Kamis, 03 Februari 2022

IBU

 



Mukadimah Poci Maiyah Februari 2022

Oleh: Rizky Eka Kurniawan



Perempuan dengan derita dan derita adalah keniscayaan, karena ia membuka jalan untuk melahirkan. — Maulana Rumi

 

 

Cinta merupakan fitrah yang dimiliki manusia. Tidak ada makhluk lain di dunia yang bisa mencintai dengan penuh kesadaran dan kemegahan perasaan seperti halnya manusia. Akan tetapi, meskipun cinta merupakan sebuah fitrah, tapi cinta hakekatnya adalah seni. Ia harus dipelajari sebagaimana saat kita mempelajari seni lain seperti halnya seni musik dan menulis.

 

Namun, cinta manusia bukan tanpa alasan. Selalu ada maksud yang terselubung dari setiap ekspresi cinta yang Ia tunjukan. Pun sama halnya dengan cinta antara pria dan wanita. Saat keduanya saling mencintai, mereka akan menunjukan berbagai bentuk ekspresi cinta: kasih sayang, perhatian, ketulusan dan kesetiaan.

 

Tapi, bilamana kita menghayatinya lebih dalam, setiap bentuk ekspresi cinta selalu mengarahkan pada suatu tujuan terselubung. Tujuan itu bisa berupa kesenangan fisik atau pun kepuasan batin yang dialami setiap orang.


Itu sebabnya, asmara antara pria dan wanita hakikatnya ingin saling diuntungkan, mereka mendeklarasikan cinta dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan batin dan biologisnya agar memperoleh kebahagiaan dan kenyamanan bersama.

 

Makanya tak salah bila ada orang yang berkata berkata “Tidak ada cinta yang murni di dunia, semua cinta ditunjukan karena ingin mendapatkan balasan!” Dan tak salah juga jika kita katakan bahwa prinsip dari cinta adalah “Siambiosis-mutualisme (saling menguntungkan satu sama lain).”

 

Lalu pertanyaan adalah “Adakah cinta murni di dunia ini? Apakah manusia bisa saling mencintai dengan penuh kasih sayang dengan kesetiaan, tanpa syarat dan pamrih?”

 

Bila kita menjawab pertanyaan tersebut dengan pikiran. Maka, model cinta yang dimaksudkan pertanyaan tersebut adalah model cinta platonis—model cinta yang tak menuntut balasan untuk dicintai kembali.

 

Dan model cinta semacam itu sangatlah sulit ditemukan di dunia terkecuali pada cinta Ibu kepada anaknya.

 

Ibu mencintai anaknya bukan karena untuk kepuasan bagi dirinya, melainkan seluruhnya untuk kebahagiaan anak-anaknya. Ibu tak meminta balasan apa pun pada anak-anaknya. Ia mencintai anak-anaknya tanpa pamrih dan memberikan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk kebahagiaan anaknya.

 

Cinta Ibu adalah cinta tanpa syarat, pengorbanan total untuk membesarkan anak. Ia rela bersusah payah mengandung selama berbulan-bulan dan mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan. Tidak ada balasan dari semua yang telah ia korbankan, kecuali perasaan bahagia ketika ia melihat anaknya bahagia.

 

Cinta ibu adalah manifestasi cinta ilahiyah, pengabdian total dengan penuh keikhlasan. Melayani dengan sepenuh hati, tanpa mengeluh dan berharap pamrih.

 

Ibu mengalami kesakitan demi kesakitan ketika mencintai, mulai dari fase mengandung, melahirkan, menyusui, hingga anaknya tumbuh dewasa ia harus rela berpisah demi kedewasaan anaknya.

 

Ibu selalu mengorbankan kebahagiaannya sendiri untuk kebahagiaan anaknya. Cinta ibu penuh asih dan kasih sayang, ia selalu bersedia dan terbuka untuk menerima permintaan maaf anaknya yang telah melakukan banyak kesalahan.

 

Ibu mencintai bukan karena ingin dicintai melainkan karena memang Ia ingin mencintai. Cintanya aktif dan selalu memainkan peran utama dalam mengembangkan ikatan emosional.

 

Oleh sebab itu, restu Ibu menjadi perbendaharaan rahmat Tuhan. Do’a Ibu menjadi mustajab karena ketaatannya dalam mencintai.

 

Abu Hamid Imam al-Ghazali dalam Mukasyafah al-Qulub, bab Majma’al Latha’if (Air Mata Pemadam Api Neraka) mengkisahkan dengan indah mengenai kisah cinta keibuan yang murni dan penuh dengan pengorbanan.

 

Dikisahkan bahwa dahulu pernah ada seorang ahli ibadah di tengah-tengah kaum Bani Israil yang keluarganya ditimpa kelaparan.

 

Mereka terlanda kelaparan parah sampai badan mereka menggigil gemetaran karena telah lama tidak mendapat makan.Melihat hal itu, Ibu dari anggota keluarga tersebut merasa tidak tega melihat anaknya-anaknya yang teraniaya karena lapar. Ia pun memutuskan untuk keluar rumah dan mencari makan untuk anak-anaknya.

 

Kemudian Ibu itu mendatangi rumah seorang saudagar kaya, ia meminta bantuan kepada saudagar kaya itu untuk menolong keluarganya yang sedang kelaparan. Tapi saudagar kaya itu menolak, ia tidak mau menolongnya kecuali bila Ibu itu mau menyerahkan dirinya untuk melayani hasrat saudagar kaya itu.

 

Saudagar kaya berkata pada Ibu itu “Aku akan menolongmu, tapi serahkan dirimu lebih dulu padaku”

 

Ibu itu hanya bisa terdiam mendengarkan permintaan saudagar kaya, ia pun memilih untuk kembali ke rumah menemui keluarganya tanpa membawa sedikit pun makanan. Ketika ia baru sampai di rumah, ia membuka pintu depan lalu kembali melihat kondisi keluarganya yang kelaparan. 

 

Saat Ibu itu sedang prihatin melihat kondisi keluarganya yang dilanda kelaparan, anaknya tiba-tiba berkata kepadanya, dengan nada bicara yang terbata-bata dan badan yang gemetaran “Ibu tolong berikan aku sesuatu yang bisa dimakan, aku kelaparan dan hampir meninggal”

 

Mendengar perkataan anaknya, Ibu itu meneteskan air mata, hatinya merasa sangat sakit untuk menerima kenyataan. Ia gelisah, dan berada dalam dilema moral, harus memilih untuk menjaga kesucian dirinya tapi anaknya bisa mati kelaparan atau mengorbankan kesucian dirinya untuk keselamatan anak-anaknya?

 

Sesaat setelah itu, Ibu itu segera kembali mendatangi saudagar kaya dan meminta bantuan kepadanya.

 

Saudagar kaya itu pun kembali menanyakan permintaannya kepada Ibu itu, katanya “maukah kamu memenuhi keinginanku?” Ibu itu menjawab dengan berat hati “Ya, aku akan memenuhi keinginanmu”

 

Ketika mereka berdua telah saling sepakat, mereka berdua masuk ke dalam sebuah kamar. Tapi tiba-tiba seluruh anggota badan Ibu itu menggigil kedinginan, persendiannya gemetaran bahkan dikisahkan ibu itu menggigil seperti seluruh anggota tubuhnya mau lepas dari badannya.

 

Saudagar kaya terkaget bukan main melihat Ibu itu yang tiba-tiba menggigil, ia pun panik dan bertanya “Hai, kamu kenapa?”

“Aku takut kepada Allah” jawab Ibu itu

 

Mendengar pernyataan Ibu itu, saudagar kaya langsung merasa malu, ia pun berkata “Jika kamu takut kepada Allah karena kemiskinanmu, seharusnya aku yang lebih pantas untuk takut kepada-Nya daripada dirimu”

 

Setelah menyaksikan kejadian ini, saudagar kaya menyesali perbuatannya, ia bertaubat dan segera menjahui Ibu itu. Ia penuhi semua kebutuhan Ibu itu tanpa syarat apapun. Lalu setelah mendapatkan apa yang Ibu itu butuhkan dari saudagar kaya, Ibu itu segera pulang menemui anak-anaknya. Ibu itu membawa banyak makanan dan anak-anaknya pun merasa sangat bergembira melihat kepulangan Ibunya.

 

Bagitulah kisah cinta keibuan yang diabadikan oleh Abu Hamid Imam al-Ghazali dalam kitabnya. Kisah tersebut menegaskan pada kita bahwa cinta Ibu adalah cinta paling mulia di dunia. Ibu rela mengorbankan dirinya untuk kebahagiaan anaknya, meskipun pada akhirnya ia tidak mendapatkan balasan dari apa yang telah dikorbankannya.

 

Berkat cintanya, surga menjadi ada di telapak kakinya. Siapa saja yang durhaka padanya pastilah mendapat siksa, dan tanpa ridhonya pintu surga tidak akan pernah bisa dibuka.

 

Maka cintailah Ibumu sebagaimana ia mencintaimu. Berkata-katalah yang baik padanya dan bahagiakanlah Ia. Sempatkanlah waktu untuk menemuinya meskipun engkau berada dalam kesibukan kerja.

 

Bagaikan kasih sayang Tuhan yang mengembalikan Musa kepada pangkuan Ibunya, perilaku yang demikian adalah kebaikan.

 

Dengan begitu pintu surga akan terbuka, berserta ridho Ibu yang akan menyelamatkanmu dari berbagai siksa dan api neraka.

 

Jakarta, 3 Februari 2022