“Urip – Urup : Ngurip-nguripi, Ngurip-nguripna, Ngurup-ngurupna”
Mukadimah Poci Maiyah Desember 2018
Oleh: Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay
Sepertinya lebih beraroma pada hal-hal filosofis saat setiap Gelaran Sinau Bareng
Maiyah mulai
digelar. Masing-masing jama’ah semacam (merasakan) sedang diperjalankan, dituntun, dihantarkan menuju sesuatu yang
selama ini banyak tidak tergali
dalam masa hidupnya. Entah bagaimana mereka memandang Dunia, menilai
benar-salah,
memprasangkai kebenaran, menelusuri makna-makna, melihat Agama, meneliti teks-teks suci, memahami makna di balik fiqh-aturan-sistem, menelaah pengetahuan-pengetahuan beku yang bersemayam di dalam diri mereka sedari balita hingga dewasa, menafsirkan bangsa, negara, manusia, bahkan tentang bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri. Maiyah hadir di tengah-tengah ketebalan penghalang yang menghalangi manusia mengenali keikhlasan, keridloan, kebaikan, keutuhan, dan hal-hal lain menuju ketinggian baru yang belum pernah dijamah, menuju puncak pencarian baru unuk dicapai, menuju ‘illiyin-nya Al A’la. Namun bukan diperumpamakan seperti burung yang terbang meninggalkan daratan atau mi’rajnya Rosulullah melesat menuju Sidratul Muntaha. Maiyah tidak terbang kelangit, tapi “tumbuh” menuju cakrawala tanpa meninggalkan akarnya. Dengan mengajak para pereguknya kembali memulai dari dasar, menelanjangi kesadarannya, menajamkan pandangannya untuk menyibak “Kabut Tebal” yang menutupi kesadarannya. Maiyah mengajak kembali pada sesuatu yang sangat mendasar tentang siapa dirinya, apa fugsi peranannya, kemana ujung akhir perjalanan ia akan menuju, kepada “Siapa” ia harusnya menunduk. Hingga Maiyah Allah anugerahi kepada Indonesia sebagai wasilah untuk mereka mendorong diri mereka sendiri pada Cinta, Kemesraan, Kebaikan, Kebijaksanaan dan bagaimana seharusnya ia memaknai kehidupan.
memprasangkai kebenaran, menelusuri makna-makna, melihat Agama, meneliti teks-teks suci, memahami makna di balik fiqh-aturan-sistem, menelaah pengetahuan-pengetahuan beku yang bersemayam di dalam diri mereka sedari balita hingga dewasa, menafsirkan bangsa, negara, manusia, bahkan tentang bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri. Maiyah hadir di tengah-tengah ketebalan penghalang yang menghalangi manusia mengenali keikhlasan, keridloan, kebaikan, keutuhan, dan hal-hal lain menuju ketinggian baru yang belum pernah dijamah, menuju puncak pencarian baru unuk dicapai, menuju ‘illiyin-nya Al A’la. Namun bukan diperumpamakan seperti burung yang terbang meninggalkan daratan atau mi’rajnya Rosulullah melesat menuju Sidratul Muntaha. Maiyah tidak terbang kelangit, tapi “tumbuh” menuju cakrawala tanpa meninggalkan akarnya. Dengan mengajak para pereguknya kembali memulai dari dasar, menelanjangi kesadarannya, menajamkan pandangannya untuk menyibak “Kabut Tebal” yang menutupi kesadarannya. Maiyah mengajak kembali pada sesuatu yang sangat mendasar tentang siapa dirinya, apa fugsi peranannya, kemana ujung akhir perjalanan ia akan menuju, kepada “Siapa” ia harusnya menunduk. Hingga Maiyah Allah anugerahi kepada Indonesia sebagai wasilah untuk mereka mendorong diri mereka sendiri pada Cinta, Kemesraan, Kebaikan, Kebijaksanaan dan bagaimana seharusnya ia memaknai kehidupan.
Meski dimensi
dimana manusia hidup hari ini memiliki
atmosfer/cuaca
yang kurang baik, yang lebih
condong membuat manusia terjebak
pada “Menyalahkan
yang salah’, “Membenarkan
kebenaran”, atau “Membedakan
perbedaan”. Maiyah mengajak Jannatul Maiyah untuk membebaskan
dirinya dari jebakan-jebakan cuaca hari ini, agar berlatih menelisik fitrah
ketigannya jauh menuju kejernihan dan kecemerlangan. Bahwa kesalahan muncul untuk
diperbaiki/dibenahi/dibeneri, bukan sebaliknya. Kebenaran ada untuk
bekal berbuat baik menuju kebaikan bersama, bukan diperebutkan atau
dipamer-pamerkan, dan Perbedaan lahir untuk ditemukan keindahan, keterhubungan,
kesamaan, keutuhan serta harmoninya, bukan sebagai sebab perpecahan.
Akan sangat miris seumpama, ada seseorang yang keliru jalan (tersesat)
saat akan menuju Semarang dari Tegal, bukannya menuju ke timur, orang tersebut
justru berjalan ke arah Purwokerto. Di tengah jalan, munculah Keterbimbingan Spiritual, kesadarannya
diperingatkan bahwa
proses perjalanan yang ia tempuh ada yang salah, ada yang keliru, tidak
tepat, tidak akurat, tidak pas. Ia mulai bimbang akan meneruskan
perjalanannya tanpa tahu kemana ia akan menuju, kembali menuju titik awal, atau berhenti
sejenak untuk bertanya. Sayangnya,
dimensi dimana manusia hidup hari ini malah membuat manusia
lain menyalah-nyalahkannya. Menyalahkan kenapa ia mengambil jalur tersebut,
menyalahkan kenapa ia tidak bisa membedakan mana kiri mana kanan, mana timur
mana selatan, atau mana
maju mana mundur.
Satu, dua, sepuluh hingga seratus orang
akan menertawakan kekeliruannya, acapkali Para Hakim penyalah-nyalah itu
justru muncul dari keluarga, kerabat, teman bahkan beberapa yang sinis-dendam
kepada kehidupan menganggap Si Keliru sebagai sampah tidak berguna. Padahal
jelas, yang ia butuhkan adalah petunjuk menuju arah yang benar, penuntun untuk menuntunnya
terbebas dari ketersesatan, pengayom untuk menenangkan kebimbangan hatinya agar
sampailah ia pada tujuannya. Si Keliru memiliki potensi menjadi orang baik
menuju jalan yang benar, namun cuaca manusia hari ini tidak menjadikan Si Keliru untuk mawas menelaah pengalamannya sebagai
bahan evaluasi, instropeksi, perenungan kebodohannya, atau mengqona’ahi taqdir
yang ia alami, justru membuatnya tumbuh tertular menjadi pendendam kepada
mayoritas, dan dimulailah babak baru peperangan minoritas-mayoritas manusia. Terjebak, terulang, mensiklus membentuk Satanic Cyrcle
(Siklus Setan) yang tak berkesudahan, menyalahkan yang salah, membenarkan yang benar,
membedakan perbedaan. Ya
Allah, Ya Rosulullah, Astaghfirullah, Robbana dzolamna anfusana lana kunnana
minal khosiriyn, la Ilaa ha illa Anta SubhanaKa inniy kuntu minadzzolimiyn.
“Kehidupan bukanlah Rumah Besar dengan banyak kamar, Kehidupan adalah Ruangan Besar dengan banyak pintu” – Simbah
Tidak bisa tidak, bahkan mustahil bukan, bahwa satu-satunya alasan
mendasar kenapa kita sinau, sekolah, ngaji, berguru, membaca, menimba-mencari
ilmu pengetahuan tidak lain tidak bukan adalah
agar kita bisa Sinau Urip (Mempelajari
Kehidupan), jika tidak berkaitan dengan Hidup lalu apa gunanya? Apa
tujuannya?
Syahdan, orang-orang yang Allah fadilahi Kepekaan Spiritual telah
melampaui pemahaman orang-orang awam atas makna Kehidupan. Bagi mereka kehidupan
telah di mulai sejak ia diciptakan saat di Alam Azali, lalu Allah tidurkan,
kemudian bangun setengah sadar berada di Alam Kandungan. Mulailah babak terjaga
saat ia dilahirkan, melewati puluhan siklus hidup-mati (bangun-tidur) menuju
fase kebangkitan kesadarannya untuk memenuhi janji di usia dewasanya: “Alastu
biRobbikum? Na’am, Anta Robbuna”. Terusss… Kembali melewati ribuan siklus
hidup-mati :“bismiKa Allahumma Ahya, wa bismiKa Amuwt” dan
bangkit “Alhamdulillahilladziy Ahyana Ba’dama Amatana wa ilahin nusyur”
hingga kembali Allah tidurkan menuju fase Kehidupan berikutnya di Negeri
Akhirat.
Jelas tidak ada muara yang lebih luas, lebih besar, dan yang bisa
menyambungkan (keterhubungan) satu sama lainnya, detail per detail, ilmu dengan
ilmu, manusia dengan manusia, makhluk dengan makhluk (alam, malaikat, jin, manusia
iblis, hewan, tumbuhan, tujuh elemental : air-api-udara-tanah-kayu-besi-cahaya),
langit dengan bumi, kosong dengan isi, genap dengan ganjil, masa lalu-masa
kini-masa depan, awal dan akhir, ruang dan waktu bagi seluruh-segenap makhluk/ciptaan
Sang Kholik selain Kehidupan itu sendiri.
Tapi cuaca kurang baik ini, lagi-lagi membuat manusia menjebak dirinya sendiri, terpenjara didalam ruang-ruang kecil, menyempitkan
dirinya sendiri. Pandangannya tertutup Kabut Tebal untuk bisa mengenali
Keutuhan, untuk memahami bahwa dirinya bisa bertransformasi menjadi ruang yang
jauh lebih luas agar bisa menampung siapapun dan apapun, hingga tercapailah
derajatnya untuk layak menyandang gelar “Abdullah dan Kholifatullah”.
Baginya mempelajari musik tidak berkaitan dengan ekonomi, sosial, fisika,
kimia, budaya, hokum, politik, ubudiyah, dan cabang ilmu lainnya. Ia mandeg
membenturkan dirinya sendiri pada batas yang sebenarnya ia ciptakan di dalam
fikirannya. Padahal tempo, ritme, melodi, nada, gelombang, frekuensi, akurasi, fluktuasi,
vibrasi, harmoni juga tercakup dan terhubung pada cabang ilmu lainnya. Musatahil ekonomi tidak memiliki
perangkat tempo, ritme dan sebagainya dalam marketing, sistem modulasi,
perhitungan akuntasi, siklus transaksi produksi-distribusi-konsumi dan
seterusnya dalam ekonomi makro serta mikro. Sama halnya dengan cabang ilmu lain
seperti kimia yang akan membutuhkan tempo untuk mempelajari aksi-reaksi. Hukum dalam
menentukan akurasi mana klausul umum dan khusus, harmoni antara moral dan
aturan terapan, atau fisika untuk menentukan aerodinamik atau hukum vector
newton tetap membutuhkan jarak (tempo) , ritme, presisi, dan perangkat ilmu musik untuk menghitung
ketepatan teori dan gejala alam yang terjadi, etc. dan semua itu adalah lalu-lintas,
silang-sengkarut, munasibah ilmu yang tetap bermuara pada Kehidupan,
terserah kita akan masuk dari pintu mana sesuai dengan fadilah yang Allah
berikan, kita tetap akan bertemu itu semua dalam Kehidupan, dalam
Sunnatullah-Nya.
Bagi manusia menyandang profesi dan jabatan adalah kebanggan atau
pencapaian tertinggi, padahal tidak ada title yang lebih tinggi dan luas
baginya selain menjadi manusia itu sendiri (Ahsaniy Taqwiem). Baginya suku,
warna kulit, bahasa, dan budaya adalah perbedaan yang mustahil bisa bersatu,
bareng, bersama-sama, padahal semua itu masih dalam satu keutuhan ras bernama
manusia. Cuaca manusia hari ini menjebak hatinya menjadi beku, mudah
dipecah-belah, dicerai-berai, padahal jika ia bisa memiliki hati yang
cair-mengalir kepada manusia lainnya, maka dihantam oleh apapun, hati yang cair
dan mengalir akan memilih untuk tetap menuju pada kesatuan dan keutuhan.
Seekor nyamuk tahu bahwa umurnya tidak
akan lama, maka ia harus bergerak memenuhi fitrahnya untuk tetap hidup.
Ia hidup berkoloni dan berkembang biak demi melesatarikan rasnya, maka Uripnya
tidak akan berhasil bila ia tidak Urup pada dirinya sendiri dan koloninya. Ia
memiliki insting dalam naungan Sunnatullah untuk bisa mandiri, mengerti bahaya,
mengerti cara bertahan hidup semenjak ia menjadi uget-uget (jentik nyamuk.red),
dan ketika tumbuh menjadi nyamuk dewasa;
“Nyamuk tahu bahwa ia tidak akan menghisap darah pada nyamuk lainnya.”
Uripnya–Urup, hidupnya adalah cahayanya/pelitanya. Ngurip-nguripi
(internal) untuk mandiri menghindari kesia-siaan mati tanpa makna. Ngurip-Nguripna
(eksternal-komunal) untuk menjaga keberlangsungan hidup rasnya dengan
bersama-sama menghadapi tantangan alam : “rawe-rawe rantas, malang-malang
putung, eka satu dua terbilang, mati satu tumbuh seribu”. Dan
Ngurup-ngurupna (inheriteence/warisan) untuk melestarikan bangsanya
dengan warisan Genetik, DNA dan Cuaca yang akan menjadi acuan serta daya juang
generasi selanjutnya.
Maka dari kesemua kata-kata bertele-tele ini:
“Afala Yatadabbarun”? - Apakah engkau tidak memerhatikannya/mentababurinya?