabrang MDP menjelaskan tentang merumat, berbagai respon pun bermunculan. Respon
pertama datang dari pegiat Cirebes (Cirebon-Brebes). “Apa yang menjadikan
energi pergerakan mahasiswa tidak sebesar ketika tahun 1998?” berdasarkan dari
analisisnya, bahwa kegiatan aksi mahasiswa yang menggugat kebijakan pemerintah
tak berefek sebesar di akhir abad ke-20 itu. Pertanyaan selanjutnya dari Kang
Trian asal Margasari yang nampaknya sedang dalam keruwetan perjalanan pencarian
jati diri sejati. “Ngerumat diri yang sejati itu bagaimana?” dilanjut
pertanyaan dari Mbak Karmila, jamaah Cirebes, yang menanyakan bagaimana cara
ngerumat diri, dalam konteks gotong royong dari diri sendiri. Menarik. Sangat
nampak, sinau bareng Milad Poci Maiyah yang ke-3 ini begitu khidmat — cahaya
pemahaman meresap pelan, respon jamaah pun tumbuh satu per satu — tak
tertahankan. Menambah syahdu acara Milad Poci Maiyah ke-3 yang bertempat di GBN Slawi, Jum'at malam
sabtu itu. (28/2)
Mas Sabrang mendedar
analisisnya tentang demonstrasi atau aksi mahasiswa — yang beliau juga ikut
mengamati geliat pergerakan anak muda bangsa ini. Cerita tentang kritik
teman-teman mahasiswa di Surabaya, agar beliau juga ikut menggugat kebijakan
pemerintah, berjuang (atas nama) membela rakyat, atau turun ke jalan. Entah apa
yang merasuki mereka, Mas Sabrang dengan gerilyanya, justru super aktif ‘turun
ke jalan’ menemui sedulur-sedulur maiyah untuk ‘revolusi sosial’. Dengan
thariqat ikhtiar memperbaharui
manajemen bangsa dan negara; dengan makrifat tatanan kenegaraan baru, berbekal
bisyaroh komplikasi pemerintahan baru, dan pengorbanan yang tak dapat terukur,
bersama sedulur maiyah di seluruh negeri. Turun ke jalan seperti apa yang
dimaksud, jika mereka hanya turun ke jalan per momentum, kami tiap pekan, tiap
bulan turun ke jalan menguatkan mental, intelektual, spiritual — meski sebagian
juga ada yang ikut karena lari dari kejombloan yang radikal. Sungguh nackal nasib
padamu, kawan. Sabar ya.
“Menurut saya naif, jika
menganggap demo itu memecahkan masalah. Pada akhirnya demonstrasi itu menjadi
panggung berjoged/karnaval saja. Lalu berselfi, kemudian pulang, dan melakukan
aktifitas hedon seperti kemarin dan sebelumnya." “Rakyat memang
kekuatan besar, tapi mereka adalah cair, dan tak bisa dipadatkan,” tidak bisa
‘dilembagakan’, kemudian aksi sebelumnya yang berupa alumni-alumni demo mereka
di pertama kali, hanya menyisakan mereka yang terikat dengan suatu misi
pribadi. “Tidak ada dalam sejarah sebuah revolusi mental yang besar, kecuali
disebabkan oleh darurat sosial. Kita tak akan berubah, selama yang dipikirkan
selalu orang vs orang, belum orang vs masalah. Kalau saya mau menebang pohon di
hutan, yang saya lakukan lebih dulu adalah mengasah kapaknya. Sebelum berangkat
ke ‘hutan’ (medan perjuangan untuk menjadi pahlawan), asah dulu kapakmu.”
Di Maiyah kita sinau tentang
ilmu pawang. Kewaskitaan manusia nusantara yang tak dimiliki dan tak akan
pernah dimiliki manusia modern dimanapun mereka berada. Ilmu gerilya tingkat
tinggi, nampak santai, tapi ternyata telah terhitung dan terkonsolidasi segala
sesuatunya. Ketika momentum berjumpa dengan lawan datang, dengan sendirinya
lawan itu tak berdaya. Filsafat perang lainnya yang tak kalah tinggi dari Jawa
adalah kesaktian orang nusantara dulu, yang mampu memenangkan pertempuran tanpa
perang, tanpa pertumpahan darah. Karena yang leluhur kita ajarkan adalah
beladiri melawan masalah, orang vs masalah. Bukan petarung hebat, ketika ia
mampu menjatuhkan lawannya selama ia adalah orang. Sebaliknya, orang kuat adalah
mereka yang mampu mendamaikan (bukan hanya sekedar kalah-menang) amarah dalam
dirinya sendiri, dan juga masalah-masalah yang dihadapi dalam lingkup
sosialnya. Nampak tegang, tapi ketika masalah berdiri berhadapan, ia mengecup
tangan dan mengucapkan salam perdamaian pada sang pawang tersebut.
Kemudian merespon pertanyaan
dari Kang Trian, Mas Sabrang menjelaskan tentang konsep diri, “Jika kita
mengenal diri, maka kita akan mengenal Tuhan. Mengenal diri saja mengenal
Tuhan, apalagi jika merumat, akan menjadi bagian dari cinta yang rasulullah
bawa: rahmatan lil alamin."
“Sedangkan bagaimana kita tahu apa yang kita cari sedangkan kita sendiri tak
tahu apa itu, salah satunya adalah dengan proses eliminasi. Terus berpikir.
Karena seringkali kita tidak paham, kita sedang menolong atau justru membebani,
termasuk diri sendiri. Kita harus sadar positioning, kesadaran dalam
‘ruang dan waktu’. Kalau misalnya kita menjenguk orang sakit, itu kan baik.
Tapi kalau kita menjenguk orang sakit di waktu ia mau istirahat karena kecapean
menerima banyaknya penjenguk? Itukan beban juga,” kemudian Mas Sabrang MDP melanjutkan,
“Peradaban modern itu dibangun dengan dasar kompetensi, kemudian popularitas,
sedangkan peradaban Islam dibangun berdasarkan asas manfaat,” yang paling
nampak dari peradaban modern adalah karakter transaksional. Asas kompetensi itu
baik, jika dikembangkan menjadi asas manfaat, tanpa harus transaksional. Kamu bisa apa, saya beli. Aku bisa ini,
kalau mau harus beli. Maka
yang terjadi adalah gap, ketimpangan
sosial, buta kebutuhan mendasar umat manusia, tentang cinta, tentang
kebermanfaatan, tentang Tuhan.
Sinau bareng Milad Poci
Maiyah ke-3 malam itu makin malam semakin khusyu. Respon selanjutnya dari Kang
David yang menanyakan tentang hakekat kekuasaan, “Merujuk ke ‘ada’-nya Allah,
kita harus menggunakan apa untuk mencapai-Nya? Untuk mengenal yang mewujudkan
kita itu caranya bagaimana?” selanjutnya dari Kang Ahmad asal Lebaksiu, “Gotong
royong seperti apa untuk ngerumat
pejabat-pejabat yang tak kapok korupsi?”
Pertanyaan semakin mendalam,
ketika dilanjutkan oleh Kang Subekhi, “Kalau Gus Baha kan mengatakan sanad ilmu
itu penting, sedangkan Mbah Nun mengatakan agar berdaulat atas diri sendiri,
itu bagaimana kita menyikapinya?
“Pakai apa kita untuk
mengenal Tuhan? Akal dan iman. Daripada menggunakan energimu untuk kerumitan,
lebih baik menggunakan energi besar itu untuk berbuat kebaikan,” Kang Lu’ay
merespon pertanyaan dari Kang David.
Pembahasan Tentang Hakekat
Pernyataan Mas David tentang
“Awas ada listik nanti tersengat mati, padalah yang punya kuasa untuk mematikan
itu cuma Allah. Tapi kalau Allah berkehendak listrik bisa mematikan bagaimana?.
