Kamis, 06 Desember 2018

Sinau Urip

“Urip – Urup : Ngurip-nguripi, Ngurip-nguripna, Ngurup-ngurupna”


Mukadimah Poci Maiyah Desember 2018
Oleh: Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay

Sepertinya lebih beraroma pada hal-hal filosofis saat setiap Gelaran Sinau Bareng Maiyah mulai digelar. Masing-masing jama’ah semacam (merasakan) sedang diperjalankan, dituntun, dihantarkan menuju sesuatu yang selama ini banyak tidak tergali dalam masa hidupnya. Entah bagaimana mereka memandang Dunia, menilai benar-salah,
memprasangkai kebenaran, menelusuri makna-makna, melihat Agama, meneliti teks-teks suci, memahami makna di balik fiqh-aturan-sistem, menelaah pengetahuan-pengetahuan beku yang bersemayam di dalam diri mereka sedari balita hingga dewasa, menafsirkan bangsa, negara, manusia, bahkan tentang bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri. Maiyah hadir di tengah-tengah ketebalan penghalang yang menghalangi manusia mengenali keikhlasan, keridloan, kebaikan, keutuhan, dan hal-hal lain menuju ketinggian baru yang belum pernah dijamah, menuju puncak pencarian baru unuk dicapai, menuju ‘illiyin-nya Al A’la. Namun bukan diperumpamakan seperti burung yang terbang meninggalkan daratan atau mi’rajnya Rosulullah melesat menuju Sidratul Muntaha. Maiyah tidak terbang kelangit, tapi “tumbuh” menuju cakrawala tanpa meninggalkan akarnya. Dengan  mengajak para pereguknya kembali memulai dari dasar, menelanjangi kesadarannya, menajamkan pandangannya untuk menyibak “Kabut Tebal” yang menutupi kesadarannya. Maiyah mengajak kembali pada sesuatu yang sangat mendasar tentang siapa dirinya, apa fugsi peranannya, kemana ujung akhir perjalanan ia akan menuju, kepada “Siapa” ia harusnya menunduk. Hingga Maiyah Allah anugerahi kepada Indonesia  sebagai wasilah untuk mereka mendorong diri mereka sendiri pada Cinta, Kemesraan, Kebaikan, Kebijaksanaan dan bagaimana seharusnya ia memaknai kehidupan.

Meski dimensi dimana  manusia hidup hari ini memiliki atmosfer/cuaca yang kurang baik, yang lebih condong membuat manusia terjebak pada “Menyalahkan yang salah’, “Membenarkan kebenaran”, atau “Membedakan perbedaan”. Maiyah mengajak Jannatul Maiyah untuk membebaskan dirinya dari jebakan-jebakan cuaca hari ini, agar berlatih menelisik fitrah ketigannya jauh menuju kejernihan dan kecemerlangan. Bahwa kesalahan muncul untuk diperbaiki/dibenahi/dibeneri, bukan sebaliknya. Kebenaran ada untuk bekal berbuat baik menuju kebaikan bersama, bukan diperebutkan atau dipamer-pamerkan, dan Perbedaan lahir untuk ditemukan keindahan, keterhubungan, kesamaan, keutuhan serta harmoninya, bukan sebagai sebab perpecahan.

Akan sangat miris seumpama, ada seseorang yang keliru jalan (tersesat) saat akan menuju Semarang dari Tegal, bukannya menuju ke timur, orang tersebut justru berjalan ke arah Purwokerto. Di tengah jalan, munculah Keterbimbingan Spiritual, kesadarannya diperingatkan bahwa proses perjalanan yang ia tempuh ada yang salah, ada yang keliru, tidak tepat, tidak akurat, tidak pas. Ia mulai bimbang akan meneruskan perjalanannya tanpa tahu kemana ia akan menuju,  kembali menuju titik awal, atau berhenti sejenak untuk bertanya. Sayangnya, dimensi dimana manusia hidup hari ini malah membuat manusia lain menyalah-nyalahkannya. Menyalahkan kenapa ia mengambil jalur tersebut, menyalahkan kenapa ia tidak bisa membedakan mana kiri mana kanan, mana timur mana selatan, atau mana maju mana mundur.

Satu, dua, sepuluh hingga seratus orang akan menertawakan kekeliruannya, acapkali Para Hakim penyalah-nyalah itu justru muncul dari keluarga, kerabat, teman bahkan beberapa yang sinis-dendam kepada kehidupan menganggap Si Keliru sebagai sampah tidak berguna. Padahal jelas, yang ia butuhkan adalah petunjuk menuju arah yang benar, penuntun untuk menuntunnya terbebas dari ketersesatan, pengayom untuk menenangkan kebimbangan hatinya agar sampailah ia pada tujuannya. Si Keliru memiliki potensi menjadi orang baik menuju jalan yang benar, namun cuaca manusia hari ini tidak menjadikan Si Keliru untuk mawas menelaah pengalamannya sebagai bahan evaluasi, instropeksi, perenungan kebodohannya, atau mengqona’ahi taqdir yang ia alami, justru membuatnya tumbuh tertular menjadi pendendam kepada mayoritas, dan dimulailah babak baru peperangan minoritas-mayoritas manusia. Terjebak, terulang, mensiklus membentuk Satanic Cyrcle (Siklus Setan) yang tak berkesudahan, menyalahkan yang salah, membenarkan yang benar, membedakan perbedaan. Ya Allah, Ya Rosulullah, Astaghfirullah, Robbana dzolamna anfusana lana kunnana minal khosiriyn, la Ilaa ha illa Anta SubhanaKa inniy kuntu minadzzolimiyn.

“Kehidupan bukanlah Rumah Besar dengan banyak kamar, Kehidupan adalah Ruangan Besar dengan banyak pintu” – Simbah

Tidak bisa tidak, bahkan mustahil bukan, bahwa satu-satunya alasan mendasar kenapa kita sinau, sekolah, ngaji, berguru, membaca, menimba-mencari ilmu pengetahuan  tidak lain tidak bukan adalah agar kita bisa Sinau Urip (Mempelajari  Kehidupan), jika tidak berkaitan dengan Hidup lalu apa gunanya? Apa tujuannya?

Syahdan, orang-orang yang Allah fadilahi Kepekaan Spiritual telah melampaui pemahaman orang-orang awam atas makna Kehidupan. Bagi mereka kehidupan telah di mulai sejak ia diciptakan saat di Alam Azali, lalu Allah tidurkan, kemudian bangun setengah sadar berada di Alam Kandungan. Mulailah babak terjaga saat ia dilahirkan, melewati puluhan siklus hidup-mati (bangun-tidur) menuju fase kebangkitan kesadarannya untuk memenuhi janji di usia dewasanya: “Alastu biRobbikum? Na’am, Anta Robbuna”. Terusss… Kembali melewati ribuan siklus hidup-mati :“bismiKa Allahumma Ahya, wa bismiKa Amuwt” dan bangkit “Alhamdulillahilladziy Ahyana Ba’dama Amatana wa ilahin nusyur” hingga kembali Allah tidurkan menuju fase Kehidupan berikutnya di Negeri Akhirat.

Jelas tidak ada muara yang lebih luas, lebih besar, dan yang bisa menyambungkan (keterhubungan) satu sama lainnya, detail per detail, ilmu dengan ilmu, manusia dengan manusia, makhluk dengan makhluk (alam, malaikat, jin, manusia iblis, hewan, tumbuhan, tujuh elemental : air-api-udara-tanah-kayu-besi-cahaya), langit dengan bumi, kosong dengan isi, genap dengan ganjil, masa lalu-masa kini-masa depan, awal dan akhir, ruang dan waktu bagi seluruh-segenap makhluk/ciptaan Sang Kholik selain Kehidupan itu sendiri.

Tapi cuaca kurang baik ini, lagi-lagi membuat manusia menjebak dirinya sendiri, terpenjara didalam ruang-ruang kecil, menyempitkan dirinya sendiri. Pandangannya tertutup Kabut Tebal untuk bisa mengenali Keutuhan, untuk memahami bahwa dirinya bisa bertransformasi menjadi ruang yang jauh lebih luas agar bisa menampung siapapun dan apapun, hingga tercapailah derajatnya untuk layak menyandang gelar “Abdullah dan Kholifatullah”.

Baginya mempelajari musik tidak berkaitan dengan ekonomi, sosial, fisika, kimia, budaya, hokum, politik, ubudiyah, dan cabang ilmu lainnya. Ia mandeg membenturkan dirinya sendiri pada batas yang sebenarnya ia ciptakan di dalam fikirannya. Padahal tempo, ritme, melodi, nada, gelombang, frekuensi, akurasi, fluktuasi, vibrasi, harmoni juga tercakup dan terhubung pada cabang ilmu  lainnya. Musatahil ekonomi tidak memiliki perangkat tempo, ritme dan sebagainya dalam marketing, sistem modulasi, perhitungan akuntasi, siklus transaksi produksi-distribusi-konsumi dan seterusnya dalam ekonomi makro serta mikro. Sama halnya dengan cabang ilmu lain seperti kimia yang akan membutuhkan tempo untuk mempelajari aksi-reaksi. Hukum dalam menentukan akurasi mana klausul umum dan khusus, harmoni antara moral dan aturan terapan, atau fisika untuk menentukan aerodinamik atau hukum vector newton tetap membutuhkan jarak (tempo) , ritme, presisi,  dan perangkat ilmu musik untuk menghitung ketepatan teori dan gejala alam yang terjadi, etc. dan semua itu adalah lalu-lintas, silang-sengkarut, munasibah ilmu yang tetap bermuara pada Kehidupan, terserah kita akan masuk dari pintu mana sesuai dengan fadilah yang Allah berikan, kita tetap akan bertemu itu semua dalam Kehidupan, dalam Sunnatullah-Nya.

Bagi manusia menyandang profesi dan jabatan adalah kebanggan atau pencapaian tertinggi, padahal tidak ada title yang lebih tinggi dan luas baginya selain menjadi manusia itu sendiri (Ahsaniy Taqwiem). Baginya suku, warna kulit, bahasa, dan budaya adalah perbedaan yang mustahil bisa bersatu, bareng, bersama-sama, padahal semua itu masih dalam satu keutuhan ras bernama manusia. Cuaca manusia hari ini menjebak hatinya menjadi beku, mudah dipecah-belah, dicerai-berai, padahal jika ia bisa memiliki hati yang cair-mengalir kepada manusia lainnya, maka dihantam oleh apapun, hati yang cair dan mengalir akan memilih untuk tetap menuju pada kesatuan dan keutuhan.

Seekor nyamuk tahu bahwa umurnya tidak  akan lama, maka ia harus bergerak memenuhi fitrahnya untuk tetap hidup. Ia hidup berkoloni dan berkembang biak demi melesatarikan rasnya, maka Uripnya tidak akan berhasil bila ia tidak Urup pada dirinya sendiri dan koloninya. Ia memiliki insting dalam naungan Sunnatullah untuk bisa mandiri, mengerti bahaya, mengerti cara bertahan hidup semenjak ia menjadi uget-uget (jentik nyamuk.red), dan ketika tumbuh menjadi nyamuk dewasa;
“Nyamuk tahu bahwa ia tidak akan menghisap darah pada nyamuk lainnya.”

Uripnya–Urup, hidupnya adalah cahayanya/pelitanya. Ngurip-nguripi (internal) untuk mandiri menghindari kesia-siaan mati tanpa makna. Ngurip-Nguripna (eksternal-komunal) untuk menjaga keberlangsungan hidup rasnya dengan bersama-sama menghadapi tantangan alam : “rawe-rawe rantas, malang-malang putung, eka satu dua terbilang, mati satu tumbuh seribu”. Dan Ngurup-ngurupna (inheriteence/warisan) untuk melestarikan bangsanya dengan warisan Genetik, DNA dan Cuaca yang akan menjadi acuan serta daya juang generasi selanjutnya.

Maka dari kesemua kata-kata bertele-tele ini:
“Afala Yatadabbarun”? - Apakah engkau tidak memerhatikannya/mentababurinya?