Selasa, 23 Januari 2018

Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat.


Semalam ketika saya berkumpul Mocang (Moci karo mangan kacang) beberapa sahabat bertanya tentang apa makna dari unen-unen atau ujaran leluhur yang sering diucapkan orang jawa jaman old "Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat". Melalui tulisan ini, saya akan mencoba menjelaskan makna dari unen-unen tersebut, akan tapi penjelasan yang saya utarakan belum tentu benar karena kebenaran hanya milik Alloh semata.

Sesungguhnya, leluhur Jawa memaknai kata Jawa bukan hanya sekedar wilayah geografis tertentu di muka bumi ini, melainkan lebih dari itu. Jawa pun dimaknai sebagai pola hidup atau budaya yang senantiasa sadar akan jati diri. Secara sederhana, Jawa bisa dimaknai dengan Tahu Diri. Jika seseorang belum tahu diri, ia belum bisa disebut Jawa, belum Njawa. Tahu diri adalah sesuatu pekerjaan yang sangat berat, terlebih apalagi jika kita berada dalam dua keadaan yang ekstrim, ketika berada di atas atau ketika berada di bawah, ketika berkelimpahan atau berkekurangan. Orang Jawa atau Njawa tidak akan melampaui batas (zalim) ketika berada dalam dua keadaan ekstrem tersebut.  

Orang Jawa atau Njawa adalah orang yang tahu diri, senantiasa sadar akan, potensi dan kedudukannya. Orang Jawa atau Njawa adalah orang yang sadar waktu dan ruang tempat dirinya berada, sadar dengan siapa berhadapan dan dalam keadaan apa. Jika belum sadar waktu dan ruang tempat dirinya berada, sadar dengan siapa berhadapan dan dalam keadaan apa, ketahudirian ini akan memampukan orang Jawa atau Njawa menjadi lembut atau keras, menjadi selunak merpati atau selihai ular, dalam tempo yang bahkan tidak terlalu lama. Dengan demikian, siapa saja bisa disebut Jawa atau Njawa meskipun ia tidak berasal dari tanah Jawa dan bukan keturunan Jawa. Salah satunya adalah Syekh Siti Jenar atau biasa di sebut Syekh Lemah Abang, Beliau adalah keturunan Arab, akan tetapi beliau bukan hanya disebut Jawa atau Njawa, melainkan juga dianggap sebagai salah satu guru utama dalam ilmu kesejatian. Jika diri kita lahir di Jawa dan keturunan Jawa namun belum tahu diri, belum sadar diri, maka mungkin kita masih belum bisa disebut Jawa Atau Njawa. Dengan demikian, tanah Jawa ini siap menerima apa saja dan siapa saja yang berasal dari luar Jawa asalkan bisa sesuai dengan nilai ketahudirian. Leluhur Jawa siap menganggap siapa saja sebagai saudaranya asalkan sesuai dengan nilai ketahudirian. Pintu tanah Jawa terbuka bagi siapa saja.

Terkait dengan unen-unen di atas, leluhur Jawa melihat bahwa ajaran apa pun yang berasal dari luar harus difilter terlebih dahulu, apakah cocok dengan nilai-nilai kejawaan atau tidak, apakah cocok dengan nilai ketahudirian atau tidak. Jika tidak terlalu cocok, maka leluhur Jawa akan mengadaptasinya, menyesuaikannya, agar sesuai dengan nilai-nilai kejawaan. Inilah yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika menggarap (menyesuaikan) ajaran-ajaran dari tanah Arab (Islam) masuk ke tanah Jawa. Demikian pula dengan ajaran-ajaran yang berasal dari Barat, pun harus disesuaikan dengan nilai-nilai kejawaan ketika masuk ke tanah Jawa. Leluhur mengistilahkannya dengan Barat diruwat. Sebetulnya bukan hanya ajaran dari Arab dan Barat saja yang harus diperlakukan demikian. Jauh sebelum itu, ajaran Hindu di masa lampau ketika masuk ke tanah Jawa pun disaring dan diadaptasi sedemikian rupa. Itu sebabnya ajaran Hindu di India berbeda dengan ajaran Hindu di Jawa, Bali, dan kawasan-kawasan di Nusantara lainnya. Leluhur Jawa tidak terlalu sreg dengan pemujaan yang berlebihan pada sosok personal. Itu sebabnya, Bhagawad Gita yang sangat terkenal di India sama sekali tidak terkenal di Jawa, karena Bhagawad Gita lebih menonjolkan pemujaan pada sosok personal, dalam hal ini pada Sri Kresna. Sebagai gantinya, leluhur Jawa menciptakan lakon Dewa Ruci, yang tidak menonjolkan pemujaan pada sosok personal, karena Guru Sejati, Ingsun (Tuhan dalam diri) Sang Dewa Ruci, berada di dalam diri setiap manusia. Fungsi dari guru spiritual, mursyid, master, adalah sekadar membimbing kita agar bisa bertemu dengan Tuhan Alloh atau Guru Sejati, Sang Dewa Ruci, di dalam diri kita. 

Pada akhirnya benarkah kita ini orang jawa atau sekedar kebetulan lahir numpang makan di Jawa, sungguh tidak mudah menjadi orang Jawa dan Sungguh tidak mudah menjadi Njawa.





*Miftahul Aziz