Kamis, 05 Oktober 2017

Goa Plato dan Raqiem Ashabul Kahfi (Murod-Alim #12)



"Alim bisanya nyimpen dongeng, cerita, atau hikayat yang mengandung hikmah, kalian minta dia cerita aja, and jangan ganggu tidur gua oke? "

Niat Maman dan Soleh ke kamar sebenarnya mau minjem Si Qoswah, tapi Murod tidak mengijinkan, alhasil Murod malah ngompor-ngompori dua anak itu untuku bercerita. 

"Adalah kisah, di sebuah negri antah berantah. Ada tiga orang anak dikurung di sebuah Gua yang cukup dalam menjorok kebawah, cahaya dari luar bisa masuk kedalam menyinari ruangan tersebut, dan terkadang membentuk siluet atau bayangan di dindingnya. 
Kaki dan tangan ketiga anak itu dirantai, tubuh mereka menghadap ke dinding, sehingga mereka tidak bisa melihat apapun di belakangnya, di atasnya. Tiga anak itu hanya bisa melihat ke dinding."
 
Maman dan Soleh menyimak dalam-dalam, cara mereka mendengar seolah kedua anak inu menjadi salah satu dari tiga anak yang dikurung itu, atau memang karena aku sangat dramatis menceritakannya. 

"Bertahun-tahun mereka hidup di situ, tanpa pernah tahu makhluk atau sesuatu apa yang mengirimi mereka makanan-minuman, suara-suara dari arah belakang mereka yang seolah seperti suara yang dimiliki ketiga orang itu. Sehingga satu-satunya kebenaran yang bisa mereka terima adalah bayangan pada dinding gua. Mereka hidup dengan konsep tersebut, berhari-hari, berminggu-minggu, bulan,  tahun dan seterusnya.
Dan di titik ini, jika kalian menjadi dari ketiga anak tersebut, terserah kalian akan menganggap bayangan itu sebgai teman, sahabat,  guru, penolong malaikat atau bahkan Tuhan sesuai dengan sebutan kalian,  dengan bahasa yang kalian miliki, terserah. Dengan segala sifat berbeda yang mereka miliki, dengan segala konflik yang mereka munculkan, terserah."

Soleh semakin mengerutkan kening sambil memijat-mijat kepalanya, sedang Maman masih membentuk huruf O pada bibirnya. 

"Kemudian, disini menariknya. Tiba-tiba mereka terbangun dengan rantai yang mengikat tangan dan kaki mereka terlepas, kalian tahu apa yang terjadi kemudian? "

Mereka berdua menggeleng. 

"Ketiga manusia itu melihat ada sebuah cahaya di belakang mereka, diatas lorong Gua tersebut. Muncul rasa penasaran dari salah satu mereka, ingin memanjat dan mengetahui apa itu, tapi kedua manusia lainnya melarang. -Jangan! kita bertiga harus tetap bersama, disini, jangan kemana-mana.- tapi satu orang itu tetap bersikeras ingin mengetahuinya."

Dan sekarang Soleh ikut membentuk huruf O sama seperti Maman. 

"Ditinggalah dua orang temannya, ia memanjat dan menyusuri lorong Gua itu, menuju cahaya, menuju cahaya. Ia sangat bersemangat, merangkak dan kemudia berlari kearah cahaya tersebut, dan tibalah ia di pintu Gua. Cahaya matahari terlalu silau untuk dilihat, matanya membutuhkan beberapa menit untuk mampu melihat apa yang bisa ia lihat. Ternyata ia berdiri diatas sebuah bukit, yang tentu saja dia tidak tahu jika itu bernama bukit. Dimana persis di bawah sana ada sebuah taman dengan beraneka bunga, pohon-pohon, sungai dan sebuah desa. Ia melihat makhluk-makhluk yang seperi dirinya, dengan pakaian aneh berwarna-warni tidak seperti yang ia kenakan. Ia beridiri lama menatap desa tersebut, kemudian berbalik melihat pintu gua, tahu apa yang terjadi? "

Maman menarik nafas panjang.

"Ia kaget melihat bayangan di dinding belakangnya, ia bersujud menundukan wajahnya, tapi bayangan itu kemudian hilang. Ia berdiri, kaget, bersujud lagi, hilang, berdiri lagi, kaget, bersujud lagi, berdiri lagi dan menyadari bahwa bayangan itu tidak lebih muncul dari dirinya sendiri. Dan saat itu ia menemukan sebuah kebenaran baru."

Maman dan Soleh tersenyum puas, tapi kemudian Murod yang sedari tadi tenang tiba-tiba bangun, menyibak sarungnya dan memotong.

"Mau kamu teruskan Lim? "
"Engga Rod, udah itu aja. Emang ada terusannya?"
"Ada, mau aku ceritakan? "

Aku menggeleng, tapi Maman dan Soleh menunjukan ekspresi protes.

"Terusin cong, gua tau lu pura-pura tidur, nanggung"
"Iya kang Murod, mereka akhirnya selamat? ketiga anak itu hidup bersama orang desa di bawah bukit? "

Murod menggeleng dan menarik nafas panjang.

"Tapi kalian jangan kecewa, itu cuma sebuah cerita,  sebuah alegori yang di karang seorang filsuf yunani klasik bernama Plato. "

Maman dan Soleh memastikan kebenaran apa yang di katakan Murod padaku, aku mengangguk. 

"Si Pemuda Pemilik Kebenaran Baru itu kegirangan, dia merasa menemukan sesuatu yang luar biasa, bahwa yang ia yakini bersama kedua teman-temannya selama ini salah. Dia kembali memasuki Gua, ingin segera mengabarkan kebenaran yang ia temukan kepada dua temanannya itu. Tapi naas, setelah dia menceritakan kebenaran yang ia temukan, teman-temannya tidak mempercayainya, pemahaman mereka kolaps, mereka belum siap menerima kebenaran itu. Dan kebingungan-kebingungan itu membuat dua temannya marah kepada Si Pemilik Kebenaran, dan ia di bunuh,  oleh kedua temannya, atas kebenaran yang ia bawa."
BRUAAAK!!!
"Asu, jangan ngagetin gua Man, gile jantung gua mau copot bangke! lemari gua bisa jebol kampret! "

Maman menggebrak lemari pakaian Murod tiba-tiba, semua kaget, tapi ekspresi Maman berkata lain. Raut mukanya mengisyaratkan kesedihan yang mendalam, dan matanya sudah ba-sah.

"Lu bo'ong Cong. Ap..ap.. apaanya yang cerita hikmah? Gimana bisa si Pe..pemu...pemuda yang justru membawa kebenaran itu malah di bunuh?!! buk..buk.. bukannya dia ingin menyelamatkan teman-temannya dan men..menjuk... menunjukan apa yang ada di luar Gua itu"

Entah kenapa Maman bisa sedramatis itu, mungkin cerita itu menyentuh titik terlemah Maman atau sesuatu traumatis dari pengalaman hidupnya. Soleh segera menenangkan Maman yang keburu menangis sesenggukan, dan aku juga tidak mengira cerita Gua Plato ini malah ternyata setragis itu. 

"Cengeng amat lu Man, terus lu mau ngapain kalo ga percaya? mau bunuh gue? kaya dicerita tadi? "

Aku dan Soleh melotor ke arah Murod yang sekarang malah kridong sarung. 

"U know what Man?"
"Ra usah keminggris Rod, enek aku ngrungoknone"
"Lho? karepku si Lim. Tapi beberapa hal yang pasti, kebenaran sejati hanya milik Allah. Semua bangsa di dunia, semua agama-agama di dunia, terserah mereka, akan mengklaim bahwa kisah Ashabul Kahfi adalah mereka yang paling tahu, yang paling benar, yang mereka gubah sesuka mereka, yang mereka sambung-sambungkan dengan gunung-gunung, kota-kota, atau nama daerah mereka tinggal, terserah mereka.
Padahal Allah Azza wa Jalla abadikan kisah itu di Al Qur'an, dan Kekasih kita Rosulullah Muhammad menceritakannya pula, maka hal yang paling pasti, kebenaran adalah cahaya di hati dan energi di akal fikiran. Maka ini berlaku atas mereka yang merasa paling benar, atas siapapun, bahwa Barang siapa yang merasa memiliki kebenaran namun berbuat dzolim kepada dirinya bahkan lainnya, ia tidak lebih baik dari raqiem yang menjaga para ashabul kahfi tersebut, bahkan tidak lebih mulia dari dua kaki asu itu. PAHAM MAN? "
"Paham cong"
"Nah, sekarang duduk"
"Kan aku sudah duduk"
"Kalo gitu jongkok!!"
"Maksudnya? "
"Man, berguling"
"KUTU kupret, gue manusia cong"
"Bukan kutu"
"Jangkrik!!! ".
"Asu bukan Jangkrik"
"Weddus"
"Wedusmu asu man"
"Asuu"
"Nah itu udah bener"
"BODO AMAT!!!  MATI AJA LU!!!"


*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay