Aku ucapkan banyak terima kasih pada Allah SWT karena telah menyelamatkanku dari
kantuk saat aku berkendara pagi tadi sepulang rutinan mother (Maiyah On The Road), menaiki motor dari
kediaman Mas Pik di Penusupan menuju rumah singgah sementara di Kedawon, jarak
yang memang terbentang lumayan jauh, namun tak menyurutkan semangatku untuk
pulang sepagi itu, kerena memang ada tanggung jawab lain dari hanya sekedar menunggu
pengertian tuan rumah (Nama di samarkan) menyediakan sarapan, setidaknya bubur
kacang ijo tapi yang di nanti (sarapan
maksudnya) tak kunjung datang (Ngelih). Perjumpaan sabtu malam tadi adalah tanggal yang lumayan unik yaitu sembilan
yang mana jika kita jumlah akan kembali menjadi sembilan. Semisal contoh 9 + 9
= 18 sedangkan 1 + 8 = 9 kemudian 18 + 18 = 36 lah sedangkan 3 + 6 = 9 mungkin
itu sebagian kecil dari keunikan angka sembilan.
Mother sabtu ini termasuk unik juga karena biasanya
Mother hanya berlangsung satu gelombang tapi malam ini mother berlangsung
secara bergelombang–gelombang dari malam hari, tengah malam, dini hari sampai
pagi hari di buka tutup seperti tutup poci yang sedianya tak pernah lelah buka
tutup untuk dijog ketika isi sudah
mulai berkurang istilahnya tinggal ampasnya. Itulah mother yang
mengakrabkan satu orang dengan orang yang lain nya tanpa menyalahkan dan tanpa
di salahkan.
Tutup dan wadah poci merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan, yang mana apabila wadah poci tidak disertai tutupnya maka
seperti ada yang kurang atau boleh dikatakan kurang sempurna. Seperti kalimat
syahadat ada syahadat tauhid Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh (Aku anyekséni manawa ora ana
Ilah/sesembahan ingkang haq kajaba Allah) dan Syahadat Rosulwa Asyhadu Anna Muhammadar
Rasulullâh (lan aku anyekséni
manawa Muhammad iku Rasul/utusan Allah). Syahadat ini merupakan kalimat
yang sangat sakral bukan hanya karena salah satu rukun islam yang pertama, tapi
sandingan kalimat Allah dan Muhammad yang mana satu hilang satu nya tidak akan
rela. Alloh dan muhammad adalah bukti nyata cinta kasih hamba dan penciptanya,
di antaranya tidak akan saling menyelingkuhi.
Di
situ aku berkaca pada cermin yang retak dan terlihat bayangan wajahku sendiri
tepat pada retakan cermin ternyata aku dan masih banyak umat Islam sendiri yang
katanya mencintai Rasulullah, fasih membaca Al Quran dan Hadis, toh
kenyataannya dalam kesehariannya sering “menyelingkuhi” beliau. Cinta kepada
beliau hanyalah letupan lahiriah saja atau hanya sekadar cocote dan bukan berasal dari hati yang paling dalam. Misalnya pernah aku mendengar seorang ustadz ternama dari Jakarta (ora usah disebutna arane ) yang kebetulan diundang hadir dalam
acara Maulid Nabi di Musholah tampatku tinggal, beliau sangat berapi-api dalam ceramahnya mengajak
para jamaah untuk meneladani Rasulullah secara konsekuen dan konsisten. “Rasul
hidupnya sederhana, beliau hanya punya tiga baju, rumah beliau hanya type 21,
sehari kenyang dua hari lapar dan perut beliau diganjal batu…bla…bla…dst”
demikian khotbahnya dengan fasihnya mengutip ayat-ayat Al Quran sampai sempat aku mendengar dalam topik yang dibawakan ada pemuda dengan nada bahagia bergumam
“isst keren ah ustade kyeh patut dadi
panutane nyonk keh“ dan tak selang beberapa lama orang tua di samping saya
pun nyletuk “Cocote Jarkoni“
maksudnya orang tua tadi apa toh? dalam benak bertanya–tanya? dan serampung
pengajian aku pun bertanya pada orang tua itu kurang lebih umurnya sekitar 50 tahunan. Memang di daerah situ orang tua itu dikenal seneng nyletuk utawi nylemong dia bukan ustadz
apalagi kyai dia orang biasa tapi bagiku celetupannya penuh dengan pelajaran.
Seperti waktu nyletup “cocote jarkoni”
ternyata beliau punya pandangan lain dari apa yang di sampaikan ustd yang dari
jakarta itu.
Orang
tua itu berkata pada saya “Moso gon melu kanjeng nabi deweke teka mene gone
mobil, nginep njaluk nang hotel, yen ora diundang ora bakal teka mene opo meneh
sing paling aku jeleh bayare kue tekan 15 juta, wongedan, ora usah diomongi
kaya kwe aku wis nglakoni sing gemiyen, umae aku gribigan, kadang aku ora
mangan gudu karena aku puasa memang aku ora ndwe duit. 15 juta go modal mbangun
musholah neng apik lumayan go ngecet mbuh apa.“ itulah curahan hati si orang tua
itu sengaja tidak kusebutkan namanya karena memang untuk keamanan orang tua
tersebut.
Dan
kemudian aku mencoba melihat dari sudut pandang orang tua tersebut dan memang
benar kenyataanya managernya sibuk menemui sang “penanggap” ustadz tersebut,
untuk menjalankan misi dagang “dakwah” yang omzetnya miliaran rupiah. Maka sang
ustadz pun pulang naik toyota Alphard dan aneka kemewahan dunia lainnya. Bukan
berarti naik Alphard terbaru tidak boleh, namun ketika ia sudah memperdagangkan
dakwahnya itu dengan konteks perhitungan ekonomi-kapitalistis, maka itu menjadi
tidak etis. Lalu mana “royalti” nya Rasulullah? Bukankah kata-kata beliau
dikutipnya untuk memperkaya diri?
Dalam
kehidupan sehari-hari kita pun seringkali merasa lebih baik dari orang lain
seperti hal makan di restouran dan makan di lesehan. Bukan berarti mereka yang
makan dengan duduk di bangku restouran lebih nikmat di banding dengan mereka
yang menikmati hidangan di lesehan. Mereka punya cara tersendiri untuk
menikmati makanan yang di hidangkan.
Di
akhir tulisan ini aku ingin sekali melampirkan lagu kebangsaan semesta maiyah yang sudah
terlalu sering aku putar di mp3 namun tak ada rasa bosan untuk kembali
mendengarkan.
SHÔHIBU
BAYTÎ (3x), YÂ SHÔHIBU BAYTÎ
IMÂMU
HAYÂTÎ (3x), YÂ IMÂMU HAYÂTÎ
MURSYIDU
ÎMÂNÎ, ANTA SYAMSU QOLBÎ, QOMARU FU`ÂDÎ,
YÂ
QURROTU ‘AYNÎ
SYÂFI’U
NASHÎBÎ, YÂ MAWLÂ JIHÂDÎ, UFUQU SYAWQÎ,
YÂ
BÂBU ÂKHIROTÎ
*Miftahul Aziz