Tulisan Ini bukan tentang kopi/qohwah (arab) atau
juga qohi (jepang), bukan juga tentang air (maa 'i-arab.red) atau
panggilan Ibu bagi orang jawa Emak/Ma'e.
Meski Poci Maiyah jemuah malam lalu menggelar
sayembara penyuguh kopi terbaik, diracik penuh syahdu oleh Kang Peppi
selaku salik thoriqoh ndomblongiah, tapi lagi-lagi ini bukan tentang
kopi, air atau ibu. Ditambah seloroh kang Isal Sofyan selaku penggiat Poci Maiyah menyampaikan "apakah emping memang mengandung unsur warna
merah muda (pink?)' atau Kang Aziz yang lagi-lagi terpleset menyebut "BRIGIF" dengan diksi "KODIM" atau pula kang Idham yang mengusulkan agenda
silaturrohim ke maiyah purwokerto, cukup menggunakan "Dalan Curut", kami yang menjadi Curutnya atau Curutnya menjadi makhluk yang kami
tadabburi?
Itulah yang terjadi di malam Poci mulai melingkar,
di kediaman tuan rumah yangat luar biasa Kang Nahar, selaku sesepuh dan
yang paling tua diantara para jama'ah. Kami menelisik, memamah kembali
Alif-Ba-Ta , A-B-C-D , Alfa-Beta-Teta-Omega kami dalam kata-kata yang
kami geluti selama ini. Jama'ah Poci Maiyah melingkar sebagai
pengejewantahan Poci itu sendiri, bahwa tanpa lingkar gagang, Poci tak
akan kuat menyangga beban ilmu didalamnya, tak akan mampu mengucuri
kembali isi Poci menjadi aliran-aliran cinta dan kemesraan kami dalam
bermanusia.
Adalah abad ke 13, ketika kopiah, peci, songkok, kupluk mulai dikenal di bangsa Melayu. Di belahan dunia lain seperti
Eropa dan Amerika, masyarakatnya mengenal penutup kepala tersebut dengan
nama kufi taqiyat, topi fez, songkok dan seterusnya. Meski ketiganya berfungsi sama sebagai penutup
kepala, namu sejarahnya berbeda-beda. Peci misalnya; dalam sejarah pada masa
penjajahan Belanda disebut "Petje'. Yaitu; dari kata "Pet" yang diberi
imbuhan "Je'.
Cindy Adam, penulis "Soekarno Penyambung Lidah Rakyat" menceritakan; Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java
itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu, dia berdebat dengan
dirinya sendiri. "Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?' "Aku
seorang pemimpin.' "Kalau begitu, buktikanlah,' batinnya lagi. "Majulah.
Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat…
Sekarang!' Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara.
Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci
karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah. Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: "Kita
memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia, Peci yang memiliki
sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu,
adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala
kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka." (hal.28-39)
Maka maiyah menjadi titik berkumpulnya kami,
manusia-manusia yang rindu akan sebuah negri-negara beranama Indonesia,
dimana jiwa masyarakatnya merdeka dengan mental kemanusiaannya. Namun
saat ini kami tidak lebih mulia ketimbang Ashabul Kahfi, bisa jadi kami
hanyalah Raqiem yang tidak akan mendapatkan keistimewaan untuk
diselamatkan dalam tidurnya dan dibangkitkan untuk bercerita pada dunia. Kami berkumpul tanpa identitas sebagai identitas
kami, dengan kopiyah , dwaja, majapahit berwarna merah-putih. Keberanian
kami berada di ubun-ubun sebagai pengadu, pengeluh, pemanja kepada
Allah Tuhan semesta alam, atas nasib kami dan bangsa ini. Dan cinta suci
kami berwarna putih, berada pada lingkaran diluar tubuh kami, yang kami
tidak berani memandang satupun manusia selain sebagai ahli sorga, tidak
memandang selain dengan pandangan cinta. Kami tidak bisa berbenturan dengan apapun, karena
kami mengalir Min Tahtihal Anhar. Meresap melaui emosi, kebersamaan,
paseduluran sesama Manusia. Namun sekali lagi kami bukan air, bukan Kopi, bukan Ibu, tapi adakah ketiganya itu tidak berkaitan? sedang
mereka adalah diri kami lainnya.
*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay