Sesekali
memang kita harus menengok kebelakang seperti halnya kita berkendara, tidak
mungkin kita selalu sepaneng
memandang kedepan agar laju kendaraan menuju tujuan cepat sampai. Namun
dalan proses berkendara kita; motor misalnya, kita harus sering melihat spion
atau mungkin ada kalanya laju kita harus cepat atau pelan, di situ kita belajar
agar mampu mengontrol diri agar tepat dan terarah. Sesekali dalam berkendara
kita harus terjatuh agar tahu bagaimana sakitnya saat kita terjatuh, dan
setelah terjatuh kita tak lantas hanya duduk diam apalagi trauma dan takut
tak mau berkendara lagi. Di situ kita mesti bangkit dan mampu mengevaluasi
diri kita, apa yang salah dalam diri kita atau ada masalah dalam alat
berkendara kita.
Dan dalam kesempatan ini ingin sekali rasanya mem flashback satu diantara banyak komunitas
pecinta Mbah Nun khususnya di kabupaten Tegal, yang diwadahi dengan adanya
POCI MAIYAH. Awal berdirinya POCI MAIYAH tidak lain adalah karena adanya cinta
yang bersinergi dalam jasad yang berbeda. Suatu ketika Kang Samsul Hadi
memberanikan diri pada pertengahan Januari kira-kira tanggal 21 januari 2017
memposting status untuk membuat group Whats App
di group facebook "Sahabat Maiyah"Study kehidupan, Ngaji Bersama Cak Nun. Meskipun
dalam hati timbul keresahan-keresahan untuk memposting, akhirnya kang Samsul
dengan segala keberaniannya memberanikan diri untuk memposting status tersebut.
Di luar dugaan ternyata respon dari teman-teman sangat antusias, bahkan yang merespon tak hanya di sekitar wilayah Tegal Brebes saja ada sebagian dari wilayah Demak, Kudus, Jombang, Yogyakarta bahkan
ada yang dari luar Pulau Jawa. Seiring berjalannya waktu pada pertemuan perdana
yang bertempat di Golden Coffe yang
dihadiri Kang Samsul, Kang Ali Markemplu, Gus Fahmi, Gus Nahar dan Kang Reza
dari ba’da Ashar sampai menjelang Maghrib kemudian dilanjutkan sholat Maghrib
berjama’ah di Masjid Agung Slawi. Seusai sholat maghrib dilajutkan kembali
pertemuan di monumen GBN dan berlanjut hingga kedatangan kang Jibriel dan Mas pik.
Pertemuan pertama masih dalam lingkaran kegelapan dengan
lampu remang- remang sudut taman. Pertemuan kedua adalah klimaks sekaligus
masih menjadi rekor dengan kehadiran terbanyak. pertemuan ketiga adalah rahmat
turunnya hujan yang teramat sangat lebat sehingga tidak memungkinkan untuk masih
bertahan di kampus kebanggaan, kemudian dialihkan ke Rumah Haji. Ada satu
pelajaran yang membuat hati ini merasa malu sekaligus pukululan telak, karena
saat turunnya hujan yang sangat deras ada satu di antara sahabat poci yang
datang dengan menggunakan jasa ojek padahal hujan diiringi guntur dan
halilintar.
Dilanjut pada pertemuan ke empat yang kehadirannya bisa
dihitung dengan jari satu lengan saja kemudian saat itu juga tercetuslah Mother demi menumbuhkan kembali ghiroh yang sudah mulai surut. Pada pertemuan
kelima bertepatan di bulan Ramadhan dan ini awal poci menentukan tema dan awal
tema pada malam itu adalah Puasa Sepanjang Hidup yang dimotori oleh Kang Fahmi.
Pertemuan selanjutnya adalah pertemuan ke enam Halal Bi Halal yang bertema Salam-salaman adalah pertama kali poci menghadirkan
narasumber. Kemudian di pertemuan selanjutnya adalah pertemuan ke tujuh kita
kedatangan penulis buku Sampan Jiwa Kang Iqbal dan seorang Sastrawan Tegal Mas Apas
yang membuat pertemuan yang bertemakan Ketuhanan di Semak Belukar Indonesia
semakin berwarna.
Pertemuan ke delapan adalah pertemuan dengan tema Pintu Muhammad yang sebelumnya telah digodog kemudian dimatangkan di Gubug Sholawat
sekaligus awal pertama kali secara formal sahabat maiyah sambang di kediaman Om Zen Mehbob, meskipun sebelumnya sudah ada yang lebih dulu mencuri start. Disitulah tercetus tema pertemuan kedelapan adalah Pintu Muhammad.
Pada pertemuan ke sembilan adalah nobar Solusi Segitiga Cinta yang digagas Mbah Nun yang kehadirannya diramaikan oleh bidadari poci,
dan pertemuan selanjutnya adalah pertemuan ke sepuluh yang belum kita ketahui
alurnya mau seperti apa. Saya Cuma berharap pada
pertemuan selanjutnya menjadi pertemuan yang membekas keindahan bukan
argumentasi yang di bawa pulang.
*Miftahul Aziz