Sabtu, 29 Juli 2017

Bagi Rata dan Jalan Sunyi Yang di Ramai-ramaikan.

Gelombang
"Bagi Rata", itulah tema yang diusung oleh ntah siapa, dengan masing-masing mu'min memiliki jiwa kejenakaan wali (kekasih TUHAN) untuk bercengkrama dengan Allah di dalam dirinya. Tidak ada yang bisa menjamin keter-benar-an persepsi definisi, meski terlibat secara langsung terhadap dimensi yang ia geluti (bahasane angel men ya?), bagaimana tidak, apa yang dibagi, apa yang akan diratai, apa yang akan dibagi rata? antor? kopi? ilmu? atau sekedar batuk dengan notasi E kres minor berbunyi "EMIEEE". Namun itulah paseduluruan, kita berbagi roso tan kinoyo tan kiniro, yang penganut paham matrialistik akan sangat sulit memahami guyon-guyon orang Indonesia, makan sudah susah, hidup punya hutang, posisi jelas tidaknya, tapi kumpul bisa tertawa bersama, mereka menganggap itu absurd, terlalu naif, sedang kami penduduk (negeri) Indonesia menganggap bahwa itulah kekayaan terbesar kami, "Aku ra Pate'en" dawuh Kang Masinu.


Kemudian, setelah jama'ah menempuh perjalanan luar biasa, dari arah yang berbeda-beda dari syu'uban wa qobail yang berbeda-beda pula, menuju kediaman jawara nomor satu poci maiyah yang paling istiqomah, Kang Aziz.

Syu’ub dan Qaba’il tidak harus bermakna hanya suku atau tribe dan bangsa atau rumpun bangsa. Penduduk negeri Benelux disebut tiga bangsa karena negaranya pun tiga, padahal sesungguhnya mereka satu qabilah, atau satu bangsa, atau bahkan satu suku atau sub-bangsa. Semua itu sangat relatif, dan bagaimana pemetaan ciptaan Tuhan itu dipahami tidak dengan mempelajari konsep dasar dari Tuhan, tetapi disimpulkan berdasarkan paham-paham temporer ilmu manusia, yang besok dibatalkan sendiri, lusa dilanggar sendiri, seminggu berikutnya diingkari, dibantah dan dikutuk sendiri. (Daur 22)

Disambung dengan guyon-guyon bebrayan; "Betapa ketersesatan" adalah hal yang syahdu, untuk ditertawakan dengan sikap tawadhu kepada si tuan rumah. Ada yang tersesat karena Allah mengkaburkan ingatannya tentang warna-warna, ada yang tersesat karena lugunya membaca peta, ada yang tersesat karena banyaknya nama-nama yang sama, ada yang tersesat karena mengikuti orang yang sedang tersesat juga. Bukankah menempuh separuh jalan bukan berarti salah jalan? seperti halnya manusia yang berlari kencang memasuki rimba bernama dunia ia akan tersesat, namun justru semakin tersesat dia ketika memilih berhenti, terus!!! dan segeralah keluar dari rimba yang kau fikir kau tersesat didalamnya. Dan begitulah maiyah, jalan maiyah tidak selalu linier, ia bisa menjadi zig-zag, rally panjang, bahkan spiral. Tinggal bagaimana hati warga jannatul maiyah menikmati Kemesraan-Kemesraan Tuhan yang sedang diciprati padanya.

Majelis diawali dengan tiga pembuka (al fatihah) dirajut lagi dengan suroh al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas kemudin ditutup simpulnya dengan hadiyah fatihah kepada Mbah Nun.

Betapa ternyata kami sangat menyayangi Mbah Nun dengan keterbatasan-keterbatasan yang kami miliki, poci maiyah bukan fanatis Cak Nun, namun kami rela di "tonyol" Cak Nun jika kami keliru ungkap Kang Isal.

Dan lagi-lagi poci maiyah masih sangat mencingis mengenal sosok Mbah Nun seutuhnya, tentang siapa beliau, apa-apa saja sepak terjangnya, bagaimana beliau berperan di banyak bilik-bilik bangsa di Indonesia, hingga beliau menghadapi era reformasi dan seterusnya, kami masih sangat buta, namun disitulah kami belajar mengenal Simbah bangsa ini lebih dalam lagi.

