Mukadimah Poci Maiyah Juni 2020
Oleh: Lingkar Gagang Poci
Alhamdulillah, as-sholatu was salamu 'ala Rasulillah, wa la
haula wa la quwwata Illa billah
Tak dipungkiri, banyak orang terkena dampak wabah virus
corona. Mulai dari mereka yang di-PHK, diliburkan kerja, tidak bisa kuliah,
nongkrong, ataupun maiyahan seperti biasanya. Lebih-lebih lagi, mereka yang
dihadapkan kenyataan memilukan. Berbulan-bulan dirinya tidak ada pemasukan,
tetapi pengeluaran tetap jalan. Dompet kosong, otaknya pun jadi ngesrong .
Hingga pada titik kejenuhannya, seorang tiba-tiba muncul dalam grub WA Poci
Maiyah mengirimkan sebuah pantun dengan hastag #PMGabut yang berbunyi :
Wit randu wis ditebang
Aku rindu cuma bisa nembang.
Dukuhwaru karangmangu
Aku rindu tapi terbelenggu
Seakan ada shooq (kerinduan) yang mendalam dari orang itu,
mewakili kerinduan kita bermaiyahan lagi. Kita sudah tak tahan lagi dengan
kondisi akhir-akhir ini. Sehingga terlihat jelas dalam pantunnya berbunyi wit
randu wis ditebang. Bisa kita tafsirkan wit randu adalah pohon yang besar dan
kuat, seakan sedang menggambarkan bahwa kita yang sedang berlatih agar kuat,
terpatahkan oleh keadaan sekarang. Lalu di bait kedua berbunyi; Aku rindu cuma
bisa nembang.
Kita merindukan masa-masa seperti biasanya. Ketika melakukan
banyak aktivitas. Namun sekarang tak bisa apa-apa, hanya merintih dengan
nyanyian yang sekiranya bisa menghibur diri. Terlihat sangat jelas pada bait
ketiga dan keempat pantunnya berbunyi Dukuhwaru karangmangu, aku rindu tapi
terbelenggu. Kata tersebut sangat menjelaskan bahwa seakan kita benar-benar
tertekan dengan keadaan, dibelenggu dengan ketidakpastian, kecemasan dan
kekhawatiran yang tak berkesudahan. Pantun itu benar-benar telah mencurahkan
seluruh isi perasaan.
Tapi aku curiga jika mungkin pantun tersebut tak hanya
sekedar pantun yang mengungkapkan perasaan pembuatnya, namun juga memiliki
makna yang sangat dalam seperti lagu Gundul-Gundul Pacul ciptaan Sunan
Kalijaga? Atau Jangan-jangan dia adalah orang yang mewarisi ilmu dari Sunan
Kalijaga. Walisongo yang mampu mengutarakan sesuatu yang bermakna dalam
menggunakan tembang dolanan. Ah, aku tak tahu ... .
Yang jelas tak lama kemudian Gus Luay membalas pantunnya
dengan sebuah quotes dengan tagar yang sama #PMGabut untuk menenangkan
kegelisahan orang tersebut.
"Segelap apapun jalan, bahkan lorong menuju masa depan,
yang kita butuhkan hanyalah secercah cahaya... cahaya yang mencahayai, Cahaya
di atas cahaya."
Cahaya? Nampak tak asing dalam kehidupan. Kita melihatnya,
merasakannya, tersentuh setiap hari dengannya. Bahkan pada gelapnya malam pun
kita masih bisa melihat secercah cahaya di antara bulan, bintang dan
lampu-lampu kota yang menghiasi malam.
Tapi apakah benar dengan cahaya kita bisa menelusuri lorong
masa depan? Bukankan mata kita butuh seperkian detik untuk menerima cahaya?
sehingga kenyataan yang kita lihat sekarang ini sebenarnya adalah masa lalu
yang telah terjadi, namun baru bisa kita lihat setelah sepersekian detik ketika
cahaya masuk ke mata kita. Bahkan semua panca indera manusia butuh sepersekian
detik untuk mengalami sesuatu yang telah terjadi. Lantas bagaimana manusia bisa
menerobos masa depan jika semua yang mereka alami adalah masa lalu?
Miliaran tahun lamanya, jauh sebelum alam semesta tercipta.
Di saat semuanya belum ada, hanya kekosongan yang hampa, Ia melimpahkan
cahaya-Nya, limpahan cahaya tersebut dipahami oleh banyak ulama sebagai Nur
Muhammad. Nur (Cahaya) yang nantinya menjadi cikal bakal terciptanya alam
semesta. Dalam salah satu hadis qudsi menyebutkan “Laulaka, lalulaka. Ma
kholaqtul aflaq” artinya “Kalau bukan karena engkau Muhammad, aku tidak akan
mungkin menciptakan alam semesta” hadis lain juga menyebutkan “Kholaqul asysyaa
li ajlika, wa kholaqtuka li ajly” artinya “Aku menciptakan semua ini untukmu
dan Aku menciptakanmu untuk-Ku.” Antara Allah dan Muhammad sangat dekat,
bagaikan Matahari dengan rembulan. Matahari memancarkan cahaya kepada rembulan
lalu rembulan memantulkannya ke bumi. Ia bertajali dengan Nabi Muhammad, namun
yang bertajali bukan dzat-Nya melaikan sifat-sifat-Nya.
