Mukadimah Poci Maiyah November 2020
Oleh : Lingkar Gagang Poci
“Kemanapun aku pergi, kubiarkan ruhaniku digembalai oleh Nabi. Muhammad adalah pengembalaku. Tubuh dan ruh ini hanyalah domba yang akan Ia hantarkan ke hadirat Yang Kuasa.”
Nyong
wis mbatin, bakalen kaya kiye. Pernahkan kita membatin
begitu?
Bolehkah manusia
berprasangka? Memprediksi apa yang akan terjadi, lalu akhirnya membuat diri
sendiri merasa kecewa? Bolehkah menyesali sesuatu yang telah terjadi, padahal
itulah takdir Allah yang memang kita pilih? Jadi, kita yang menentukan takdir,
atau memilihnya?
Nyong
wis mbatin. Apa yang menjadikan manusia merasa mampu
menggenggam masa depan? Sedangkan semenit ke depan kita masih hidup atau tidak
sebenarnya di luar kendali kita?
Indera
manusia didesain hanya untuk mengumpulkan data. Pikiran, akal, yang tidak
terlalu penting, lama-lama memperdebatkan definisinya—adalah alat untuk
mengolah data itu. Jika di dalam pikiranmu terjadi rasan-rasan,
pertimbangan, pertempuran argumentasi, itu tandanya sedang terjadi proses olah
data. Namun hati, tetap menjadi sang pengambil keputusan. Nafsu adalah
budak, akal adalah perdana menteri, dan hati adalah rajanya. Jika seseorang
sudah gagal dari dalam pikirannya, maka kenyataan hidupnya pun tak akan jauh
dari itu. Rasan-rasan yang orang lakukan, entah itu di dalam diri
sendiri atau bahkan bersama orang lain, selama akal tak benar memproses data
inderanya, maka hasilnya adalah prasangka, dzon, yang seringkali justru
membuatnya kecewa.
Manusia
membuat ukuran-ukuran kehidupannya sendiri, lalu ketika itu membuatnya kecewa,
mereka menyalahkan Tuhan. Manusia menciptakan ketakutan-ketakutannya sendiri. Membayangkan
khayalan-khayalan sendiri. Menjatuhkan diri dalam jurang keputusasaan. Pesimis,
lalu mengobatinya sendiri dengan keoptimisan—keberanian melawan pikirannya
sendiri. Manusia menciptakan musuh, yang nantinya dia kalahkan sendiri. Hidup
kok (kelihatan) repot begitu ya. Nyong wis mbatin.
Ketika
Abdul Muthalib, kakek nabi tercinta, Muhammad sholallahu alaihi wa salam,
mendatangi Abrahah untuk meminta kambing-kambing yang dirampas, apakah ia
membatin, memprediksi apa yang akan terjadi? Hingga Abrahah heran, mengapa
orang se-terhormat beliau tidak memintanya agar jangan menyerang Ka'bah, melainkan,
seakan lebih penting kambing-kambing itu daripada rumah Tuhan.
Ketika
Sang Nabi tercinta dipanggil Abu Lahab, saat pura-pura sakit, apakah hati
beliau membatin? Sekalipun Jibril sudah mengingatkan bahwa itu adalah jebakan,
agar tak jadi mendatanginya? Di kisah lain, apakah Rasulullah membatin, ketika
Umar bin Khottob menyatakan masuk islam: jangan-jangan itu hanya rekayasa?
Ketika disajikan daging kaki kambing setelah penaklukan Khaibar, melawan para
yahudi yang keras kepala?Apakah Rasulullah membatin, dalam daging itu telah
ditaburi racun? Yaamuqolibalqulb tsabitqolbi ala dinnika. Prasangka
lahir dari ketiadaan ilmu yang memadai, keterburu-buruan pikiran memutuskan,
lalu menjadi kesimpulan yang final, dan rasa cukup untuk tidak mengoreksi apa
yang pernah dipikirkannya itu. Sedangkan, bahkan sinau bareng seperti ini pun
bukan untuk mencari kesimpulan yang final, harga mati, melainkan terus belajar
dan berani untuk mengubah apa-apa yang kemarin kita pahami sebagai 'kebenaran'.
Dan hati Rasulullah, layamasuhuillalmuthoharun, hati yang suci. Ia mampu
menembus sidratul muntaha, yang bahkan Jibril tak mampu sekadar menatap
gerbangnya.
Hati
yang telah kholas, selesai dengan keruwetan dunia. Hati yang telah total
menundukan akal dan nafsu. Hati yang damai, tak ada pertentangan lagi di
dalamnya. Tidak ada lagi rasan-rasan tentang sesuatu tanpa ilmu yang
jelas. Hati yang suci, tidak terikat pada apapun selain Tuhan. Karena di
akhirat nanti, tak ada harta atau anak yang mampu menyelamatkan manusia, selain
hati yang damai—yang telah selesai urusannya terhadap segala apapun kompetisi
keduniaan. Illa manataallahabiqolbin salim. Dunia ini milik-Nya, mengapa
manusia repot memikirkannya? Surga tak dapat dimasuki tanpa syafaat sang Nabi,
mengapa manusia merasa mampu menguasai?
Jadi,
apa yang menjadikan manusia membatin? Apakah sebuah keburukan jika terlalu
banyak membatin?Dalam presisi yang bagaimana membatin itu dibutuhkan?
Nyong
wis mbatin akan sampai pada pertanyaan itu.
Kerap
kali manusia memang suka mbatin akan keadaan yang dialaminya. Terutama
pada keadaan yang mengganggu urusannya.Seakan-akan ia tak menerima keadaan
tersebut secara apa adanya sehingga pikiran mereka menjangkau masa depan. Mencoba
menghindari masa sekarang, membayangkan dunia yang lebih baik dan menyenangkan.
Namun, mereka sendiri lupa untuk menikmati hidup di masa sekarang. Banyak
orang yang mampu memikirkan hidup di masa depan. Namun sedikit orang yang mampu
menjalani hidup di masa sekarang.
Apalagi
di masa pandemi saat ini, orang-orang mulai putus asa dan kehilangan harapan. Hatinya
dipenuhi kecemasan dan ketakukan. Mbatin mereka tak jauh-jauh dari
prasangka buruk. Keadaan lingkungan sekitar memang sangat memengaruhi kondisi
batin seseorang. Jika lingkungannya dalam keadaan buruk, seseorang tersebut
akan mbatin yang buruk-buruk begitu pula sebaliknya. Kita perlu
menciptakan lingkungan yang baik, agar kondisi batin kita juga ikut baik.
Dunia
sedang mengalami hardreset besar-besaran seperti pasca air bah di zaman
Nabi Nuh. Di tengah wabah virus ini manusia diberi tiga pilihan pertama. Diam
sekadar mbatin saja untuk menerima keadaan. Kedua, meninggalkan tempat
yang telah tercemar virus agar terselamatkan. Ketiga, menerima segala sesuatu
secara apa adanya dan berusaha untuk mengubahnya menjadi lebih baik.
Jika
memiliki cinta kepada tanah kelahiran kita, maka yang dipilih adalah pilihan
ketiga. Adanya penderitaan atau suatu masalah, merupakan suatu peluang untuk
seseorang berjuang melakukan perubahan. Hanya saja untuk mengubah kehidupan kita
tak bisa melakukannya hanya dengan mbatin saja, meskipun mbatin merupakan
awal dari segala penciptaan. Ketika seseorang mbatin, maka ia akan berniat
dengan kata-kata sebagai perantara. Niat adalah awal dari segala tindakan, dan
kata-kata merupakan awal dari segala penciptaan. Ketika Allah berkata kunfayakun,
maka alam semesta mulai tercipta.
Orang-orang
yang telah selesai dengan dirinya, harus segera memenuhi tanggung jawabnya
sebagai pengelola alam semesta (kholifatulfilardh). Jangan hanya
berhenti pada ketenangan hati. Ketenangan hati bisa menjadi semacam egoisme
untuk memertahankan kebahagiaan sendiri tanpa memerdulikan kebahagiaan orang lain.
Ketika Nabi Muhammad miraj ke atas langit menemui Tuhannya. Ia tak
melepaskan seluruh tanggung jawabnya sebagai Nabi di dunia, padahal dirinya
telah bertemu dengan Allah. Menyaksikan langsung kehadiran-Nya. Saat kita telah
melihat Tuhan, maka adakah keinginan lain yang ingin kita wujudkan? Pertemuan
dengan Tuhan adalah puncak dari segala pencapaian, hingga ada seorang sufi
besar berkata “Andaikan aku yang miraj ke sana dan bertemu dengan Allah,
pastilah aku akan menetap di sana dan tidak akan kembali lagi di dunia”. Nabi
Muhammad memilih untuk kembali ke dunia, karena rasa belas kasihannya kepada
umat manusia. Ia tak mementingkan dirinya sendiri agar terselamatkan dari
kehidupan dunia dan akhirat. Ia turun kembali ke dunia sebagai seorang
penyelamat. Manempatkan dirinya sebagai seorang sahabat yang selalu ada
menemani sepanjang perjalanan umatnya. Nabi Muhammad selalu memerhatikan kita
dan kasih sayangnya selalu tercurah sebanyak curahan shalawat yang dilantunkan
padanya.
Kaum
muslimin bagaikan satu tubuh. Apabila dalam tubuh tersebut ada bagian yang
sedang sakit, maka sakitlah semuanya. Kita selalu terikat dengan cinta dan
kasih sayang. Kebebasan yang kita nikmati sendiri, akan terasa sepi. Kita perlu
merajut hati orang-orang mukmin untuk melangkah bersama di kehidupan dunia
menuju akhirat. Hati manusia selalu terhubung satu sama lain. Namun, seringkali
pertalian itu terputus karena kita lebih memilih untuk berjuang sendiri-sendiri
dan sibuk dengan urusan masing-masing. Jika terus begitu maka kehidupan
dunia rasanya akan sama seperti kehidupan akhirat. Dimana orang-orang telah
sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak bisa meyelamatkan orang lain.
Padahal suatu hari nanti di surga, kita akan membangun negeri bersama. Seorang
anak yang telah masuk surga, akan memanggil-manggil ayah dan ibunya. Jika
ternyata di surga tidak ada, maka ia akan mencarinya di neraka. Apabila ia
menemuinya di neraka, ia akan mengajaknya masuk ke surga dan berdoa kepada
Tuhan melalui perantara Nabi Muhammad agar diwujudkan permintaannya. Surga
terlalu luas untuk dinikmati sendirian. Hidup adalah kebersamaan. Kesendirian adalahkematian
yang sesungguhnya. Sudahkah kita mbatin
akan hal ini? Jangan sampai nanti kalian kesepian ketika masuk surga dan mbatin “Lho
kok disurga sepi, terus gimana aku bisa menikmatinya kalau hidup sendiran tanpa
seorang teman?”
Nyong
ora pengin mbatin kaya kuwe...
Meskipun
kemungkinan hal tersebut tidak akan terjadi, karena proses masuknya kaum muslim
ke surga akan lebih dulu melalui syafaat Nabi. Pada saat Nabi sedang mensyafaati,
bukankah saat itu kita sedang berkumpul bersama? Menunggu waktu untuk membuka
pintu surga bersama orang-orang tercinta. Akhir kehidupan adalah kebersamaan
(maiyah) maka jangan berjalan sendirian!