Gelembung
“wala tansa nashibaka minad-dunya“.
Gelembung pertama dalam bahasan (rada) serius Poci Maiyah, bahwa janganlah engkau melupakan bagianmu di dunia. Kang Mocka sangat antusias merefleksi ilmu-ilmu hidupnya, tentang proses usaha diibaratkan seperti benih-benih tanaman: ada yang tidak perlu disirami bisa tumbuh, ada yang harus disirami baru tumbuh, ada yang terus disirami lama tumbuhnya, ada yang disirami tidak bisa tumbuh karena tanahnya tandus, ada yang di gadang-gadang tidak laku-laku, ada yang laku tanpa disangka-sangka, ada yang pusing jika hujan datang, karena penjual pembeli langganan pasti hilang, ada penjual martabak yang lebih memilih berhujan-hujanan mendorong gerobaknya, karena mengerti pranotomongso: -jika hujan tiba, maka orang akan tidak begitu mudah mencari makanan, tidak seperti terang, jika hujan datang maka orang-orang akan datang karena perut mereka keroncongan, cari yang panas-panas selagi hawa dingin masih membekas. 
Dan kami memahami bagian terakhir itu dengan ungkapan: "Gusti, masa aku wis udana-udanan, nggo maisyah golet rejeki halal, makani anak bojo, njenengan ora melas si?"
Bahkan mengkategorikan budaya masyarakat memiliki empat jenis pendapatan:
  1. Gaji harian: segala jenis pendapatan yang biasa diterima oleh para pekerja kasar hingga entertainer 
  2. Gaji mingguan: segala jenis pendapatan yang biasa diterima oleh buruh pabrik, guru mengaji mingguan hingga khotib jum'at. 
  3. Gaji bulanan: segala jenis pendapatan yang biasa diterima oleh karyawan industri hingga pegawai pemerintah. 
  4. Rizkun min haytsu layah tasib: segala jenis pendapatan yang diterima oleh mereka yang mengingat TuhanNya penuh mesra dan memandang manusia dengan penuh cinta.
Lalu muncul pertanyaan, "mana yang akan kita pilih?" sedang jama'ah lainnya menjawab, "bukankah keempat-empatnya bisa Allah anugrahi ke kita? Bulanan sebagai pegawai dapat, mingguan bisa diterima dari sodaqoh pengurus dalam khutbah jum'at, harian diperoleh dari dagang kecil-kecilan di rumah, dan dari arah yang tidak disangka-sangka diperoleh ntah bagaiamna ceritanya, wong tidak disangka-sangka ko mau dikira-kira. 

"Jamaah Maiyah memacu “wala tansa nashibaka minad-dunya“, memperluas dan memperkaya wilayah-wilayah ijtihad keusahaannya, kreativitas produktifnya, inovasi dan invensinya, berakar dan berpijak pada fadhilah atau bakat atau kecenderungan masing-masing.
Tidak ada batas bagi ijtihad usaha itu: tanah, logam, bunyi, huruf, angin, energi, maya, rupa, dan segala kemungkinan rezeki dari Allah. Termasuk memaiyahkan kekayaannya, harta bendanya, energi dan spirit rohaniahnya." (Bertanam Kesuburan di Kebun-kebun Maiyah, rubrik : tajuk) 

Gelembung-an
Selanjutnya Poci Maiyah mentadabburi fenomana remaja-remaja dijalan-jalan besar, dengan kostum ekspresif mereka, warna-warna rambut mereka.
Mulailah Kang Masinu menjabarkan apa itu punk. Bahwa punk adalah salah satu aliran musik underground diantara rantai musikal bawah tanah tersebut, yang kemudian musik itu mewujud menjadi komunitas populis. Konsep anti kemapanan yang punk bawa adalah kreativitas tanpa embel-embel; stencil, sablon, mencipta musik. Punk tidak boleh  ngartis, punk bukan seni yang menumpang pada label-label industri. Punk harus tetap merdeka dengan kemerdekaannya sendiri.

Disini kemudian menjadi semakin menarik, sekilas kami melihat bukankah itu hampir mirip dengan jalan para zuhudin, orang wara'/wira'i yang tidak ingin terikat dengan dunia. Lha wong mereka menempuh jalan sunyi juga, dengan persepsi faham mereka dan dengan ekspresi khas yang mereka tunjukan pada dunia tentunya. 

Namun jelas sangat berbeda, serupa tidak berarti sama, anatra krupik mie, krupuk udang, dan krupuk antor juga berbeda, bahkan kerupuk dengan keripik pun berbeda.
Dan juga bukankah ini kemudian ditemukan di sodara-sodara kita, kebingungan akan persepsi-persepsi? meskipun kebenaran sejati hanya akan diketahui setelah mati.

Berulang kali Mbah Nun menyampaikan tentang Wudhu, bahwa apa yang dibersihkan, disucikan adalah martaban manusianya. "Opo yo nek ngentut silitmu sing dibasuh? Opo'o ko malah wajahmu?"

Mereka maupun kita berusaha menghadapi hujan, ada yang dengan jalan melawannya, ada yang dengan jalan menerimanya, ada yang tidak peduli sama sekali dengannya.

"Kalau tidak ada yang seolah tak ada, kalau segala sesuatu indikator kenyataannya hanya panca indera, kalau yang bisa dilihat didengar dan diraba adalah satu-satunya fakta, kalau yang tak terlihat tak terdengar tak teraba volume atau jumlahnya atau ranahnya hanya sangat sedikit dibanding yang terlihat terdengar teraba, dan bukan sebaliknya, maka hujan deras harus mengakibatkan basah kuyup.

Bahkan Tuhan tidak hanya menciptakan langit yang berjumlah tujuh. Apakah Tuhan tidak Akbar sehingga kesanggupan penciptaannya hanya tujuh lapis langit. Sedangkan di setiap langit terkandung ketidakterbatasan yang tak terbatas. Jangankan sekedar peta antara terbatas dengan tidak terbatas. Sedangkan tak terbatas itu sendiri jumlahnya tak terbatas." (Daur 37)

Jika jalan sunyi yang kau maksud adalah mengkoar-koarkan dirimu bahwa engkau sunyi, maka dimana letak kesunyiannya?

-16.14, Sabtu,29 Juli 2017
Reportase Modar (Maiyah on 'd Road) 28-29 Juli 2017 
*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay