Minggu, 09 Juli 2017

POCI SA(L)IKI

Ya 'Alimu Ya Ghofar, al muwafieq ila aqwam thoriiq

Mendengar kata poci membuka cakrawala peradaban-peradaban, sejarah-sejarah, dan dongeng-dongeng rakyat. Bukan Poci jika tanpa cangkir, namun tetap menjadi poci meski cawan tidak menemani, dan bahan materialnya yang terbuat dari tanah liat mengejewantahkan betapa tawadhu'nya negri nusantara kepada asal-muasal penciptaan manusia.

Di Negri lain mungkin poci berubah menjadi tempat penerang sebuah gubug atau seajaib lampu Aladin. Di China poci bisa saja menjadi saksi bisu kematian raja-raja dan keluarganya atas racun yang mereka minum, menjadi sangat wibawa di bangsawan eropa, sesakral tradisi minum teh tradisional jepang-korea, pula ikut menyaksikan betapa Sokrates wafat pada tegukan terakhirnya yang mempertahankan kebenaran di hadapan murid-muridnya.

Poci menjadi sesuatu yang berbeda dan syahdu disini, di Tegal. Tanpa poci teh akan kehilangan jati dirinya, namun sangat sembrono jika menjadikan poci sebagai wadah kopi. Poci memiliki maqom berbeda, poci menerima-mengolah-menyerap rempah-rempah apapun yang manusia masukan kedalamnya, menafakuri ratusan salik di kebun-kebun saat mereka memetik daun dengan gendongan gerabahnya dalam bentuk ibadah mereka, mentadaburi canda jama'ah walimah, kenduri, ataupun pengajian yang menggerutu jika hanya air putih saja yang disajikan dengan berkata "LHA DANING SING METU BANYU INFUS?" 

Sungguh Poci sangat syahdu dan tawadhu menemani manusia-manusia yang katanya dititah sebagai khalifah fil ardl, padahal poci sangat tahu betapa ia turut berjuang saat diciptakannya. Dipilih dari tanah terbaik, dibentuk dengan penuh lemah lembut namun terkandung ketegasan dalam setiap lekuknya, ditempa dengan penuh tekad, dan dibakar hingga ia kokoh dan kuat, bukan untuk apa-apa,
namun tidak lebih dan tidak kurang agar ia menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi lainnya.

* Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay