Sabtu, 29 Desember 2018

SAMUDERA CAHAYA


Partikel (Nur) Muhammad - Manusia Menuju Manusia
Mukadimah Poci Maiyah Januari 2019
Oleh: Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay


Bismillah Ar Rahman Ar Rohiym, dengan segala ketertundukan kami di dalam naungan Cinta-Mu duh Gusti, Yang tidak  ada Cahaya selain Cahaya-Mu untuk menerangi kejuhulan kami, agar  terang benderang kami mengenal diri kami sendiri, dan semoga Engkau Mengizinkan kami untuk barang secuil mampu mengenal-Mu.

La hawla wala quwwata wala sulthona illa billahil ‘aliyyil adziym, bahwa tidak ada keberanian, kepandaian, kehebatan, kesombongan sedikitpun yang berani kami tunjukan, selain bahwa apa yang akan kami lakukan, kami sinauni, murni berangkat dari kesungguhan kami mengagumi, merindukan, mencintai Kekasih-Mu Ya Rabb, maka himpunlah kami kedalam Ridlo-Mu, hantarkanlah kami ke dalam Cinta-Mu, dan Jagalah kami dari mendzolimi diri kami sendiri.
Sebagaimana di bawah pohon itu, dalam rentan luka darah bersimbah, Kekasih-Mu, junjungan kami, justru berbisik ;

“Ya Allah, kepada-Mu aku mengeluhkan kelemahanku, ketidakberdayaanku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih diantara yang mengasihi. Engkau Tuhan orang-orang lemah dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau hendak menyerahkan diriku? Kepada orang-orang asing yang bermuka masam terhadapku, atau kepada musuh yang Engkau takdirkan akan mengalahkanku?

-In Lam takun ‘alayya ghodobun, fala ubaliy-

Hal itu tidak aku risaukan asal Engkau tidak murka kepadaku (Asal Engkau tidak Murka padaku, aku tidak peduli - simbah). Namun Rahmat-Mu begitu amat luas. Aku menyerahkan diri pada Cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, serta menentukan kebaikan urusan dunia dan akhirat. Aku berlindung dari Murka-Mu. Aku senantiasa memohon Ridlo-Mu, karena tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas Perkenan-Mu” (Muhammad - Martin ling ;139)

***

Terlalu lama makhluk yang disebut manusia saling bertikai, bertempur, berperang membunuhi saudaranya sendiri, seakan bahwa apa yang mereka kejar di dunia ini, baik kekayaan, kekuasaan, ketenaran adalah sebaik-sebaiknya pencapaian hidup, bahwa setelah mati mereka menganggap tidak ada lagi babak selanjutnya, kehidupan selanjutnya. Selama ribuan tahun - jelas hal tersebut tidak bisa dihindari sebagaimana yang telah wahyu jelaskan bahwa “yuwaswisu fiy sudhuwrinnas, minal jinnatiy wannas”– kebimbangan, keraguan, kegelapan, kejahatan yang muncul, justeru dari sesama manusia sendiri. Kegagalan mereka untuk mengenali diri mereka sendiri membuatnya tersesat jauh untuk mengenali siapa Pencipta mereka, hingga pada memahami kenapa mereka bisa “ada” di siklus dunia ini.

Maka beruntunglah dan patut disyukuri, manusia-manusia yang telah bersentuhan dengan Maiyah tidak turut terjebak pada keadaan atau konflik yang ada. Bukan Maiyah sebagai simbol, sebagai jargon, sebagai institusi apalagi organisasi, namun maiyah sebagai proses-nuanasa-cuaca yang para manusianya “diperjalankan” kembali mengenali Tuhannya, Utusan-Nya, Wahyu Suci-Nya, Para Malaikat-Nya, serta Ketentuan dan Kehendak-Nya atas  seluruh kejadian kehidupan di semesta ini hingga kehidupan sejati di akhirat nanti. Maiyatullah wa Maiyaturrosul.

Jannatul Maiyah dilatih untuk tidak terjebak pada kesemuan-kesemuan perjalanan tanpa kesadaran, akal dan rasa. Yang pada kondisi umumnya, manusia seringkali belum khatam melewati satu fase, namun memaksa langsung menuju fase selanjutnya. Sadar sebagai bangsa belum, ujug-ujug sudah dipaksa bernegara. Aqil baligh belum, sudah diancam-ancam dengan dan harus takut pada dosa. Kenal Alif-ba-ta, A-b-c-d, Alfa-beta-teta-omega belum sudah diminta bertulis kata berujar makna. Membedakan apa itu berani dan nekat, bergegas dan terburu-buru, baik dan benar saja tidak bisa, eh sudah digiring untuk membangun peradaban atau maju perang, dan betapa wagu jika ada ajakan, himbauan, perintah untuk menyamakan atau menyatukan tujuan/visi, padahal belajar istikomah saja belum.

Bagaimana bisa seseorang memiliki keberanian diri dan kesiapan mental, untuk memiliki sebuah tujuan, jika kejernihan akal, ketenangan hati, kekokohan mental, kekuatan fisik, daya untuk bisa menikmati dan menemukan kebahagiaan dalam setiap situasi, serta keistikomahan yang melebur membentuk karakter saja dia belum selesai? Jika Selalu terburu-buru, jika tersandung dan terus berulang kali tersandung.


***

“law laka law laka ma kholaqtul aflaq” – Jika bukan karena engkau (Muhammad) tidaklah akan Kuciptakan semesta ini.

Ialah Nur Muhammad, makhluk yang kali pertama Allah ciptakan sebelum ada itu ada, sebelum semesta berlangsung, sebelum bangsa malaikat, jin, iblis, tanah, air, udara, logam, bintang-bintang, planet, satelit, matahari, bulan, bumi, langit, manusia diciptakan. Sepercik Nur Muhammad Allah hamparkan, dan berlangsunglah organisme semesta, seluruh makhluk, kehidupan, ruang, waktu, awal dan akhir dalam lingkup Sunnatullah-Nya, dalam Genggaman Irodah dan Kuasa-Nya. Semua mensiklus dalam Sunnah-Nya, pada setiap petik detail yang manusia bahkan seluruh makhluk tak akan mampu memahami ilmu-Nya walau setitik. La rayba fiyh.

***

(Dan Dia menundukan malam dan siang untuk kalian, dan matahari) lafal wasyamsa bila dibaca nashob berarti diathofkan kepada lafal sebelumnya, bila dibaca rafa’ berarti menjadi mubtada (bulan dan bintang-bintang) kedua lafal ini dibaca nashab dan rafa’ (ditundukan) kalau dibaca nashob, maka berkedudukan menjadi hal, dan kalau dibaca rafa’ maka menjadi khobar (dengan perintah-Nya) berdasarkan Kehendak-Nya (Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda Kekuasaan Allah bagi kaum yang memahami-Nya) bagi kaum yang mau mentadabburinya. (Tafsir Al-Jalalain, An Nahl 16:12)

***

Air adalah air, api adalah api, sifat keduanya tidak akan bisa bersatu dan pertemuan langsung keduanya akan mengahancurkan satu sama lain atau salah satunya. Namun keutuhan membuat keduanya berharmoni dalam perbedaannya. Air tak akan mampu bertransformasi, menjadi ringan, menguap keangkasa tanpa panas untuk membebaskannya. Air tak akan mampu kokoh menggunung es tanpa panas rela meninggalkannya sepenuhnya. Dan sial bagi api jika air tak mau mengangkasa mensedakahkan oksigen pada udara, atau diam tak mau mendidih bersinergi menjadi lava melebur bebatuan keras.

Semua memiliki jarak, seperti kata akan kehilangan makna tanpa spasi. Dan setiap jarak adalah pemisah sekaligus pemersatu bagi mereka yang bisa menemukan wasilah/perantara/medium yang tepat. Kenapa harus mempertentangkan air dan api jika besi bisa mengharmonikannya dengan syahdu. Kau ambil air, masukan kedalam panci, didihkan untukmu meracik kopi, teh dan sebagaianya maka bahagialah hidupmu.

Tapi manusia bisa jatuh sangat dalam dan menjadi begitu sombong, rakus, malas, pendengki, pemarah, bersyahwat, dan tamak untuk mengenal dan menaklukan dirinya sendiri. Kemudian lahirlah kehidupan dimana manusia saling bertikai, berebut kekuasaan, memperbudak antara manusia satu dengan manusia lainnya. Bahkan lebih tersesat ketimbang hewan ternak (kal an’am balhum adloll).

