Senin, 08 Februari 2021

Sesederhana itu, Menerima dan Memberi.

 


Reportase Poci Maiyah Februari 2021
Oleh: Rizki Eka Kurniawan

Bersyukurlah kepada Allah, bukan hanya atas apa yang Dia berikan, tetapi juga atas apa yang tak diberikan-Nya. Boleh jadi tidak diberi adalah pemberian. — Syams al Tabrizi: 40 kaidah Cinta

***

Langit itu tampak mendung, tetapi antusias orang-orang untuk maiyahan tak terbendung. Apa yang mengantarkan mereka datang ke sini? Apakah Poci Maiyah memiliki magnet tersendiri yang mampu menarik orang untuk tetap datang melingkar? Seperti ada sebuah cahaya di sana, yang membuat beberapa orang datang untuk mengejarnya. Mereka seakan menemukan pencerahan yang membuat hidup menjadi lebih terang, di masa pandemi yang serba gamang.

Selembaran mukadimah mulai dibaca. Kita bisa merasakan bagaimana berubahnya suasana. Saat kita benar-benar mendalami isinya, penulis seakan mengajak untuk tenggelam ke dalam samudera makna yang tak terhingga. Namun, juga menerbangkan kita kepada ketinggian langit pemahaman yang tidak bisa dimengerti dengan pikiran. Sehingga dalam salah satu kalimat dalam mukadimah tertulis, “Pada setiap puisi, ada bunyi yang melahirkan ekspresi.”

Ada bunyi di setiap puisi, ada makna, tujuan, harapan, dan ribuan bebunyian yang melagukan nada kehidupan yang ingin penulis sampaikan. Bebunyian yang melahirkan ekspresi, tindakan, sikap dan kehendak kita terhadap realita. Namun, ekspresi apa yang dimaksud oleh penulis di sini? Seakan ada yang tak selesai ia tuliskan, tetapi tak bisa tertuang dalam tulisan. Seperti sedang membaca kitab al-Hikam karya Ibnu Atha'illah. Penuh dengan aforisma-aforisma sufistik, dengan bahasanya yang khas dan menyiratkan aneka warna. Bagai puisi yang lembut penuh metafora. Namun, terkesan lugas menuturkan kebenaran seperti sebuah prosa yang penuh keindahan.

Bahkan ketika penulis disuruh untuk menjelaskan tulisannya, ia menjawab “Sebenarnya saya tidak menulis, saya hanya menaati peritah.” Sebagaimana para penyair yang seringkali tak menyadari bahwa dirinya telah menuliskan syair. Mohammad Azam, benar-benar menuliskan mukadimah ini penuh dengan kejujuran. Ia hanya menuliskan apa yang benar-benar ia lihat dan alami dalam kehidupan. Namun, ada satu pertanyaan besar dari penulis yang mendasari mukadimah berjudul 4MEMUJI ini. Pertanyaan itu adalah, “Apa sebenarnya rasa syukur itu?” Sebab dalam realitanya rasa syukur datang ketika melihat penderitaan orang lain. Maksudnya saat kita melihat orang sakit, kita baru bisa merasakan nikmat syukur diberi kesehatan. Hal ini seperti halnya kita sedang bersyukur di atas penderitaan orang lain. Jadi, adakah rasa syukur yang murni tanpa harus melibatkan penderitaan orang lain? Sebagaimana yang dipaparkan oleh Mbah Nahar dan Yi Fahmi bahwa selalu ada parameter perbandingan untuk bisa menemukan rasa syukur.

Satu pertanyaan lagi datang dari Mas Moka, “Rasa syukur itu dibuat oleh Tuhan atau manusia?” Ini merupakan pertanyaan sederhana, tetapi susah untuk menjawabnya. Sedangkan menurut penulis, rasa syukur itu merupakan konsep dari Tuhan yang diberikan oleh manusia. Tuhan yang mengajarkan manusia untuk bersyukur. Dia yang menciptakannya dan manusia yang menjalaninya.

Sebagaimana agama yang menjadi peredam dari seluruh kegelisahan manusia. Rasa syukur merupakan salah satu ajaran agama yang hadir dari Tuhan. Manusia tidak menciptakan rasa syukur, manusia hanya menjalankan apa yang telah ada sebelumnya.

Salah satu perempuan pun bercerita tentang pengalamannya merantau di Semarang. Saat ia merantau di Semarang, ia pernah dua hari tidak makan dan hanya bisa meminum air putih setiap hari untuk mengganjal rasa laparnya. Saat itu, ia benar-benar kehabisan uang karena management keuangan yang ia lakukan kurang baik. Hal itu membuat uangnya habis dengan sia-sia sampai untuk makan pun tak ada. Dalam dua hari tersebut, ia menangis di hadapan Allah. Sepenuhnya berpasrah dan berserah diri pada-Nya. Sebuah moment dimana ia tak bisa apa-apa dan hanya bisa berdoa, meminta kepada Yang Kuasa. Dan di saat itulah tiba-tiba ada transferan uang masuk ke rekeningnya. Entah siapa pengirimnya ia tak tau. Saat itu pula ia benar-benar merasakan nikmatnya rasa syukur yang mendalam. Nikmatnya bisa makan kembali yang sebelumnya ia tak bisa makan berhari-hari.

Gus Luay menjelaskan rasa syukur dengan lebih sederhana: kalau dalam terminologi bahasa Indonesia rasa syukur bisa kita sama artikan dengan kata ‘terima kasih.’ Jadi rasa syukur baru bisa terjadi ketika kita menerima sesuatu kita tak lupa juga untuk mengasih/memberi. Kedua hal ini harus seimbang. Jangan sampai kita hanya menerima lalu menimbun sesuatu untuk kesenangan sendiri. Jangan juga kita memberikan sesuatu yang tidak kita miliki. Kita harus bisa menyeimbangkan kedua hal tersebut agar bisa menikmati rasa syukur. Apa yang kita berikan itu yang kita dapatkan. Di al-Qur’an dijelaskan dalam QS. Al-An’am 6: Ayat 160: “Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).” Ayat lain juga menyebutkan :“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman 55: Ayat 60).

Rasa syukur memang tak akan ada habisnya bila dibahas. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan secara sederhana. Sehingga hidup kita menjadi lebih tenang dan bahagia. Membahas rasa syukur membuatku teringat salah satu puisi Mullah Shadra:

 

Tuhan itu tak terbatas, tanpa ruang dan tanpa waktu

Namun Dia menjadi kecil sesuai dengan  pemahamanmu

Namun Dia akan datang sebatas kebutuhanmu

Namun keluasan-Nya sebatas harapanmu

Namun firman-Nya  sesuai keimananmu

 

Merka yang yatim, Dia menjadi ayah dan ibunya

Mereka yang butuh saudara, Dia akan menjadi saudaranya

Mereka yang putus harapan, Dia akan menjadi harapannya

Mereka yang tersesat, dengan-Nya akan menemukan jalan

Mereka yang berada dalam kegelapan, akan mendapatkan cahaya-Nya

Mereka yang sakit, akan disembuhkan-Nya

 

Tuhan akan menjadi segalanya dan bersama seluruh manusia

Namun dengan syarat keyakinan, dengan syarat sucinya hati, sucinya rohani

Dengan syarat menjauhkan perkawanan dengan kekejian

 

Cucilah hatimu dari segala debu

Cucilah pikiranmu dari segala pikir yang keliru

Cucilah mulutmu dari segala kata yang tak perlu

Karena Dia selalu menantimu dan memanggilmu di setiap hening lorong malammu

 

 

Tegal, 6 Febuari 2021

Catatan Milad Poci Maiyah ke-4