Seperti pernyataan Syech Abdul Qodir al-Jalani “Ilahi anta maqsudi wa
ridhoka matlubi a’tini mahababataka wa ma’rifataka” yang artinya Tuhanku,
Engkaulah yang kutuju dan ridho-Mu yang kuharapkan, beri daku kecintaan dan
makrifat kepada-Mu. Jadi kalau sama Allah urusannya cinta.
Di Maiyah kita berlatih
untuk percaya bahwa satu-satunya kepastian adalah mati. Karena kita belum benar-benar
terbangun untuk mengerti kebenaran sebelum melewati kematian.
Kalau memang kamu sudah putus asa mencari kebenaran. Kenapa tidak kamu gunakan energimu untuk berbuat kebaikan?
Qul inkuntum tuhibbunallah fattabi'uunii.
Katakanlah (wahai Muhammad) jika kamu mencintai Allah swt, (bersukur atas nikmat yang telah diberikanNya pada kita), maka ikutilah aku (Muhammad saw). Karena satu-satunya pintu untuk mengenal Allah adalah Nabi Muhammad.
Dan apakah pantas mahluk
mensifati Tuhan? Tidak ada mahluk yang bisa mensifati Tuhan. Kita tahu tentang
Tuhan juga dari Tuhan sendiri yang memberi tahu. Daripada bingung mencari
pangeran lebih baik mencari jodoh. Gelgak Gus Luay membuat jama’ah tertawa
gembira.
Dilanjutkan respon dari Sabrang
MDP, “Manusia memiliki sesuatu yang tak dimiliki Tuhan, yaitu limitasi. Dan
nabi-lah yang melebarkan limitasi manusia, semakin mengenal keterbatasan
dirinya. Seperti tetes air yang menuju laut."
Perjalanan manusia adalah bagaimana dia bisa melebarkan limitasinya sampai kembali kepada Yang Maha dan kita sebagai manusia harus menikmati perjalannanya.
Pembahasan Tentang Sanad
"Dan tentang sanad,
jelas itu penting. Tapi tidak semua orang dapat mengakses ke kitab-kitab atau
para ulama. Harus tetap ada ilmu yang aksesnya mudah didapat semua orang. Dan
itu adalah pengalaman. Sanad pengalaman itu langsung dari Tuhan. Itu yang
disampaikan Simbah tentang kedaulatan diri. Maka yang mampu mepelajari
kitab-kitab, pelajarilah secara sungguh-sungguh. Dan yang baru bisa mengakses
pengalaman sendiri, pelajarilah secara sungguh-sungguh juga”
Pembahasaan Tentan Tipe
Orang Berfikir
“Tipe berpikir orang itu kan
ada empat,” Sabrang MDP melanjutkan. “Ada tipe berpikir deklaratif, yang akrab
dengan kata ‘atau’. Contoh, kamu mau buah mangga, atau jambu? Ada tipe
kumulatif, yaitu dengan kata ‘dan’, contoh, kamu mau buah mangga dan jambu? Ada
tipe berpikir serial, contoh, jika kamu mau jambu, mangga, apel, maka... dan
keempat tipe paralel, yaitu berpikir secara komprehensif, dari berbagai sudut
pandang, akar-pangkal, luar dalam, dst. Sedangkan kebanyakan pejabat cara
berpikirnya sederhana, begitupun rakyat yang memilihnya. Maka di sanalah
pentingnya ruang publik, karena darisanalah peradaban akan bergerak.
Pembahasan Tentang Hemofili
Kita sering salah mengartikan
kata hemofili, di kamus bahasa indonesia itu berbeda dengan arti yang
sebenarnya. Hemofili itu orang-orang yang memiliki interest
(ketertarikan/minat) yang sama.” Selama ruang publik belum ada, dan para
pejabat kita masih sikut-sikutan untuk menang, bangsa ini tak akan berubah. “Karena itulah kita mau seperti ini, untuk mengangkan mereka yang tak bisa
terangkat karena ekonomi, karena tak punya koneksi, dan tak mau sikut-sikutan
dengan saudaranya sendiri.”
Semoga dengan berbagai nilai
yang tersirat maupun tersurat, dapat menjadi bahan merumat; mengenal,
merawat diri, hingga mengenal Tuhan dalam segala perjalanannya.