Semalam
ketika saya berkumpul Mocang (Moci karo
mangan kacang) beberapa sahabat bertanya tentang apa makna dari unen-unen
atau ujaran leluhur yang sering diucapkan orang jawa jaman old "Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat".
Melalui tulisan ini, saya akan mencoba menjelaskan makna dari unen-unen tersebut, akan tapi penjelasan yang
saya utarakan belum tentu benar karena kebenaran hanya milik Alloh semata.
Sesungguhnya, leluhur Jawa memaknai kata Jawa bukan hanya sekedar wilayah geografis
tertentu di muka bumi ini, melainkan lebih dari itu. Jawa pun dimaknai sebagai pola
hidup atau budaya yang senantiasa sadar akan jati diri. Secara sederhana, Jawa
bisa dimaknai dengan Tahu Diri. Jika seseorang belum tahu diri, ia belum bisa
disebut Jawa, belum Njawa. Tahu
diri adalah sesuatu pekerjaan yang sangat berat, terlebih apalagi jika kita
berada dalam dua keadaan yang ekstrim, ketika berada di atas atau ketika berada
di bawah, ketika berkelimpahan atau berkekurangan. Orang Jawa atau Njawa tidak
akan melampaui batas (zalim) ketika
berada dalam dua keadaan ekstrem tersebut.
Orang
Jawa atau Njawa adalah orang yang tahu diri, senantiasa sadar akan, potensi dan
kedudukannya. Orang Jawa atau Njawa adalah orang yang sadar waktu dan ruang
tempat dirinya berada, sadar dengan siapa berhadapan dan dalam keadaan apa.
Jika belum sadar waktu dan ruang tempat dirinya berada, sadar dengan siapa
berhadapan dan dalam keadaan apa, ketahudirian ini akan memampukan orang Jawa
atau Njawa menjadi lembut atau keras, menjadi selunak merpati atau selihai
ular, dalam tempo yang bahkan tidak terlalu lama. Dengan demikian, siapa saja
bisa disebut Jawa atau Njawa meskipun ia tidak berasal dari tanah Jawa dan
bukan keturunan Jawa. Salah satunya adalah Syekh Siti Jenar atau biasa di sebut Syekh Lemah Abang, Beliau adalah keturunan Arab, akan tetapi beliau bukan hanya
disebut Jawa atau Njawa, melainkan juga dianggap sebagai salah satu guru utama
dalam ilmu kesejatian. Jika diri kita lahir di Jawa dan keturunan Jawa namun
belum tahu diri, belum sadar diri, maka mungkin kita masih belum bisa disebut
Jawa Atau Njawa. Dengan demikian, tanah Jawa ini siap menerima apa saja dan
siapa saja yang berasal dari luar Jawa asalkan bisa sesuai dengan nilai
ketahudirian. Leluhur Jawa siap menganggap siapa saja sebagai saudaranya
asalkan sesuai dengan nilai ketahudirian. Pintu tanah Jawa terbuka bagi siapa
saja.
Terkait
dengan unen-unen di atas, leluhur Jawa melihat bahwa ajaran apa pun yang
berasal dari luar harus difilter terlebih dahulu, apakah cocok dengan nilai-nilai kejawaan atau tidak, apakah cocok dengan nilai ketahudirian atau tidak.
Jika tidak terlalu cocok, maka leluhur Jawa akan mengadaptasinya,
menyesuaikannya, agar sesuai dengan nilai-nilai kejawaan. Inilah yang dilakukan
Kanjeng Sunan Kalijaga ketika menggarap (menyesuaikan) ajaran-ajaran dari tanah
Arab (Islam) masuk ke tanah Jawa. Demikian pula dengan ajaran-ajaran yang
berasal dari Barat, pun harus disesuaikan dengan nilai-nilai kejawaan ketika
masuk ke tanah Jawa. Leluhur mengistilahkannya dengan Barat diruwat. Sebetulnya
bukan hanya ajaran dari Arab dan Barat saja yang harus diperlakukan demikian.
Jauh sebelum itu, ajaran Hindu di masa lampau ketika masuk ke tanah Jawa pun
disaring dan diadaptasi sedemikian rupa. Itu sebabnya ajaran Hindu di India
berbeda dengan ajaran Hindu di Jawa, Bali, dan kawasan-kawasan di Nusantara
lainnya. Leluhur Jawa tidak terlalu sreg dengan pemujaan yang berlebihan pada
sosok personal. Itu sebabnya, Bhagawad Gita yang sangat terkenal di India sama
sekali tidak terkenal di Jawa, karena Bhagawad Gita lebih menonjolkan pemujaan
pada sosok personal, dalam hal ini pada Sri Kresna. Sebagai gantinya, leluhur
Jawa menciptakan lakon Dewa Ruci, yang tidak menonjolkan pemujaan pada sosok
personal, karena Guru Sejati, Ingsun (Tuhan dalam diri) Sang Dewa Ruci, berada
di dalam diri setiap manusia. Fungsi dari guru spiritual, mursyid, master,
adalah sekadar membimbing kita agar bisa bertemu dengan Tuhan Alloh atau Guru
Sejati, Sang Dewa Ruci, di dalam diri kita.
Pada
akhirnya benarkah kita ini orang jawa atau sekedar kebetulan lahir numpang
makan di Jawa, sungguh tidak mudah menjadi orang Jawa dan Sungguh
tidak mudah menjadi Njawa.
*Miftahul Aziz