Kamis, 11 Juni 2020

Less Owh Yuh




Mukadimah Poci Maiyah Juni 2020
Oleh: Lingkar Gagang Poci



Alhamdulillah, as-sholatu was salamu 'ala Rasulillah, wa la haula wa la quwwata Illa billah

Tak dipungkiri, banyak orang terkena dampak wabah virus corona. Mulai dari mereka yang di-PHK, diliburkan kerja, tidak bisa kuliah, nongkrong, ataupun maiyahan seperti biasanya. Lebih-lebih lagi, mereka yang dihadapkan kenyataan memilukan. Berbulan-bulan dirinya tidak ada pemasukan, tetapi pengeluaran tetap jalan. Dompet kosong, otaknya pun jadi ngesrong . Hingga pada titik kejenuhannya, seorang tiba-tiba muncul dalam grub WA Poci Maiyah mengirimkan sebuah pantun dengan hastag #PMGabut yang berbunyi :

Wit randu wis ditebang
Aku rindu cuma bisa nembang.
Dukuhwaru  karangmangu
Aku rindu tapi terbelenggu

Seakan ada shooq (kerinduan) yang mendalam dari orang itu, mewakili kerinduan kita bermaiyahan lagi. Kita sudah tak tahan lagi dengan kondisi akhir-akhir ini. Sehingga terlihat jelas dalam pantunnya berbunyi wit randu wis ditebang. Bisa kita tafsirkan wit randu adalah pohon yang besar dan kuat, seakan sedang menggambarkan bahwa kita yang sedang berlatih agar kuat, terpatahkan oleh keadaan sekarang. Lalu di bait kedua berbunyi; Aku rindu cuma bisa nembang. 

Kita merindukan masa-masa seperti biasanya. Ketika melakukan banyak aktivitas. Namun sekarang tak bisa apa-apa, hanya merintih dengan nyanyian yang sekiranya bisa menghibur diri. Terlihat sangat jelas pada bait ketiga dan keempat pantunnya berbunyi Dukuhwaru karangmangu, aku rindu tapi terbelenggu. Kata tersebut sangat menjelaskan bahwa seakan kita benar-benar tertekan dengan keadaan, dibelenggu dengan ketidakpastian, kecemasan dan kekhawatiran yang tak berkesudahan. Pantun itu benar-benar telah mencurahkan seluruh isi perasaan.

Tapi aku curiga jika mungkin pantun tersebut tak hanya sekedar pantun yang mengungkapkan perasaan pembuatnya, namun juga memiliki makna yang sangat dalam seperti lagu Gundul-Gundul Pacul ciptaan Sunan Kalijaga? Atau Jangan-jangan dia adalah orang yang mewarisi ilmu dari Sunan Kalijaga. Walisongo yang mampu mengutarakan sesuatu yang bermakna dalam menggunakan tembang dolanan. Ah, aku tak tahu ... .

Yang jelas tak lama kemudian Gus Luay membalas pantunnya dengan sebuah quotes dengan tagar yang sama #PMGabut untuk menenangkan kegelisahan orang tersebut.
"Segelap apapun jalan, bahkan lorong menuju masa depan, yang kita butuhkan hanyalah secercah cahaya... cahaya yang mencahayai, Cahaya di atas cahaya."

Cahaya? Nampak tak asing dalam kehidupan. Kita melihatnya, merasakannya, tersentuh setiap hari dengannya. Bahkan pada gelapnya malam pun kita masih bisa melihat secercah cahaya di antara bulan, bintang dan lampu-lampu kota yang menghiasi malam.

Tapi apakah benar dengan cahaya kita bisa menelusuri lorong masa depan? Bukankan mata kita butuh seperkian detik untuk menerima cahaya? sehingga kenyataan yang kita lihat sekarang ini sebenarnya adalah masa lalu yang telah terjadi, namun baru bisa kita lihat setelah sepersekian detik ketika cahaya masuk ke mata kita. Bahkan semua panca indera manusia butuh sepersekian detik untuk mengalami sesuatu yang telah terjadi. Lantas bagaimana manusia bisa menerobos masa depan jika semua yang mereka alami adalah masa lalu?

Miliaran tahun lamanya, jauh sebelum alam semesta tercipta. Di saat semuanya belum ada, hanya kekosongan yang hampa, Ia melimpahkan cahaya-Nya, limpahan cahaya tersebut dipahami oleh banyak ulama sebagai Nur Muhammad. Nur (Cahaya) yang nantinya menjadi cikal bakal terciptanya alam semesta. Dalam salah satu hadis qudsi menyebutkan “Laulaka, lalulaka. Ma kholaqtul aflaq” artinya “Kalau bukan karena engkau Muhammad, aku tidak akan mungkin menciptakan alam semesta” hadis lain juga menyebutkan “Kholaqul asysyaa li ajlika, wa kholaqtuka li ajly” artinya “Aku menciptakan semua ini untukmu dan Aku menciptakanmu untuk-Ku.” Antara Allah dan Muhammad sangat dekat, bagaikan Matahari dengan rembulan. Matahari memancarkan cahaya kepada rembulan lalu rembulan memantulkannya ke bumi. Ia bertajali dengan Nabi Muhammad, namun yang bertajali bukan dzat-Nya melaikan sifat-sifat-Nya.

Al-Qur’an adalah cahaya kebenaran yang bersumber langsung dari Allah, disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, sehingga al-Qur’an hanya bisa kita terima melalui perantara beliau. Tanpa Nabi Muhammad adalah mustahil bagi kita untuk mengenal-Nya. Bagaimana kita bisa mendapat petunjuk darinya atas ruwetnya keadaan zaman sekarang, jika kita sendiri tak mengenal-Nya? Pepatah sendiri yang bilang “Tak kenal maka tak sayang.”

Itu sebabnya al-Qur’an menjadi petunjuk paling penting bagi manusia untuk menjalankan kehidupan. Salah satu pesan yang sering disampaikan Gus Luay dalam setiap pertemuan ketika maiyahan adalah “al-Qur’an harus memiliki posisi tertinggi di kehidupan, sekalipun tanpa tafsir nilai al-Qur’an selalu lebih tinggi dan di hadapan Nabi Muhammad kita semua adalah orang awam”. Memang begitu adanya, seringkali kita mencoba memaknai al-Qur’an, mentadaburinya dengan perspektif kita, lalu kita mengaggap pemaknaan kita terhadap al-Qur’an jauh lebih tinggi daripada al-Qur’an itu sendiri.

Pemahaman al-Qur’an oleh umat Islam seharusnya direkonstruksi kembali. Al-Qur’an harus dijadikan sebuah ideal yang diletakan pada posisi paling tinggi bagi proses bernalar setiap muslim. Sudah terlalu banyak orang yang menganggap tafsiran nilainya jauh lebih tinggi daripada al-Qur’an itu sendiri, bahkan tak jarang dari mereka yang menganggap ulama-ulama klasik telah memuat segala kandungan al-Qur’an melalui tafsirannya. Hal ini yang menyebabkan pemaknaan al-Qur’an hanya sebatas tafsiran yang ditafsirkan, tidak lagi menjadi kitab yang kontekstual sepanjang masa (shalih li kulli zaman wa makan). Karena tak dipungkiri jika para penafsir di zaman klasik tak terlepas dari ikatan historisnya, apa yang ia alami di kehidupan akan mempengaruhi corak penafsirannya. Inilah yang menjadi salah satu problematika umat Islam zaman sekarang.

Kita terlalu fokus pada penafsiran zaman klasik sehingga tak mampu memaknai al-Qur’an menyesuaikan zaman sekarang. Bahkan untuk menghadapi situasi di masa pandemi corona pun umat Islam sangat kebingungan. Al-Qur’an telah memberikan blueprint utuh bagi kita untuk menjalani kehidupan. Ia adalah cahaya yang membawamu menerobos lorong-lorong masa depan, namun kamu terhalang oleh tembok besar bernama tafsiran. Meskipun beberapa kisah yang termuat dalam al-Qur’an adalah kisah-kisah masa lalu, tidak berarti kisah-kisah tersebut tidak lagi relevan untuk diterapkan di zaman sekarang. Kejadian itu memang telah berlalu, namun pemaknaan atas kejadian masa lalu masih berlaku. Pemaknaan tersebut bisa berkembang menyesuaikan zaman, selagi al-Qur’an selalu ditempatkan pada posisi tertinggi, lebih tinggi daripada tafsiran. Sebagaimana yang Ibnu Khaldun katakan bahwasanya siklus perputaran di kehidupan selalu sama, hanya saja besaran volumenya yang berbeda.

Segala penyelesaian masalah kehidupan sudah ada di dalam al-Qur’an. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, budaya dan segala hal yang bersifat metafisik (ghaib) seperti akhirat, telah tertulis dalam al-Qur’an. Tinggal bagaimana kita sendiri yang mau membuka hati untuk menerima cahaya al-Qur’an— sebagai pedoman sekaligus petunjuk hidup, atau kita malah menolaknya dan mencoba membuat suatu hal yang menurutmu lebih ideal untuk menghadapi zaman.

Ideal al-Qur’an sudah pernah menjadi sumber inspirasi dan kreativitas umat Islam hingga Islam mencapai zaman keemasannya. Umat Islam zaman pertengahan menempatkan al-Qur’an di posisi paling tinggi pada proses bernalar mereka, sehingga muncul beragam disiplin ilmu. Mulai dari kedokteran, filsafat, astronomi, kimia, sosiologi, teologi, tassawuf, dan beragam ilmu lainnya. Jadi mulai hari ini untuk menangani baragam masalah yang diakibatkan oleh pandemi sebagaimana yang dikatakan pegiat Poci Maiyah Less Owh Yuh Normal (Ayo Kembali Normal). Karena kita tak akan membuat kenormalan-kenormalan baru dengan idealisme yang dirumuskan oleh manusia, namun kita akan kembali kepada kenormalan yang telah dari dulu sudah ada—kenormalan untuk menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan manusia.

Less Owh Yuh, kalian rindu kan maiyahan? Sampai banyak sekali yang minta untuk tetap mengadakan Halal bi Halal. Less Owh Yuh, kalian rindu kan sholawatan? Membaca mahanul qiyam di gubug syafaat setiap malam jemu'ah akhir? Less Owh Yuh, tetep maiyahan, tetep sholawatan, meskipun harus lewat media sosial