Al-Qur’an adalah cahaya kebenaran yang bersumber langsung
dari Allah, disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, sehingga
al-Qur’an hanya bisa kita terima melalui perantara beliau. Tanpa Nabi Muhammad
adalah mustahil bagi kita untuk mengenal-Nya. Bagaimana kita bisa mendapat
petunjuk darinya atas ruwetnya keadaan zaman sekarang, jika kita sendiri tak
mengenal-Nya? Pepatah sendiri yang bilang “Tak kenal maka tak sayang.”
Itu sebabnya al-Qur’an menjadi petunjuk paling penting bagi
manusia untuk menjalankan kehidupan. Salah satu pesan yang sering disampaikan
Gus Luay dalam setiap pertemuan ketika maiyahan adalah “al-Qur’an harus
memiliki posisi tertinggi di kehidupan, sekalipun tanpa tafsir nilai al-Qur’an
selalu lebih tinggi dan di hadapan Nabi Muhammad kita semua adalah orang awam”.
Memang begitu adanya, seringkali kita mencoba memaknai al-Qur’an,
mentadaburinya dengan perspektif kita, lalu kita mengaggap pemaknaan kita
terhadap al-Qur’an jauh lebih tinggi daripada al-Qur’an itu sendiri.
Pemahaman al-Qur’an oleh umat Islam seharusnya
direkonstruksi kembali. Al-Qur’an harus dijadikan sebuah ideal yang diletakan
pada posisi paling tinggi bagi proses bernalar setiap muslim. Sudah terlalu
banyak orang yang menganggap tafsiran nilainya jauh lebih tinggi daripada
al-Qur’an itu sendiri, bahkan tak jarang dari mereka yang menganggap
ulama-ulama klasik telah memuat segala kandungan al-Qur’an melalui tafsirannya.
Hal ini yang menyebabkan pemaknaan al-Qur’an hanya sebatas tafsiran yang
ditafsirkan, tidak lagi menjadi kitab yang kontekstual sepanjang masa (shalih
li kulli zaman wa makan). Karena tak dipungkiri jika para penafsir di zaman
klasik tak terlepas dari ikatan historisnya, apa yang ia alami di kehidupan
akan mempengaruhi corak penafsirannya. Inilah yang menjadi salah satu
problematika umat Islam zaman sekarang.
Kita terlalu fokus pada penafsiran zaman klasik sehingga tak
mampu memaknai al-Qur’an menyesuaikan zaman sekarang. Bahkan untuk menghadapi
situasi di masa pandemi corona pun umat Islam sangat kebingungan. Al-Qur’an
telah memberikan blueprint utuh bagi kita untuk menjalani kehidupan. Ia adalah
cahaya yang membawamu menerobos lorong-lorong masa depan, namun kamu terhalang
oleh tembok besar bernama tafsiran. Meskipun beberapa kisah yang termuat dalam
al-Qur’an adalah kisah-kisah masa lalu, tidak berarti kisah-kisah tersebut
tidak lagi relevan untuk diterapkan di zaman sekarang. Kejadian itu memang
telah berlalu, namun pemaknaan atas kejadian masa lalu masih berlaku. Pemaknaan
tersebut bisa berkembang menyesuaikan zaman, selagi al-Qur’an selalu
ditempatkan pada posisi tertinggi, lebih tinggi daripada tafsiran. Sebagaimana
yang Ibnu Khaldun katakan bahwasanya siklus perputaran di kehidupan selalu
sama, hanya saja besaran volumenya yang berbeda.
Segala penyelesaian masalah kehidupan sudah ada di dalam
al-Qur’an. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, budaya dan segala hal
yang bersifat metafisik (ghaib) seperti akhirat, telah tertulis dalam
al-Qur’an. Tinggal bagaimana kita sendiri yang mau membuka hati untuk menerima
cahaya al-Qur’an— sebagai pedoman sekaligus petunjuk hidup, atau kita malah
menolaknya dan mencoba membuat suatu hal yang menurutmu lebih ideal untuk
menghadapi zaman.
Ideal al-Qur’an sudah pernah menjadi sumber inspirasi dan kreativitas
umat Islam hingga Islam mencapai zaman keemasannya. Umat Islam zaman
pertengahan menempatkan al-Qur’an di posisi paling tinggi pada proses bernalar
mereka, sehingga muncul beragam disiplin ilmu. Mulai dari kedokteran, filsafat,
astronomi, kimia, sosiologi, teologi, tassawuf, dan beragam ilmu lainnya. Jadi
mulai hari ini untuk menangani baragam masalah yang diakibatkan oleh pandemi
sebagaimana yang dikatakan pegiat Poci Maiyah Less Owh Yuh Normal (Ayo Kembali
Normal). Karena kita tak akan membuat kenormalan-kenormalan baru dengan
idealisme yang dirumuskan oleh manusia, namun kita akan kembali kepada
kenormalan yang telah dari dulu sudah ada—kenormalan untuk menjadikan al-Qur’an
sebagai petunjuk kehidupan manusia.
Less Owh Yuh, kalian rindu kan maiyahan? Sampai banyak
sekali yang minta untuk tetap mengadakan Halal bi Halal. Less Owh Yuh, kalian
rindu kan sholawatan? Membaca mahanul qiyam di gubug syafaat setiap malam
jemu'ah akhir? Less Owh Yuh, tetep maiyahan, tetep sholawatan, meskipun harus
lewat media sosial