Reportase Poci Maiyah Juni 2020
Oleh: Lingkar Gagang Poci
“If a heart is filled with heart, if will guide you the
truth.” —
Ibnu Arabi
Sudah berapa lama waktu tak
mempertemukan kita? Sepekan? Dua pekan? Satu, dua, tiga bulan? Memang, kita sudah lama tidak berkumpul untuk maiyahan seperti
bulan-bulan biasanya. Pandemi corona tidak memungkinkan bersua. Demi menjaga keselamatan bersama,
masyarakat diharuskan mengikuti protokol yang telah ditetapkan pemerintah. Pun sesuai dengan pernyataan Mbah
Nun bahwa setiap simpul maiyah akan mengikuti himbauan pemerintah selagi itu
untuk kebaikan banyak bersama. Namun
apakah para jama’ah maiyah hanya diam saja? Menanti datangnya kembali hari yang
cerah untuk bisa maiyahan?
Tidak demikian, jama’ah maiyah telah terlatih akal dan
kesiapan mentalnnya untuk menghadapi perubahan. Mereka segara berinisiatif
untuk melangsungkan maiyahan virtual yang dilangsukan secara online.
Masing-masing orang menempatkan diri sesuai fadilahnya. Ada yang bertugas mencarikan
tempat untuk live streaming, mengatur
jaringan internet, sebagai operator dan kameramen, menyeting sound dan
mempersiapkan microphone. Tak tertinggal juga rencang
pawon yang selalu setia menyeduhkan kopi. Dengan begitu organisme dari
jama’ah maiyah benar-benar membangun ekosistem yang sesuai dengan
ketetapan-Nya. Sebagaimana hadist Nabi “Man
arofa nafsahu faqod arofa robbahu”. Jama’ah maiyah malam itu benar-benar
dituntun untuk bisa mengenal dirinya sehingga bisa menepatkan diri sesuai dengan
posisinya. Tuhan memperjalankan mereka untuk menyelami makna hadis Nabi agar
pemahaman mereka benar-benar haqqul yakin. Sebab kebenaran sejati ada pada
pengalaman bukan dalam pikiran.
Waktu pun menjadi saksi temu.
Meski hanya lewat layar kaca, kebahagiaan berjumpa akan selalu ada. Maiyahan virtual pun akhirnya dimulai
secara online pada streaming facebook.
Yi Fahmi dan Mbah Nahar memulai pembasahan terutama mengeni salah satu tulisan
Mas Sabrang yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan bahkan sampai membuat
Buya Syakur memanggilnya untuk berdiskusi di chanel youtube. Tulisan Mas Sabrang itu
yakni berjudul “Mempertanyakan Kebenaran
Real World Science dan Pengkhianatan Matematika.” Sebuah tulisan yang
menjabarkan bahwasanya sains tidak pernah benar-benar
mengungkap kebenaran sejati. Mas Sabrang mengatakan sebagai real world, bahkan dengan tegasnya Mas Sabrang menulis, “Sepemahaman
saya, Sains tidak pernah menawarkan kebenaran real world. Apalagi bertugas mencari hakikat kenyataannya. Hal yang
dihasilkan Sains adalah narrative reality.
Dia menciptakan model realitas. Tapi korelasi one-on-one antara pengetahuan yang ditawarkan Sains dengan real
world tak bisa dijamin ada. Begitu pula
dengan kebenarannya. Sains bahkan tak mampu menjamin konsistensi dirinya.
Kesimpulan itu semua, menurut model Sains sendiri.”
Di Poci Maiyah sendiri kita telah belajar untuk mentadaburi
René Descartes dan al-Ghazali yang menawarkan pemahaman akan kebenaran. René
Descartes menyatakan bahwa, “Cogito ergo
sum” yang artinya, “Aku berfikir maka aku ada.” Kebenaran yang ditawarkan René Descartes adalah kebenaran berdasarkan
pikiran. Ketika seseorang berpikir, maka kebenaran itu ada padanya. Namun pada kenyataannya kebenaran
yang dimiliki manusia hanyalah kebenaran sementara yang bisa terbantahkan. Segala
sesuatu yang kita anggap benar melalui pikiran, tidak tentu benar di realita. Contohnya dahulu orang-orang memercayai
jika bumi itu datar berbentuk piringan. Namun berjalannya zaman kebenaran akan bumi datar
dibantahkan dengan kenyataan bahwa dunia itu bulat. Bahkan bulatnya bumi pun bisa terbantahkan lagi
atau makin berkembang kebenarannya.
Bahkan di zaman ini
manusia sudah mulai menghitung berapa diameter bumi, namun bisakah manusia
menghiting diameter bumi tersebut secara presisi? Sampai pada satuan angka terkecil
berupa yektometer bahkan mungkin ada satuan terkecil lagi setelah itu.
Sebagaimana yang pernah Ricard Dawkins tuliskan pada bukunya yang berjudul The Magic of Reality, “Atom-atom selalu
ada dari dulu, namun belum lama ini kita mengetahui keberadaan atom dengan
pasti, dan mungkin keturunan kita akan mengetahui jauh lebih banyak hal yang
kini belum kita ketahui. Itulah ajaib dan serunya sains: sains terus-menerus
menyingkapkan hal-hal baru. Ini tidak berarti kita harus mempercayai apa saja
yang mungkin dikhayalkan manusia: ada jutaan hal yang bisa kita bayangkan namun
kecil sekali kemungkinannya nyata—peri dan hobgoblin,
leprechaun dan hippogrif. Kita harus
selalu berpikiran terbuka, namun satu-satunya alasan bagus untuk mempercayai
bahwa sesuatu itu ada adalah bila ditemukan bukti nyata mengenai keberadaannya.” Seorang astronom sekaligus penulis
sains popular terkenal Carl Sagan menyatakan bahwasanya kita hanya mengetahui
beberapa, sains tidak akan pernah bisa mengungkapkan semua kebenaran yang ada
di alam semesta. Pembahasan akan ranah kebenaran jika ditarik ulur akan panjang
dan akan menuai benang merahnya jika digabungkan dari beberapa disiplin ilmu
salah satunya adalah filsafat.
Suatu hari Plato pernah ditanya oleh para muridnya tentang,
“Apa itu manusia?” lalu ia menjawab, “Manusia adalah mahluk hidup berkaki dua
dan yang berbulu.”
atau bahasa kerennya : featherless biped,
namun filsuf lain bernama Diogones datang membawa ayam yang telah dicabuti
bulunya dan berkata, “Inilah manusia, mahluk berkaki dua yang tak berbulu.” Hingga lebih dari 2.200 tahun
pemikiran tentang manusia terus dikembangkan hingga sampai kepada profesor asal
Jerman bernama Martin Heiddegger yang mengubah pemikiran tentang manusia yang
menggunakan sudut pandang luar (outsider) menjadi menggunakan sudut pandang
diri sendiri sebagai manusia (insider). Namun pembahasan tentang manusia tidak akan benar-benar pasti
mencapai titik kebenaran akhir. Hal ini diperkuat oleh pernyatan Imanuel Kant bahwasanya tidak ada manusia yang
memandang segala sesuatu dengan apa adanya. Manusia selalu menggunakan
perspektif dalam memang sesuatu. Ia menyebut perbedaan antara ‘Sesuatu apa
adanya’ dan ‘Sesuatu menurutku.’ Menurutnya sesuatu apa adanya tidak pernah kita temukan. Segala sesuatu yang kita pandang
selalu sesuatu menurutku, setauku, sengertiku, sekarepku! Semua orang selalu
menggunakan perspektif dalam memaknai sesuatu, lalu Wa ma huwa perspektif? Bagaimana kita bisa mendapat kebenaran jika
semua orang memiliki perspektif yang berbeda-beda?
Angin mulai menyejuk dingin.
Matahari yang jatuh, kian mengheningkan pandang mereka yang menitipkan senja
pada mata. Menitip mata kepada senja. Membiarkan langit, menjadi kertas kado
terindahnya. Sebelum
membahas kepada pernyataan al-Ghazali, ada sebuah kisah dari seorang tokoh sufi
Suhrahwardi al-Maqtul. Pencetus filsafat cahaya (Filsafat Illuminasi), jadi
dulu ia membaca buku-buku filsafat paripatetik. Sebuah ilmu filsafat yang lebih
memfokuskan logika rasio untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia malah menjadi sumpek, bingung
dan tak paham dengan buku yang ia baca. Dari kesumpekannya memahami isi buku
tersebut,
tak sengaja ia tertidur.
Dalam tidurnya ia bermimpi salah satu tokoh filsafat
paropatetik besar dunia, bapaknya ilmu logika ialah Aristoteles. Ia bertanya
pada Aristoteles, “Hay Aristoteles, aku bingung apa yang tentang kebenaran ilmu
pengetahuan?” Namun Aristoteles malah menjawab, “Tanyakan itu pada dirimu sendiri.” Setelah itu ia terbangun, berfikir
berulangkali tentang apa maksud dari mimpinya hingga ia menemukan bahwasanya kebenaran sejati adalah
kebenaran yang masuk kedalam bukan kebenaran yang keluar. Maksudnya kebenaran
sejati adalah kebenaran yang kita alami sendiri, hal ini disebut dengan beragam
sebutan, yaitu, al-ru’yah al-mubashirah,
pengalaman langsung, al-‘ilm al-khuduri,
preverbal knowledge, kas’yaf, laduni dan lain-lain.
Jika dikaitan dengan pernyataan al-Ghazali, pernyataan dari René Descartes itu
terbantah. Al-Ghazali menyatakan, “Aku mengalami maka aku ada.” Karena pengalaman adalah
satu-satunya dasar terpenting dari pengetahuan. Tanpa pengalaman, kebenaran tidak bisa diakui sebagai
kebenaran. Kesaksian akan pengalaman adalah bukti nyata suatu pengetahuan. Meskipun pengalaman manusia
hanya bisa menjangkau setetes air dari luasnya samudera kebenaran. Oleh sebab itu, manusia
harus memberi ruang besar bagi keyakinan dalam dirinya. Karena ada terlalu
banyak hal yang tidak kita ketahui secara pasti, agama adalah satu-satunya yang
menawarkan keyakinan sebagai suatu jalan untuk menuju kebenaran. Kebenaran yang
sejati, Cahaya Maha Cahaya yang akan membuka takbir alam semesta.
Kalau kata Gus Luay, “Daripada
energimu habis untuk mencari kebenaran alangkah baiknya kamu menggunakan energimu untuk
berbuat kebaikan.”