“Entah
apa yang ada dalam pikirannya ya? kenapa ia senekat dan sekonyol itu, berani
betul ia kepada Kiai Khasan,”
kata Mas Alim.
“Nggak
tahu kenapa Mas, dia nggak pernah ngaji ta’lim mungkin.”
“Siapa
bilang saya nggak pernah ngaji ta’lim, bahkan semenjak hampir sembilan tahun
nyantri di sini, saya sudah khatam hingga tiga kali lho,”
tiba-tiba terdengar suara Kang Murod dari arah belakang kami.
“Tapi
kitab ta’limmu itu hannya kau taruh di lemari saja rod, tak ada satu pun yang
masuk dalam otak dan hatimu, kelakuanmu waktu itu edan bercampur nekat rod,”
Mas Alim menimpalinya.
Sementara itu aku hanya mampu terdiam, sedikit
malu juga dengan Kang Murod karena kepergok sedang membicarakan dirinya.
Setelah memesan kopi ia pun ikut duduk dan ngobrol-ngobrol bersama kami, membicarakan
kelakuannya saat dua hari yang lalu, namun ternyata menurut pengakuannya itu, ia
masih belum sepenuh hati meminta maaf kepada Kiai Khasan, semua itu ia lakukan
hanya untuk menuruti perintah pengurus pesantren saja. Katanya, suatu saat
nanti ia pasti akan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Suara
jangkrik sudah mulai terdengar di telinga kami, bagaikan lonceng tanda hari
sudah mulai larut malam. Setelah membayar beberapa cangkir kopi dan rokok, kami
pun kembali ke bilik pesantren untuk beristirahat malam.
Kang
Murod itu memang pintar bahkan sedikit cerdas, terlihat saat kami ngobrol-ngobrol
di warung tadi, mulai dari ilmu nahwu, shoroh, dan tafsir sepertinya sudah
sangat begitu ia kuasai, bahkan untuk memperkuat argumennya, tidak jarang ia
melontarkan beberapa hadits beserta arti dan halaman yang tertulis dalam kitab
shokhih bukhari. Seribu nadhom dalam kitab al-fiyah pun katanya sudah ia hafal
di luar kepala. Sangat jauh berbeda jika dibandingkan denganku, diam-diam aku pun
sedikit mengagumi kecerdasan Kang Murod.
Waktu
terus saja berjalan bersamaan dengan kisah tentang kehidupan, satu detik saja
takkan pernah mampu terhentikan. Musim panas bulan yang lalu telah
terlewati, rintik hujan pun berganti datang membasahi pesantren kami. Hingga
suatu malam hujan lebat turun begitu deras, beberapa jerambah pesantren
terlihat becek dengan genangan air, begitu juga dengan ndalem Kiai
Khasan. Beberapa santri terlihat sibuk sedang membersihkannya, termasuk juga
dengan Mas Alim. Dari arah kejauhan terlihat juga Kiai Khasan sedang
membersihkan saluran got yang mampet, Mas Alim bergegas menghampiri beliau,
bermaksud untuk ikut membantu Kiai Khasan.
“Biar
saya saja Kiai yang membersihkan,”
kata Mas Alim.
“Nggak
usah cung,” Kiai Khasan
menolaknya. Beliau memang terbiasa mengerjakan apa saja dengan tangannya
sendiri. Sangat jarang beliau menyuruh orang lain atau santrinya.
“Nggak
apa-apa Kiai, biar saya saja,”
Mas Alim sedikit memaksa.
“Ya
sudah, tapi hati-hati ya, terimakasih ya cung,”
beliau pun kembali masuk ke ndalemnya.
Mas
Alim memang begitu, ia selalu berusaha patuh terhadap perintah pengasuh
pesantren, bahkan kerap kali ia meminta agar Kiai menyuruhnya mengerjakan
sesuatu apa saja. Terkadang tak disuruh pun ia sering memijat Kiai Khasan
ketika baru pulang dari luar kota dan telihat lelah. Namun sayangnya ia bukanlah
termasuk santri yang begitu pintar, ketika di Madrasah Diniyah saja ia sering dihukum
gara-gara setoran hafalannya tidak sampai tuntas, walaupun sekuat tenaga ia
telah berusaha. Namun sikapnya yang patuh terhadap Kiai dan tekun itulah yang
membuat kami sangat menghormati dan mengaguminya.
***
Setelah beberapa tahun terlewati di pesantren, kini
sahabat-sahabatku pun mulai menghilang tertelan oleh waktu. Mereka Kang Murod
dan Mas Alim telah terlebih dulu kembali ke kampung halamannya, mereka berdua
terpaut tiga tingkat di atasku, wajar saja jika mereka telah lulus terlebih
dulu dari pesatren. Sementara itu aku harus terus meneruskan pendidikanku di
pesantren ini selama dua tahun lagi. Sudah hampir dua tahun kami tak pernah
bertemu. Begitu juga dengan Kiai Khasan, kami para santri-santri sudah tak
mungkin dapat berjumpa dengan beliau. Diusia yang belum begitu tua, beliau
sudah terlebih dahulu maninggalkan kami, pergi sowan kepada sang Gusti.
Kiai Khasan meninggal dunia tepat setelah acara pernikahan putra pertamanya,
dan kini pengasuh pesantren digantikan oleh putranya yang baru saja menikah itu,
beliau adalah Gus Muh.
Saat acara khaul pertama Kiai Khasan, banyak
dari para alumni yang sengaja datang ke pesantren, termasuk juga dengan Mas
Alim. Dan di sinilah aku dapat kembali berjumpa dengannya, ternyata ia sama
sekali tak pangling dengan wajahku. Justru aku yang sedikit lupa dengannya.
Pertama kali melihatnya, aku kira ia adalah bejabat Negara yang secara khusus
diundang dalam acara khaul, tubuhnya yang semakin gemuk, kumisnya yang tebal,
dan mobil berplat nomor warna merah itulah yang membuat aku tak mengenalinya.
Namun tiba-tiba perlahan ia menghampiri aku yang sedang duduk di jerambah
masjid pesatren.
“Soleh
ya? Ini saya leh, Mas Alim.”
“Ya
Allah, aku pangling denganmu Mas,”
lalu kami pun saling berjabat tangan.
Setelah
itu kami berjalan bersama menuju tempat prosesi acara khaul dan makam Kiai
Khasan, selesai membaca tahlil dan memanjatkan do’a bersama untuk Kiai Khasan, kami
saling bercerita tentang kenangan masa lalu katika Mas Alim masih di pesatren
ini. Tidak ketinggalan juga ia bercerita tenang perjalanan hidupnya, hingga ia
menjadi seperti saat ini, seorang Wakil Walikota di tanah kelahirannya. Ini
semua sebab barokah Kiai Khasan, katanya. Ketika sedang asik ngobrol, tiba-tiba
aku teringat dengan Kang Murod. Seorang santri yang dulu pernah aku kagumi
karena kepintarannya, aku pun menanyakan kabarnya kepada Mas Alim.
“Lalu
bagaimana dengan kabar Kang Murod Mas? Mungkin nasibnya jauh lebih beruntung
dari sampeyan ya Mas, sampeyan saja bisa jadi Wakil Walikota, apa
lagi dengan Kang Murod yang jauh lebih pintar, hahaha…”
“Bisa
saja kau ini,” kata Mas Alim.
“Begini
leh, almarhum Kiai Khasan itu orang hebat, beliau mampu saja mengelabui kita. Subakhanallah,
beliau itu ternyata selama ini berpura-pura. Seperti riya’ agar tak dianggap
betul-betul taqwa kepadaNya, terlihat sombong agar tak seperti betul-betul
ikhlas hanya karenaNya, tak begitu mengharapkan simpati orang lain, namun
diam-diam beliau mendoakan.”
Sebetulnya
aku sendiri masih sedikit heran, mengapa Mas Alim membahas Kiai Khasan,
bukankah yang aku tanyakan tadi itu adalah kabar Kang Murod. Setelah sejenak
menghelakan nafasnya, Mas Alim pun kembali dengan sangat hati-hati menjawab
pertanyaanku.
“Tugas
kita sebagai santri atau pelajar hanyalah menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh,
bukan sibuk mencari kesalahan guru-guru kita atau mencari pembenar bagi diri
kita, kau ingat peristiwa Kang Murod saat di pesantren dulu? Itulah sebabnya saya
tak pernah setuju dengan yang ia katakana, ia terkelabui oleh ke waro’an Kiai
Khasan, dan kini ia pun harus menanggung resikonya, kenapa dulu ia tak
betul-betul meminta maaf kepada Kiai Khasan, bukankah itu perkara yang mudah.
Kepintaran bukanlah jaminan kesuksesan seseorang leh.”
Angin
yang dari tadi berhembus seakan-akan tak lagi meniupkan sejuknya, suasana
hening menghampiri kami. Sepatah kata pun tak dapat terucapkan dari lisanku,
hanya mampu mendengarkan dengan hikmat apa yang disampaikan oleh Mas Alim, ucapannya
bagaikan sabda-sabda suci yang turun dari langit, menusuk dan menghuncam dalam
sanubariku.
“Hai,
kok bengong,” Mas Alim mengagetkanku.
“Sepertinya
sudah sore leh, setelah sowan ke Gus Muh, nanti aku langsung pulang ya, aku
pasti akan kembali merindukanmu leh.”
“Iya
Mas, hati-hati di jalan ya.”
Setalah
saling berjabat tangan Mas Alim pun kembali perlahan pergi meninggalkanku,
sementara itu aku masih saja sedikit meresapi kata-kata Mas Alim yang tadi.
Mungkin inilah yang disebut dengan barokah dari sami’ na wa atho’na kepada sang guru. Hingga Mas Alim mengakhiri ceritanya, aku pun
masih belum begitu faham dengan kabar Kang Murod. Dan memang aku sudah tak
ingin begitu tahu, karena saat ini ada yang lebih penting yang harus aku
ketahui, yaitu etika santri atau pelajar dalam menuntut ilmu.