Rabu, 25 Oktober 2017

Garis Kyai Khasan V.S Papan Murod (Murod-Alim #13)



"Lho? Assalamualaikum yai"

Aku menyalami Kyai Khasan yang sedang duduk bersandar dan dipijiti Murod. Tumben dan baru kali ini Abah Kyai santai-santai di rumah Kang Mus. Di Belakang warung Kang Mus memang ada halaman, tanahnya Kang Mus tanami tumbuhan obat, apotek hidup orang sekarang menyebutnya. Beberapa minggu ini Aku, Murod dan Kang Mus membuat gubuk untuk bisa kami jadikan tempat santai, untuk duduk 7-8 orang masih muatlah. Harusnya juga pembuatan gubuk ini bisa selesai cepat, tapi karena Murod sering slenge'an, guyon, bercanda maka prosesnya tidak selesai-selesai, kemarin baru tuntas, setelah Murod datang membawa papan hitam (papan tulis kapur) entah dari mana,  dan ternyata Kyai Khasan hari ini seolah ikut meresmikan.

"Rod, kamu ngambil istiqomahku, kan aku, yang biasanya mijitim abah yai."
"Halah, pikirmu santrinya abah yai cuma kamu lim? seenaknya aja"

Abah Kyai cuma senyum-senyum, beliau memandang kebun dengan gendingan jawa, entah suluk apa yang sedang dibaca. 

"Kang Mus mana rod?"
"Aku datang cuma ada Yu Sumi, mau balik lagi tapi Yu Sumi bilang jangan, suruh nemenin abah kyai disini."

Kyai Khasan melipat kakinya, tanda kepada Murod menyudahi pijitan.

"Papan tulisnya buat disini ternyata Rod?"
"Enggeh bah. "

Baru sekarang paham ternyta Murod meminta papan dari pondok. 

"Buat ngaji rod?".
"Mungkin bah".
"Ko mungkin Rod? bukannya tujuanmu untuk itu ya?"

Kyai Khasan sekali lagi cuma senyum-senyum saat aku merespon jawaban Murod. 

"Yo mungkin to lim, ndak tahu nanti dipakai ngaji apa buat catatan belanja warung kang Mus kan aku ndak tahu. Makanya jawaban pertanyaan Abah Kyai tadi kujawab mungkin."
"Tapi kan kamu memintanya dari pondok? lha izinmu memintanya apa?"
"Izin ya, aku bilang ke Gus Muh, mau minta papan, izinya -mungkin nanti dipakai ngaji Gus- udah. Ndak terima? ya sana temuin Gus Muh sendiri"

Kyai Khasan sekarang cekikikan, beliau mengambil kapur di kotak pojok papan, dan membuat sebuah garis sepanjang 30 cm. 

"Nah, Lim, Rod, ini garis kira-kira 30 cm, sekarang kalian berdua perpendek garis itu."

Aku dan Murod saling pandang, Kang Mus muncul langsung menyalami Kyai Khasan, tidak bertanya apapun dan cuma diam melihat apa yang tengah terjadi.

"Ayok, silahkan, terserah siapa duluan."

Aku memberanikan diri, menghapus garis di papan itu dengan penghapus kira-kira 10cm. 

"Sampun Kyai"
"Giliran kamu Rod"

Abah Kyai mempersilahkan, tapi Murod memandang papan itu lama, kemudian ikut menghapus garis tersebut dengan kuku jempolnya, dikiiiiiiit, mungkin hanya 0,01 cm atau masuk pada ukuran milimeter. Sampai terlihat tidak ada perubahan sama sekali.

"Kamu juga Mus."
"Lho? saya juga?"
"Cepetan ko"

Kang Mus tidak mengambil penghapus atau menggunakan kuku jempol seperti Murod, tapi malah mengambil kapur dan membuat garis baru di bawahnya sepanjang 50 cm, aku tercengang,  melirik Murod, ekspresinya datar. 

"Nah, semua benar tho? Alim menghapus benar, Murod menghapus sedikit sampai saya kaget apa benar garis itu berubah ukurannya juga benar, Mus membuat garis baru yang lebih panjang sehingga garis awal terlihat lebih pendek juga benar. Begitu itulah fikiran, cara, rumus dan jawaban, ada maqomnya sendiri-sendiri kebenarannya."
"Permisi kyai!!! "

Murod mencopot papan hitam tadi, mengenakan sandal dan berdiri di luar gubug, dengan sangat tidak sopan, padahal ada Kyai Khasan disini. 

"Daripada sore-sore seperti ini kita gegeran urusan garis, dan papan inilah sumber permasalahan ini bisa muncul, sebaiknya papan ini saya bawa ke kantor kamtib pondok, untuk di amankan karena sudah menjadi sumber intoleran dan perpecahan umat."
"Kamu ndak takut saya bakar lagi rod?"
"Assalamualaikum yai! "

Murod ngacir membopong papan dengan tergopoh-gopoh, sedang Kyai Khasan cuma cekikikan melihat kelakuan Murod. 


*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay