"Woiyadong Leh"
Awalanya iseng menawari, tapi tumben dan sangat perlu disyukuri ketika
Murod, mau ikut terlibat menjadi pengajar di diniyah. Selama bertahun-tahun kami hidup di pondok,
biasanya dia kabur kalau di tugasi untuk mengajar. Ndilalah hari ini salah satu ustadz sedang
udzur, Kang Rohmat yang juga ustadz
sekaligus lurah pondok, yang biasa jadi badal juga udzur, akhirnya Murodlah
yang menggantikan.
"Kalian yang masih kelas satu aliyah
wajib memahami ini; ..kalau kata 'berhenti' ada dalam proses kehidupanmu,
mungkin Tuhan tak perlu berbelas cinta-sayang-kasihNya untuk membagi-bagi
firmanNya, mengutus para Rosul, para nabi, serta triliunan orang baik lainnya
yang ujug-ujug muncul, bertengger, atau sliweran disekitarmu. Maka tidak ada itu kata
berhenti."
Ekspresi para santri antusias mendengar pemaparan Murod, maklum namanya sudah jadi legenda di pondok ini.
Maman lewat,
kelas diniahnya sudah selesai mungkin. Maman kaget melihat siapa yang mengajar,
tapi setelah melihatku duduk di dekat pintu, di belakang para santri, Maman langsung bergabung.
"Kalian sudah pandai berwudhu? maka
sholatlah, sudah mampu tepat waktu? maka berjama'ahlah, sudah bisa bekerja
keras? maka berbagilah, sudah lancar tadarusmu? maka cari lagi apa itu qiro'ah
sab'ah beserta seluk-beluk tajwidnya,
sampai urusan-urusan syari'at ubudiyah dan syari'at sosial kalian
tuntas. Semuanya adalah 'siklus belajar' yang tidak
boleh berhenti sampai kau mati. Bahkan matimupun menjadi pelajaran bagi yang
hidup, dan yang hidup akan menentukan bagaimana ia akan mati nanti. Faidza
farogh tafanshob?"
"Wa ilaa Robbika farghob"
Satu kelas menjawab serentak, seorang santri mengangkat tangan isyarat ingin bertanya.
"Kemudian kalau kita merasa berpuas diri dengan ilmu yang kita miliki bagaimana Kang? merasa cukup?"
"Nah,
itu perlu di telaah lagi, mampu merasa itu baik. Merasa berbeda dengan menampilkan, merasa itu letaknya di jiwa, menampilkan letaknya di badan. Merasa cukup
adalah bentuk ujian, bahwa di sisi
lainnya Allah masih memberi kita kepekaan bahwa ada yang tidak beres dengan apa
yang kita rasakan, maka rujukannya ada
pada hadits qudsi yang berbunyi:
Kebesaran adalah JubahKu, Kesombongan adalah selendangKu, barang siapa yang mengambil salah satunya dariKu, maka aku akan mengharamkannya memasuki surgaKu.Jadi jangan pernah berpuas diri dulu, di hadapan Allah, tidak ada satupun makhluk yang diperbolehkan memiliki sifat ujub di dalam hati dan lelakunya, kalau mau nyicipi lama-lama di neraka ya terserah aja berarti."
"Kang!!!".
Mata santri di kelas langsung tertuju pada asal suara.
"Ujub itu yang ada di puji-pujian ya? Allah UJUB, qidam, baqoo, mukholafatu lil hawaaaditsiiii..."
"ITU WUJUUUD, WUJUUUD ndeeng gendeng!!!"
Penghapus tepat melayang ke arah kepala Maman yang bertanya, tapi Maman menghindarinya.
*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay