Senin, 11 September 2017

TUTUP POCI


Aku ucapkan banyak terima kasih pada Allah SWT karena telah menyelamatkanku dari kantuk saat aku berkendara pagi tadi sepulang rutinan mother (Maiyah On The Road), menaiki motor dari kediaman Mas Pik di Penusupan menuju rumah singgah sementara di Kedawon, jarak yang memang terbentang lumayan jauh, namun tak menyurutkan semangatku untuk pulang sepagi itu, kerena memang ada tanggung jawab lain dari hanya sekedar menunggu pengertian tuan rumah (Nama di samarkan) menyediakan sarapan, setidaknya bubur kacang ijo tapi yang di nanti (sarapan maksudnya) tak kunjung datang (Ngelih). Perjumpaan sabtu malam tadi adalah tanggal yang lumayan unik yaitu sembilan yang mana jika kita jumlah akan kembali menjadi sembilan. Semisal contoh 9 + 9 = 18 sedangkan 1 + 8 = 9 kemudian 18 + 18 = 36 lah sedangkan 3 + 6 = 9 mungkin itu sebagian kecil dari keunikan angka sembilan.

Mother sabtu ini termasuk unik juga karena biasanya Mother hanya berlangsung satu gelombang tapi malam ini mother berlangsung secara bergelombang–gelombang dari malam hari, tengah malam, dini hari sampai pagi hari di buka tutup seperti tutup poci yang sedianya tak pernah lelah buka tutup untuk dijog ketika isi sudah mulai berkurang istilahnya tinggal ampasnya. Itulah mother yang mengakrabkan satu orang dengan orang yang lain nya tanpa menyalahkan dan tanpa di salahkan.

Tutup dan wadah poci merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, yang mana apabila wadah poci tidak disertai tutupnya maka seperti ada yang kurang atau boleh dikatakan kurang sempurna. Seperti kalimat syahadat ada syahadat tauhid Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh (Aku anyekséni manawa ora ana Ilah/sesembahan ingkang haq kajaba Allah)  dan Syahadat Rosulwa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh (lan aku anyekséni manawa Muhammad iku Rasul/utusan Allah). Syahadat ini merupakan kalimat yang sangat sakral bukan hanya karena salah satu rukun islam yang pertama, tapi sandingan kalimat Allah dan Muhammad yang mana satu hilang satu nya tidak akan rela. Alloh dan muhammad adalah bukti nyata cinta kasih hamba dan penciptanya, di antaranya tidak akan saling menyelingkuhi.

Di situ aku berkaca pada cermin yang retak dan terlihat bayangan wajahku sendiri tepat pada retakan cermin ternyata aku dan masih banyak umat Islam sendiri yang katanya mencintai Rasulullah, fasih membaca Al Quran dan Hadis, toh kenyataannya dalam kesehariannya sering “menyelingkuhi” beliau. Cinta kepada beliau hanyalah letupan lahiriah saja atau hanya sekadar cocote dan bukan berasal dari hati yang paling dalam. Misalnya pernah aku mendengar seorang ustadz ternama dari Jakarta (ora usah disebutna arane ) yang kebetulan diundang hadir dalam acara Maulid Nabi di Musholah tampatku tinggal, beliau sangat berapi-api dalam ceramahnya mengajak para jamaah untuk meneladani Rasulullah secara konsekuen dan konsisten. “Rasul hidupnya sederhana, beliau hanya punya tiga baju, rumah beliau hanya type 21, sehari kenyang dua hari lapar dan perut beliau diganjal batu…bla…bla…dst” demikian khotbahnya dengan fasihnya mengutip ayat-ayat Al Quran sampai sempat aku mendengar dalam topik yang dibawakan ada pemuda dengan nada bahagia bergumam “isst keren ah ustade kyeh patut dadi panutane nyonk keh“ dan tak selang beberapa lama orang tua di samping saya pun nyletuk “Cocote Jarkoni“ maksudnya orang tua tadi apa toh? dalam benak bertanya–tanya? dan serampung pengajian aku pun bertanya pada orang tua itu kurang lebih umurnya sekitar 50 tahunan. Memang di daerah situ orang tua itu dikenal seneng nyletuk utawi nylemong dia bukan ustadz apalagi kyai dia orang biasa tapi bagiku celetupannya penuh dengan pelajaran. Seperti waktu nyletup “cocote jarkoni” ternyata beliau punya pandangan lain dari apa yang di sampaikan ustd yang dari jakarta itu.

Orang tua itu berkata pada saya “Moso gon melu kanjeng nabi deweke teka mene gone mobil, nginep njaluk nang hotel, yen ora diundang ora bakal teka mene opo meneh sing paling aku jeleh bayare kue tekan 15 juta, wongedan, ora usah diomongi kaya kwe aku wis nglakoni sing gemiyen, umae aku gribigan, kadang aku ora mangan gudu karena aku puasa memang aku ora ndwe duit. 15 juta go modal mbangun musholah neng apik lumayan go ngecet mbuh apa.“ itulah curahan hati si orang tua itu sengaja tidak  kusebutkan namanya karena memang untuk keamanan orang tua tersebut.

Dan kemudian aku mencoba melihat dari sudut pandang orang tua tersebut dan memang benar kenyataanya managernya sibuk menemui sang “penanggap” ustadz tersebut, untuk menjalankan misi dagang “dakwah” yang omzetnya miliaran rupiah. Maka sang ustadz pun pulang naik toyota Alphard dan aneka kemewahan dunia lainnya. Bukan berarti naik Alphard terbaru tidak boleh, namun ketika ia sudah memperdagangkan dakwahnya itu dengan konteks perhitungan ekonomi-kapitalistis, maka itu menjadi tidak etis. Lalu mana “royalti” nya Rasulullah? Bukankah kata-kata beliau dikutipnya untuk memperkaya diri?


Dalam kehidupan sehari-hari kita pun seringkali merasa lebih baik dari orang lain seperti hal makan di restouran dan makan di lesehan. Bukan berarti mereka yang makan dengan duduk di bangku restouran lebih nikmat di banding dengan mereka yang menikmati hidangan di lesehan. Mereka punya cara tersendiri untuk menikmati makanan yang di hidangkan.

Di akhir tulisan ini aku ingin sekali melampirkan lagu kebangsaan semesta maiyah yang sudah terlalu sering aku putar di mp3 namun tak ada rasa bosan untuk kembali mendengarkan.

SHÔHIBU BAYTÎ (3x), YÂ SHÔHIBU BAYTÎ
IMÂMU HAYÂTÎ (3x), YÂ IMÂMU HAYÂTÎ
MURSYIDU ÎMÂNÎ, ANTA SYAMSU QOLBÎ, QOMARU FU`ÂDÎ,
YÂ QURROTU ‘AYNÎ
SYÂFI’U NASHÎBÎ, YÂ MAWLÂ JIHÂDÎ, UFUQU SYAWQÎ,
YÂ BÂBU ÂKHIROTÎ
  

*Miftahul Aziz