Reportase Poci Maiyah
Februari 2020
Oleh: Lingkar Gagang
Poci
Dalam kitab “Bidayah al-Hidayah” karya Imam Abu Hamid al-Ghazali. Ada hal yang sangat menarik dan masih sangat relevan dengan situasi kehidupan kita hari ini. Imam al-Ghazali mengatakan :
“Janganlah kau memvonis syirik, kafir atau munafik terhadap seseorang ahli kiblat (orang yang masih shalat menghadap arah ka’bah). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia, hanyalah Allah SWT. Maka, janganlah kau ikut campur (intervensi) dalam urusan hamba Allah dengan Allah SWT. Ketahuilah, bahwa pada hari kiamat kelak kau tidak akan ditanya: “mengapa kau tidak mau mengutuk si Anu? Mengapa kau diam saja tentang dia?”
Bahkan
andaikata pun kau tidak pernah mengutuk Iblis sepanjang hidupmu, dan tidak
menyebutnya sekalipun, kau pun tidak akan ditanyai dan tidak akan dituntut oleh
Allah nanti di hari kiamat. Tetapi jika kau pernah mengutuk seseorang (makhluk
Allah), maka kelak kau akan dituntut (oleh Allah SWT)”.
Mbah Nahar mengawali Sinau Bareng Poci Maiyah
dengan penjelasan dari Kitab Bidayatul Hidayah dalam tema kali ini ‘Munafik’.
Setelah dibuka dengan alfatihah dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, Kang
Mustofa sebagai moderator mengajak sedulur-sedulur Poci Maiyah untuk
bertadarus tema.
Pertemuan sinau bareng kali ini, Jumat malam,
7 Februari 2020. Bertempat di Gedung Rakyat, Slawi. Berbeda dari biasanya, yang
bertempat di Monumen GBN. Meski hujan lamat-lamat, namun jamaah yang berdatangan
semakin khidmat. Di depan mereka, sudah duduk Kang Mus yang akan memoderatori
sinau bareng sampai tengah malam nanti. Di sampingnya, sudah duduk menemani
Kang Mus, ulama besar Poci Maiyah, Mbah Nahar. Menyapa sedulur-sedulur yang
datang malam itu, Mbah Nahar mengawali dengan nasihat dari Imam Al Ghazali. Disusul
dengan cerita Kang Moka tentang seorang atlet olahraga. Atlet itu telah
memenangkan banyak perlombaan tingkat Nasional dan Asia. Namun kecewa, karena
merasa tidak dihargai. Tidak mendapat dukungan oleh pemerintah. Akhirnya dia memutuskan
untuk berhenti menjadi atlet. Membakar seluruh medali yang pernah
didapatkannya, karena rasa kecewa tersebut. Suatu saat dia diundang pada sebuah
acara, untuk menjadi narasumber dan motivator kepada para pemuda, namun dia
menolak dengan alasan “Saya tidak berhak memberikan sebuah motivasi kepada
mereka, karena saya sendiri telah gagal,” ia merasa telah gagal meyakinkan
dirinya sendiri, untuk tetap menjadi atlet. Meskipun dia telah memenangkan
banyak perlombaan, dia mengetahui dirinya telah gagal dan mengerti jika orang
gagal tidak berhak memberikan motivasi terhadap orang-orang yang ingin sukses.
Dari sini Kang Moka menjabarkan pelajaran yang didapatkannya. Menurutnya, orang
seperti itulah yang merupakan ciri-ciri orang yang tidak munafik. Karena dia
mengerti dirinya telah gagal, lantas dia merasa tidak pantas baginya untuk
memberikan motivasi kepada seseorang. Orang yang tidak munafik adalah orang
yang mengerti batas dan peranannya.
Lalu disusul pertanyaan menarik dari Kang
Ajat, “Apakah ingkar janji termasuk munafik?” sebuah pertanyaan yang sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan tersebut langsung mendapat
respon dari Kang Farid. Menurutnya, yang berhak menganggap munafik atas diri
seseorang itu hanya Allah. Manusia tidak memiliki hak untuk menuduh seseorang
adalah munafik. Nabi Muhammad hanya memberikan simulasi, berupa tanda-tanda
orang munafik namun tidak langsung menuduhnya. Mbah Nahar selaku penyaji, ikut
menambahkan apa yang telah dikemukakan oleh Kang Farid. Dia mengingatkan jika
seseorang telah mengetahui ciri-ciri orang munafik, maka pengetahuan tersebut
harus diperlakukan untuk dirinya, sebagai bahan untuk muhasabah. Mbah Nahar
mengkutip sebuah Hadis Nabi yang mengemukakan salah satu ciri orang munafik
adalah:
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Artinya “Jika berjanji diingkari”
Dari hadis ini bisa kita bedah bersama pengertiannya.
Karena ingkarnya seseorang atas sebuah janji, juga memiliki alasan tersendiri yang
terkadang tidak ia katakan. Dicontohkan semisal Yi Fahmi memiliki uang 5jt. Lalu
Kang Ajat meminjam uang 5ribu kepada Yi Fahmi, dan berjanji akan membayarnya
minggu depan. Setelah minggu depan, Kang Ajat tidak melunasi utangnya. Yi Fahmi
menagih uang yang dipinjamkan kepada Kang Ajat. Secara rasional, perlakuan Yi
Fahmi untuk menagih uang kepada Kang Ajat adalah benar adanya. Memang uang itu
merupakan miliknya, namun secara sosial ini tidak baik. Mengingat kondisi Yi
Fahmi yang masih memegang uang jutaan, namun masih memikirkan uang 5ribu yang
dipinjam Kang Ajat. Dari Kang Ajat sendiri, secara rasional tidak melunasi
utang pada hari yang telah dijanjikan adalah salah. Namun jika dalam waktu itu
kondisi Kang Ajat memang sedang tidak memiliki uang sedikitpun, sehingga tidak
bisa membayar uatang sesuai dengan yang telah ia janjikan, apakah itu merupakan
kesalahannya? dan ia termasuk kedalam golongan orang munafik? Ini menjadi
pertanyaan besar karena mungkin kemunafikan juga tidak bisa langsung
diartibutkan kepada seseorang, tanpa tau kejelasan yang sebenarnya. Ini
sebabnya Mbah Nahar mengatakan “Untuk urusan munafik itu masalah dia pribadi
dengan Allah” jadi orang lain tidak berhak menuduhnya munafik. Mbah Nahar juga
mengatakan kepada sedulur-sedulur Maiyah, untuk mengerti dan sadar akan dirinya
sendiri. Jika merasa ingkar janji, maka jangan sering menjajikan sesuatu kepada
orang lain. Makanya di Islam diajarkan untuk mengucapkan InsyaAllah (Semuanya
tergantung ketentuan Allah). Namun pernyataan InsyaAllah harus didasarkan pada
niat yang bulat, keinginan untuk menepati yang dikatakannya harus 99% dan
ketentuan Allah itu 1% . Dengan begitu, kamu akan dipercaya oleh orang lain. Bukannya
menjadikan ucapan IsyaAllah sebagai sebuah alasan untuk menolak sesuatu dengan
cara yang halus.
Tak lama kemudian, Mas Hamzah mengajukan
pertanyaan mengenai mukadimah. Hal yang ditanyakan adalah kesambungan antara
tema munafik dengan ayat al-Hasyr ayat 13 yang terlampir dalam mukadimah. Pertanyaan
ini langsung direspon oleh Kang Farid. Ayat al-Hasyr ayat 13 yang berbunyi:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
Artinya :"Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada beraqal."
Memiliki keterkaitan dengan tema malam ini,
karena ayat ini menceritakan sekelompok orang yang berkumpul, namun hatinya tak
saling terhubung. Ini sama saja mereka berpura-pura senyum dihadapan orang,
namun ternyata dalam hatinya sedang marah terhadap orang tersebut. Mbah Nun
pernah menuliskan dalam bukunya jika ada sebuah burung yang menjadi akar kata
dari kata munafik, intinya burung tersebut kalau ada sesuatu yang
mengkhawatirkan atau menakutkan, dia akan menyembunyikan kepalanya. Ini
merupakan sebuah simbol, jika kemunafikan adalah orang yang menutup-nutupi kebenaran.
Dan pertanyaan lain dari Mas Hamzah lagi
“Dalam kitab Syu’abul Iman, menyatakan jika munafik merupakan penyakit yang
sulit disembuhkan, lantas bagaimana cara mengobatinya?” dari pertanyaan ini
Mbah Nahar menjawab “Setidaknya jika sulit disembuhkan maka bisa diminimalisir.”
Dari beberapa pertanyaan yang telah disinauni
bersama, Gus Lu'ay manyatakan jika ingin mempelajari munafik, maka kita harus
tahu level-level kemunafikan. Dia membagi level-level kemunafikan tersebut
menjadi tiga level dengan bahasa yang agak kekinian. Level pertama, Newbie.
Level kedua, Intermedia Tengah. Level ketiga, Hard. Dari tingkatan itu,
setiap orang dapat mendiagnosa. Tanda-tanda kemunafikan dalam dirinya itu dalam
level yang mana. Diagnosa ini penting, seperti yang disampaikan Mbah Nahar
sebelumnya, jika tak bisa disembuhkan, setidaknya diminimalisir.
Makin malam, sinau tema munafik ini makin
hangat. Ditambah humor-humor dari Mbah Nahar, Kang Bekhi, dan Kang Mus--membuat
seakan-akan klaim munafik dari orang lain itu bukan sesuatu yang menakutkan.
Dan memang demikian, dalam sinau bareng ini tak sedikit pun, baik pegiat
ataupun sedulur poci maiyah yang datang, menganggap sesama orang beriman itu
munafik. Entah itu keluarga, sahabat, atau bahkan orang-orang yang memang belum
tersentuh cahaya hidayah di dalam hatinya. Seperti guyon dari Gus Lu’ay
di ujung responnya, “Tetap bergembira meski hidup kita tak berguna.”
Pertanyaan terakhir nampaknya menjadi formula
dalam sinau bareng malam itu, yaitu, “Apa bahayanya jika seseorang munafik di
dalam perjuangan kita?” selama kurang lebih empat jam sinau bareng, mungkin closing
pertanyaan inilah yang menjadi semacam rambu-rambu untuk kita semua. Bahwa,
jika memang ada seseorang yang mampu mengetahui seseorang dalam kelompoknya itu
adalah munafik, maka itu benar-benar akan memecah belah kekompakan. Persatuan. Sebagai
manusia yang bukan nabi, mungkin itu adalah ujian terberat dalam berjamaah.
Pertama, kita satu sama lain tak bisa menghakimi siapa saja yang bahkan
memiliki tanda-tanda munafik, sebagai orang menafik. Karena itu adalah hak
Allah dan Rasulullah. Kedua, tapi jika itu dibiarkan, maka perjuangan akan
menghadapi kendala yang besar. Ibarat mobil, jika ada bagian dalam mobil yang
rusak dan tak bisa diperbaiki atau diganti, maka perjalanan pun tak lancar lagi.
Lalu, bagaimana bisa kita mengganti atau memperbaiki jika yang tahu hanyalah
Tuhan? Klaim munafik jelas itu hanya Allah dan Rasulullah saja yang tahu. Tapi
tanda-tandanya, setiap orang punya potensi yang sama. Selamatkan manusianya. Pancarkan
cahaya ilahi, pada setan-setan yang bersembunyi dibalik setiap sifat kita.