Senin, 23 Oktober 2017

MERINTIS


Sesekali memang kita harus menengok kebelakang seperti halnya kita berkendara, tidak mungkin kita selalu sepaneng memandang kedepan agar laju kendaraan menuju tujuan cepat sampai. Namun dalan proses berkendara kita; motor misalnya, kita harus sering melihat spion atau mungkin ada kalanya laju kita harus cepat atau pelan, di situ kita belajar agar mampu mengontrol diri agar tepat dan terarah. Sesekali dalam berkendara kita harus terjatuh agar tahu bagaimana sakitnya saat kita terjatuh, dan setelah terjatuh kita tak lantas hanya duduk diam apalagi trauma dan takut tak mau berkendara lagi. Di situ kita mesti bangkit dan mampu mengevaluasi diri kita, apa yang salah dalam diri kita atau ada masalah dalam alat berkendara kita.

            Dan dalam kesempatan ini ingin sekali rasanya mem flashback satu diantara banyak komunitas pecinta Mbah Nun khususnya di kabupaten Tegal, yang diwadahi dengan adanya POCI MAIYAH. Awal berdirinya POCI MAIYAH tidak lain adalah karena adanya cinta yang bersinergi dalam jasad yang berbeda. Suatu ketika Kang Samsul Hadi memberanikan diri pada pertengahan Januari kira-kira tanggal 21 januari 2017 memposting status untuk membuat group Whats App  di group facebook "Sahabat Maiyah"Study kehidupan, Ngaji Bersama Cak Nun. Meskipun dalam hati timbul keresahan-keresahan untuk memposting, akhirnya kang Samsul dengan segala keberaniannya memberanikan diri untuk memposting status tersebut.

            Di luar dugaan ternyata respon dari teman-teman sangat antusias, bahkan yang merespon tak hanya di sekitar wilayah Tegal Brebes saja ada sebagian dari wilayah Demak, Kudus, Jombang, Yogyakarta bahkan ada yang dari luar Pulau Jawa. Seiring berjalannya waktu pada pertemuan perdana yang bertempat di Golden Coffe yang dihadiri Kang Samsul, Kang Ali Markemplu, Gus Fahmi, Gus Nahar dan Kang Reza dari ba’da Ashar sampai menjelang Maghrib kemudian dilanjutkan sholat Maghrib berjama’ah di Masjid Agung Slawi. Seusai sholat maghrib dilajutkan kembali pertemuan di monumen GBN dan berlanjut hingga kedatangan kang Jibriel dan Mas pik. 

            Pertemuan pertama masih dalam lingkaran kegelapan dengan lampu remang- remang sudut taman. Pertemuan kedua adalah klimaks sekaligus masih menjadi rekor dengan kehadiran terbanyak. pertemuan ketiga adalah rahmat turunnya hujan yang teramat sangat lebat sehingga tidak memungkinkan untuk masih bertahan di kampus kebanggaan, kemudian dialihkan ke Rumah Haji. Ada satu pelajaran yang membuat hati ini merasa malu sekaligus pukululan telak, karena saat turunnya hujan yang sangat deras ada satu di antara sahabat poci yang datang dengan menggunakan jasa ojek padahal hujan diiringi guntur dan halilintar.

            Dilanjut pada pertemuan ke empat yang kehadirannya bisa dihitung dengan jari satu lengan saja kemudian saat itu juga tercetuslah Mother demi menumbuhkan kembali ghiroh yang sudah mulai surut. Pada pertemuan kelima bertepatan di bulan Ramadhan dan ini awal poci menentukan tema dan awal tema pada malam itu adalah Puasa Sepanjang Hidup yang dimotori oleh Kang Fahmi.

            Pertemuan selanjutnya adalah pertemuan ke enam Halal Bi Halal yang bertema Salam-salaman adalah pertama kali poci menghadirkan narasumber. Kemudian di pertemuan selanjutnya adalah pertemuan ke tujuh kita kedatangan penulis buku Sampan Jiwa Kang Iqbal dan seorang Sastrawan Tegal Mas Apas yang membuat pertemuan yang bertemakan Ketuhanan di Semak Belukar Indonesia semakin berwarna.

            Pertemuan ke delapan adalah pertemuan dengan tema Pintu Muhammad yang sebelumnya telah digodog kemudian dimatangkan di Gubug Sholawat sekaligus awal pertama kali secara formal sahabat maiyah sambang di kediaman Om Zen Mehbob, meskipun sebelumnya sudah ada yang lebih dulu mencuri start. Disitulah tercetus tema pertemuan kedelapan adalah Pintu Muhammad.

            Pada pertemuan ke sembilan adalah nobar Solusi Segitiga Cinta yang digagas Mbah Nun yang kehadirannya diramaikan oleh bidadari poci, dan pertemuan selanjutnya adalah pertemuan ke sepuluh yang belum kita ketahui alurnya mau seperti apa. Saya Cuma berharap pada pertemuan selanjutnya menjadi pertemuan yang membekas keindahan bukan argumentasi yang di bawa pulang.


*Miftahul Aziz