Padhal mereka yang bertikai, meski berbeda suku, bangsa, bahasa, budaya, warna kulit, fadilah tetaplah masih dalam satu ras, ras manusia, bukan iblis, bukan malaikat, bukan jin, bahkan, bukan coro. Tanah tak akan membenci rumput, rumput tak akan membenci kambing, kambing tak akan membenci harimau, harimau tak akan memakan membunuh anaknya sendiiri dan masing-masing kesemuanya tak akan membenci menghancurkan ras mereka sendiri, semua saling terhubung, satu kesatuan, satu keutuhan. Kehidupan menyelimuti ruang dan waktu untuk satu dengan lainnya, untuk saling mendorong agar bisa tumbuh dan berkembang.

Maka betapa dzolimnya manusia yang justeru malah membenci, membunuh, memperbudak dan menghancurkan satu sama lain, menghancurkan diri mereka sendiri. Padahal kesemuanya itu berasal dari satu dzat yang sama bernama Nur Muhammad.

***

Tibalah masa dimana rosul ke-313 di utus ditengah-tengan manusia dengan risalah Agung yang tidak hanya berlaku bagi kaumnya, namun membawa rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Alamiyn).

“Laqod jaa akum Rosuwlun min anfusikum ; Sungguh telah datang Seorang Rosul dari Bangsamu sendiri.”

Yang masa tumbuhnya tidak lebih nyaman ketimbang manusia lainnya. Beliau terlahir dalam keadaan piatu tanpa sempat mengenal bagaimana ni’mat rasa ketika seorang Ayah membelai kepalanya, makan dari kerja keras Ayahanya, disentuh pundaknya ketika akan jatuh tersungkur, dan ni’mat di marahi Ayahnya ketika beliau bermain terlalu jauh masuk kedalam lembah, beliau tidak meraskannya. Bahkan menuju fase cah angon, beliau telah kehilangan ibu yang sangat menyayanginya. Beliau tumbuh dengan tidak lebih nyaman ketimbang manusia lainnya, namun apa yang akan berada dipundak beliau jauh lebih berat ketimbang siapapun manusia yang pernah hidup di dunia.

(Baginda) Muhammad hadir ditengah-tengah kehidupan, menyatukan masa lalu- masa kini – masa depan, awal dan akhirat, innalillahi wa inna ilihi roji’un, agar semua makhluk mulai kembali mengenali siapa dirinya sendiri, juga bersiap untuk menyambut kehidupan sejati di Negeri Akhirat kelak. Menguswahkan kerendahan hati, kasih, kebaikan, kesabaran, pengendalian diri, ketekunan agar Rahmat sepenuhnya tersebar ke alam raya.

“Siapa Rosulullah bagimu, bagi kehidupanmu, bagi keluargamu, bagi bangsa negerimu?”

Mampukah kita menyuapi seseorang dengan lembut padahal ia terus memaki-maki diri kita? Mampukah kita rela berbagi harta keluraga kita demi kesungguhan orang lain memeluk islam di dalam hatinya, mampukah kita tetap mendo’akan kebaikan bagi mereka yang memfitnah kita? Menuduh kita dengan sebutan orang gila, tukang sihir, pengada-ngada bahkan dengan mereka yang mengusir kita dari tempat tinggal kita sendiri? hingga kepada mereka yang ingin membunuh diri kita? Mampukah kita bersikap keras terhadap diri kita sendiri, namun lunak, pendamai dan penyemangat bagi sahabat-sahabat kita? Dan beranikah kita semena-mena kepada semesta ini, jika itu semua adalah satu bahagian dari Nur Muhammad?

***

Alhamdulillah ‘ala Kulli hal

Betapa sayangnya Rabb kepada Indoneisa -lewat Simbah sebagai (salah satu) wasilah Rahmat/Sayang-Nya dan penyambung warisan kenabian- berkenan menghadiahi Maiyah dengan Sinau Barengnya kepada manusia-manusia yang seringkali tersandung-sandung itu. Tersandung tidak  karena kelalaiannya disengaja, namun memang karena cuacalah yang membuat mereka menjadi buta mata, tuli telinga, tangan terikat untuk mampu mengenali dirinya sendiri, mau menerima dirinya sendiri, dan bersedia mengkhilafahi dirinya sendiri, dan mengenali kepada siapa sebaik-baik uswah (Rosulullah) yang harus di ikuti.

Di Sinau Bareng, Jannatul Maiyah dilatih berulang kali untuk menelaah serta menerapkan siklus Al Insyiroh agar fase demi fase dalam masa tumbuh tidak timpang atau terbonsai ;

Tadabbur Al Insyiroh ;

Lapangkan dada (jembarno atine, meruang sik, toto niate, sing podo ikhlas lan ridlone) - diangkat bebannya ( berbahagilah, bermesralah, saling mencintailah, tertawa) – tinggikan sebutanmu (gedekno atine, optimislah, berdaulatlah) – kesulitan serta kemudahan (angel-angel titik yo wajar, ngko lag gampang mburine, nyicil sinau sitik, mikir rodo ga linier tapi yo zig-zag, spiral titik ga popo yo, satu nomer)  – kesulitan serta kemudahan (yo jenenge urip wajar ono masalah, tapi jangan sampai masalah menundukanmu, engaku masih punya Allah dan Rosulullah, hayuh dolanan) – telah selesai satu, teruskan/lanjutkan lainnya (sing wis apik diterusno, sing ubed, sing luwih nggetih) -  kepada Tuhanmulah harapan di gantungkan (bahwa Subjek Utama perubahan adalah Gusti Allah, kalau dikabul  disyukuri, tapi ndak usah GR, ojo gumunan).
Manusianya dulu telah  minimal selesai dengan  dirinya, maka kemudian setelah selesai melewati fase pertumbuhannya, keikhlasaan, cinta dan kemandiriannyalah yang akan diperjalankan menuju fase selanjutnya. Karena bagaimana mungkin hati yang bimbang akan bisa membedakan kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Bahkan, seringkali manusia yang berikhtiar mengenali Tuhannya, tentang bagaimana asal muasal semua ini, alasan kenapa ia hidup, alasan apa peranannya di Kehidupan, amanah apa yang Tuhan peracayakan kepadanya, seringkali terjebak dengan ia membandingkan dirinya sendiri dengan Tuhannya, bagaimana bisa perbandingan ini dicerna? Bukankah itu malah menghancurkan eksistensinya sebagi ciptaan/makhluk? Kenapa perbandingan yang ia ambil tidak antara makhluk dengan makhluk? Yang Allah telah memberikan petunjuk dalam Wahyu Suci-Nya ;
“Qul In Kuntum Tuhibunallah, fattabi’uniy yuhbibkumullah - al imron 31”
***
“Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh (ia akan mengenali Kekasih-Nya, ia akan mengasihi dirinya, ia akan mencintai asal penciptaannya, ia akan menantikan perjumpaan dengan Kekasihnya)  ia akan mengenali Tuhannya”

***
Tibalah di penghung kalimat, dengan berulang kali menghela nafas panjang, dengan kesabaran menahan bosan, dengan  ketelatenan menjalani proses Manusia Menuju manusia, hingga pada satu momentum buncah rasa tenggelam dalam gelombang Samudera Cahaya yang terpantul dimana-mana. Dengan tawadlu, ketertundukan, rasa malu, harap-harapan penjagaan atas dijaganya rahasia dalam kesucian-kesuciannya, keanggungan nilai persaudaraan. Sampai suatu ketika seseorang bertanya :
Bagaimana mungkin kalian bisa merasakan rindu yang teramat dahsyat, bahkan jatuh cinta dan mencintai begitu dalam, kepada seseorang yang sekalipun dalam seumur hidup tidak pernah kalian lihat, temui, jumpai?
“Hanya mereka yang mengimani dan mesyahadatinya yang akan mengerti. Ini adalah ni’mat yang hanya ummatnya yang bisa merasakan dan memahaminya. Ia adalah sebaik-baik manusia, sebaik-baik uswah, Tuhan sangat  Mencintainya, yang meski hidup kami terpisah ratusan  tahun, tapi beliau sangat menyayangi kami. Maka, tidak semilyar kalipun kami bisa menemukan alasan untuk tidak jatuh cinta padanya dan menyayanginya sepenuh hati. Bahkan kami sangat sangat takut dan malu, bila-bila kami menyakiti atau mengecewakan hatinya.”
Sollu ‘Alaihi Ya Rosulallah, wa ‘ala alihi wa ashabih ajma’iyn.