Mukadimah Poci Maiyah Januari 2020
Oleh : Seh Subkhi
Tafakkaruu
fi kholqillah walaa tafakkaru Fii dzatillah.
Allah SWT maha
segalanya.
Coba renungkan di
dalam tubuh kita sendiri apakah kita sendiri yang mengendalikannya, ataukah ada
pengendali di luar
kemampuan kita. Jika kita merasa menguasi, memiliki diri kita sendiri, mampukah
kita mengatur sekedar kapan kita akan kencing atau buang air besar? Mampukah
kita meniup mata kita sendiri yang kelilipan? Atau lebih jauh lagi, jika tangan
kanan gatal, apakah ia bisa menggaruknya sendiri? Bagaimana dengan mata, apakah ia bisa saling
berpandangan? Jangan dicoba, puyeng nanti.
Maka, wa fil ardli aayatul lil muuqinin, wa fii
anfushikum afala tubshirun? Dia, Raja kita, yang bahkan tanpa kita berdoa
pun memberikan semua yang kita butuhkan, menunjukan tanda-tanda
(keberadaan-Nya) di segala penjuru bumi, dan dirimu sendiri. Afala tubshirun.
Tidakkah engkau melihat? Yap, melihat. Maka di atas kita awali, tafakkaru fii kholqillah, wa la tafakkaru
fii Dzatillah. Lihatlah, kemudian pikirkanlah, apa yang Allah ciptakan,
bukan sok-sok-a atau gal gil ingin melihat Allah,
kemudian memikirkan-Nya,
Dia seperti apa, di mana,
semalam dapat berapa... (Lah kok nyanyi? wkwk). Jangan ikuti langkah setan yang
memalingkan kita dari ciptaan-Nya, kepada Dzat-Nya. Kita bisa apa?
KOEN
BISA APA???
Misal ;
1. Bisa Menggali tanah
kuburan.
Menggali tanah, bukan
sebuah pencarian/pekerjaan untuk diri sendiri melainkan suatu amaliah untuk orang
lain, dan itu pun tak sepenuhnya mampu
dilakukan oleh
diri si penggali kubur sendiri. Bagaimana ia mengukur ketepatan panjang x lebar
x kedalaman. Bagaimana
agar pas tidak mengenai mayit yang ditimpa (misalnya), memperkirakan kondisi air tanah dan sebagainya. Ada
usaha manusia yang harus segaris dengan kehendak Allah.
KOEN
BISA APA???
2. Pun seorang
penggali kubur, seperti semua manusia, bahkan makhluk hidup, ia harus menggali
kemampuan atau bekal apa yang aku bisa untuk tetap layak diberikan hak hidup
dan menjalani qadar Allah. Koen bisa
apa? bukan pertanyaan merendahkan, melainkan pertanyaan mendasar yang bisa kita
maknai (salah satunya), apa yang Tuhan khususkan untukku dalam hidup ini? Dan
tak ada jawaban seperti :
Kek
nyonk sih apa, ora bisa apa-apa
Nyonk
tah makmum wong bodo sih
Nyonk
yak ora ngerti nyonk bisa apa
Aku
mah apa atuuuh... (Yak nembang maning..)
Jawaban seperti di
atas adil, jika diucapkan ketika sedang berkeluh kesah, bermesraan dalam
kesunyian bersama-Nya. Tapi dholim ketika diucapkan di hadapan manusia.
Karena, ini kita pakai ilmu perbandingan, jika hewan atau tumbuhan, bahkan
setiap partikel debu di semesta ini memiliki qodar, kemampuan khusus, mengapa
manusia yang secara langsung pernah diajari Tuhan tak dititipi kapasitas
apa-apa? Wa aladzi qodaro wa hada...
robbana ma kholaqta hadza batiila...wa alamal adamal asma.
KOEN
BISA APA?
3. Itu bisa kita
maknai sebagai sinergi, kamu bisa apa dan aku bisa apa, mari kita lakukan
kebaikan. Seperti yang sering Mbah Nun pesankan : Jangan berjalan di depanku, karena aku bukan pengikutmu. Jangan
berjalan di belakangku, karena aku bukan pemimpinmu, berjalanlah di sisiku
bersama menuju cinta-Nya.
Karena
tak mungkin sesuatu dapat terselesaikan tanpa sinergi, kerjasama, persilangan
jalan kebaikan, meski setiap manusia memiliki jalan hidup masing-masing.
Matahari di siang hari, sedang bintang dan bulan di malam hari. Gunung
menjulang menjadikan bumi tak goyang, dan laut yang dalam menyimpan begitu
banyak yang manusia butuhkan. Tangan kanan harus bersinergi dengan tangan kiri,
begitu
juga mata, telinga, mulut dan sebagainya. Tidak ada orang bodoh mutlak, seperti
halnya orang cerdas mutlak. Bahkan Rasulullah
pun oleh Allah dikehendaki untuk lupa, sanuqri-uka
fa la tansaa, illa masyaa allah. Maka dibukakanlah pintu saling
mengingatkan, tawashou bil haq wa
tawashou bish shobr wa bil marhamah. Kita mungkin cerdas di satu sisi, tapi
memiliki kebodohan di sisi yang lain. Kita mungkin banyak hal yang bodoh dalam
sekian hal, tapi pasti memiliki kecerdasan di hal-hal tertentu. Tuhan tak marah
dengan kebodohan yang kita miliki selama terus belajar. Tapi Dia akan marah
ketika kita mengerti, bahkan membaca dan memahami kitab-Nya namun
menyembunyikan itu, apalagi untuk diri kita sendiri. Paham, tapi menolak untuk
melakukan tanpa alasan yang adil.
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?