Jumat, 06 Oktober 2017

Solusi Segitga Cinta

Hujan belum benar-benar reda, kemacetan tak bisa dihindari, pengendara  motor berebut celah diantara deretan mobil berpenumpang yang sama lelah. Sepatah kata tak mampu diucap, menjelma klakson bersautan. Di trotoar ramai orang lalulalang menghindar hujan, jangankan saling menyapa, sesungging senyumpun tak ada, apalagi tatapan mata, tubuh sudah terlalu payah, batin semakin hampa.

“Terkadang kita lupa. Kehidupan yang kita jalani bisa menjadi seperti ini.

Seorang ibu muda pasrah mendekap putrinya, setelah dengan sisa tenaganya ia gagal, mempertahankan tas miliknya dari jambretan seorang pemuda. Seorang bapak mengais tong sampah, berharap menemukan apapun yang bisa ia bawa pulang untuk anak-istrinya. Genangan sungai keruh dipenuhi sampah, menambah betapa tak layak huninya sebuah tempat tinggal. “Bawa aku pergi dari sini” bisik gadis kecil seakan mewakili isi kepala seluruh penduduk kota.

Tuhan entah dimana??

Tuhan sedang tidak bersama dinginnya air hujan yang mengguyur tubuh, tidak di sela-sela kemacetan, tidak pada langkah kaki, senyum dan tatapan manusia, tidak bersama seorang ibu muda yang mendekap erat putrinya, tidak pula bersama penjambret dan sampah genangan sungai keruh.

TUHAN TIDAK ADA DI SEANTERO KOTA.

Rombongan manusia berbusana putih berduyun-duyun menyisir jalan, mata nanar, tatapan tajam,  bentrok dengan manusia-manusia lain berseragam,  sedang bocah laki-laki kecil semakin erat merangkul bapaknya,  memekik ketakutan. Mereka bertakbir,  bersholawat, menggema di seluruh gang-gang kecil menunjukan kepada dunia hanya mereka orang yang layak di kasihi oleh Tuhan dan Muhammad Solallahu 'alaihi  wassalam adalah mereka yang pantas memilikinya, benarkah.

Entah dimana Rosulullah?

Si Kaya mentereng dengan gleger rumah besarnya,  mobil-mobil mewahnya, pendidikan tingginya, merasa sebagai ras tertinggi dintara rangkai rantai makanan ma-nu-sia. Padahal Si Miskin syahdu terus mengumandakan adzan dalam lima waktunya,  ia bercerita lewat speaker-speaker tempat peribadatan yang kamar mandinya jauh lebih mewah ketimbang kamar yang ia tiduri. "Hayya 'alal falaah,  hayya 'alal falaah,  hayya 'alal falaaah" mereka istiqomahi tapi entah kemanangan seperti apa yang mereka tuju,  "Wa asyhadu anna Muhammadar rosulullah." dan kesaksian-kesaksian atas Muhammad yang mereka kasihi,  padahal batal pernikahannya,  istrinya pergi entah kemana,  anaknya hilang di trotoar perempatan jalan,  ia di hajar massa hingga koma tanpa tahu apa sebabnya,  ia disudutkan fitnah atas pemukulan padahal tidak pernah ia lakukan, ia diasingkan di keluarganya karena sekarang tak memiliki pekerjaan,  tapi ia tetap bercerita lewat speaker-speaker mushola atas lima waktunya.

Muhammad tidak ada di pojokan-pojokan bilik penderitaan.

Manusia kembali menjadi manusia,  tanpa bisa memilih akan lahir seperti apa,  dengan fisik bagaimana,  dari keluarga seperti apa, dari kekayaan yang mana,  atau tidak memiliki sepeser patimura sama sekali.
Dari rahim menuju pintu dunia,  dari bayi menjadi bocah,  bocah menjadi remaja,  remaja menjadi dewasa dan semakin tua,  semakin tua. Manusia kembali menjadi manusia,  saat dilemparkan jauh ke lubang sumur yang tak berdasar dan saat itulah ia mulai mengerti bahwa ia mulai tiada,  muncul dari ketiadaan menuju ketiadaan. Ia menemukan Tuhannya.

Tidak di gang-gang kecil,  tidak seantero kota,  tapi di dalam dirinya. Bersemayam didalam hati,  mengalir pada setiap pembuluh darah,  detak jantung,  nafas dan terbukalah setiap huruf jalalah ada di detail tulang tubuhnya,  urat pembuluhnya dan setiap rangkai DNAnya,  Allah Allah Allah,  tentang kemana, dimana dan akan kemana ia menuju.  Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Manusia kembali menjadi manusia,  ketika ia menderngar bisik LAQOD JAA AKUM ROOSUWLUN MIN ANFUSIKUM AZIIZUN ALAIHI MAA ANITTUM HARII-SHUN ALAIKUM BILMU’MINIINA RAUUFUR RAHIIM. :
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. (128)
Lalu bagimana mungkin apa yang dideritanya tidak Rosulullah rasakan, kepayahannya,  ujiannya,  dunia,  dunia,  dunia.  Bisik itu kembali berusara, FAIN TAWALLAU FAQUL HASBIYALLAAHU LAAILAAHA ILLAA HUWA ALAIHI TAWAKKALTU WAHUWA RABBUL ARSYIL ADZHIIM. :
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung”. (129)
Cintanya memuncak,  mengubun-ubun melintasi seluruh cakrawala semesta,  melintang bujur garis menuju Allah,  Allah meneruskannya langsung menuju titik Muhammad sebgai pintunya dan kembali kepadanya sebagai hamba mewujud segitiga cinta,  dimana bulatan-bulatan masalah dunia tak menyentuh sudut segitiganya sama sekali, dan tanpa sadar ia berikrar :

"Jikapun dunia meletakan matahari digenggaman tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku,  agar aku meninggalkan keyakinanku. Sungguh sampai matipun tidak akan kutinggalkan".

Oleh : Lingkar Gagang Poci


Pengantar Forum Majelis Masyarakat Maiyah POCI MAIYAH Oktober 2017