Jumat, 13 Maret 2020

Sabrang MDP: "Mengenal diri saja mengenal Tuhan, apalagi jika merumat.”


Reportase Milad 3 Tahun Poci Maiyah
Oleh: Lingkar Gagang Poci

Gelap yang kian jatuh, tak membuat semangat runtuh. Jamaah dari berbagai daerah tetap sedia — menyimak seksama. Hujan yang mulai reda — kian menyisakan aroma petrichornya. Setelah Sabrang MDP menjelaskan tentang merumat, berbagai respon pun bermunculan. Respon pertama datang dari pegiat Cirebes (Cirebon-Brebes). “Apa yang menjadikan energi pergerakan mahasiswa tidak sebesar ketika tahun 1998?” berdasarkan dari analisisnya, bahwa kegiatan aksi mahasiswa yang menggugat kebijakan pemerintah tak berefek sebesar di akhir abad ke-20 itu. Pertanyaan selanjutnya dari Kang Trian asal Margasari yang nampaknya sedang dalam keruwetan perjalanan pencarian jati diri sejati. “Ngerumat diri yang sejati itu bagaimana?” dilanjut pertanyaan dari Mbak Karmila, jamaah Cirebes, yang menanyakan bagaimana cara ngerumat diri, dalam konteks gotong royong dari diri sendiri. Menarik. Sangat nampak, sinau bareng Milad Poci Maiyah yang ke-3 ini begitu khidmat — cahaya pemahaman meresap pelan, respon jamaah pun tumbuh satu per satu — tak tertahankan. Menambah syahdu acara Milad Poci Maiyah  ke-3 yang bertempat di GBN Slawi, Jum'at malam sabtu itu. (28/2)

Mas Sabrang mendedar analisisnya tentang demonstrasi atau aksi mahasiswa — yang beliau juga ikut mengamati geliat pergerakan anak muda bangsa ini. Cerita tentang kritik teman-teman mahasiswa di Surabaya, agar beliau juga ikut menggugat kebijakan pemerintah, berjuang (atas nama) membela rakyat, atau turun ke jalan. Entah apa yang merasuki mereka, Mas Sabrang dengan gerilyanya, justru super aktif ‘turun ke jalan’ menemui sedulur-sedulur maiyah untuk ‘revolusi sosial’. Dengan thariqat ikhtiar memperbaharui manajemen bangsa dan negara; dengan makrifat tatanan kenegaraan baru, berbekal bisyaroh komplikasi pemerintahan baru, dan pengorbanan yang tak dapat terukur, bersama sedulur maiyah di seluruh negeri. Turun ke jalan seperti apa yang dimaksud, jika mereka hanya turun ke jalan per momentum, kami tiap pekan, tiap bulan turun ke jalan menguatkan mental, intelektual, spiritual — meski sebagian juga ada yang ikut karena lari dari kejombloan yang radikal. Sungguh nackal nasib padamu, kawan. Sabar ya.

“Menurut saya naif, jika menganggap demo itu memecahkan masalah. Pada akhirnya demonstrasi itu menjadi panggung berjoged/karnaval saja. Lalu berselfi, kemudian pulang, dan melakukan aktifitas hedon seperti kemarin dan sebelumnya." “Rakyat memang kekuatan besar, tapi mereka adalah cair, dan tak bisa dipadatkan,” tidak bisa ‘dilembagakan’, kemudian aksi sebelumnya yang berupa alumni-alumni demo mereka di pertama kali, hanya menyisakan mereka yang terikat dengan suatu misi pribadi. “Tidak ada dalam sejarah sebuah revolusi mental yang besar, kecuali disebabkan oleh darurat sosial. Kita tak akan berubah, selama yang dipikirkan selalu orang vs orang, belum orang vs masalah. Kalau saya mau menebang pohon di hutan, yang saya lakukan lebih dulu adalah mengasah kapaknya. Sebelum berangkat ke ‘hutan’ (medan perjuangan untuk menjadi pahlawan), asah dulu kapakmu.”

Di Maiyah kita sinau tentang ilmu pawang. Kewaskitaan manusia nusantara yang tak dimiliki dan tak akan pernah dimiliki manusia modern dimanapun mereka berada. Ilmu gerilya tingkat tinggi, nampak santai, tapi ternyata telah terhitung dan terkonsolidasi segala sesuatunya. Ketika momentum berjumpa dengan lawan datang, dengan sendirinya lawan itu tak berdaya. Filsafat perang lainnya yang tak kalah tinggi dari Jawa adalah kesaktian orang nusantara dulu, yang mampu memenangkan pertempuran tanpa perang, tanpa pertumpahan darah. Karena yang leluhur kita ajarkan adalah beladiri melawan masalah, orang vs masalah. Bukan petarung hebat, ketika ia mampu menjatuhkan lawannya selama ia adalah orang. Sebaliknya, orang kuat adalah mereka yang mampu mendamaikan (bukan hanya sekedar kalah-menang) amarah dalam dirinya sendiri, dan juga masalah-masalah yang dihadapi dalam lingkup sosialnya. Nampak tegang, tapi ketika masalah berdiri berhadapan, ia mengecup tangan dan mengucapkan salam perdamaian pada sang pawang tersebut.

Kemudian merespon pertanyaan dari Kang Trian, Mas Sabrang menjelaskan tentang konsep diri, “Jika kita mengenal diri, maka kita akan mengenal Tuhan. Mengenal diri saja mengenal Tuhan, apalagi jika merumat, akan menjadi bagian dari cinta yang rasulullah bawa: rahmatan lil alamin." “Sedangkan bagaimana kita tahu apa yang kita cari sedangkan kita sendiri tak tahu apa itu, salah satunya adalah dengan proses eliminasi. Terus berpikir. Karena seringkali kita tidak paham, kita sedang menolong atau justru membebani, termasuk diri sendiri. Kita harus sadar positioning, kesadaran dalam ‘ruang dan waktu’. Kalau misalnya kita menjenguk orang sakit, itu kan baik. Tapi kalau kita menjenguk orang sakit di waktu ia mau istirahat karena kecapean menerima banyaknya penjenguk? Itukan beban juga,” kemudian Mas Sabrang MDP melanjutkan, “Peradaban modern itu dibangun dengan dasar kompetensi, kemudian popularitas, sedangkan peradaban Islam dibangun berdasarkan asas manfaat,” yang paling nampak dari peradaban modern adalah karakter transaksional. Asas kompetensi itu baik, jika dikembangkan menjadi asas manfaat, tanpa harus transaksional. Kamu bisa apa, saya beli. Aku bisa ini, kalau mau harus beli. Maka yang terjadi adalah gap, ketimpangan sosial, buta kebutuhan mendasar umat manusia, tentang cinta, tentang kebermanfaatan, tentang Tuhan.




Sinau bareng Milad Poci Maiyah ke-3 malam itu makin malam semakin khusyu. Respon selanjutnya dari Kang David yang menanyakan tentang hakekat kekuasaan, “Merujuk ke ‘ada’-nya Allah, kita harus menggunakan apa untuk mencapai-Nya? Untuk mengenal yang mewujudkan kita itu caranya bagaimana?” selanjutnya dari Kang Ahmad asal Lebaksiu, “Gotong royong seperti apa untuk ngerumat pejabat-pejabat yang tak kapok korupsi?”
Pertanyaan semakin mendalam, ketika dilanjutkan oleh Kang Subekhi, “Kalau Gus Baha kan mengatakan sanad ilmu itu penting, sedangkan Mbah Nun mengatakan agar berdaulat atas diri sendiri, itu bagaimana kita menyikapinya?
“Pakai apa kita untuk mengenal Tuhan? Akal dan iman. Daripada menggunakan energimu untuk kerumitan, lebih baik menggunakan energi besar itu untuk berbuat kebaikan,” Kang Lu’ay merespon pertanyaan dari Kang David.

Pembahasan Tentang Hakekat

Pernyataan Mas David tentang “Awas ada listik nanti tersengat mati, padalah yang punya kuasa untuk mematikan itu cuma Allah. Tapi kalau Allah berkehendak listrik bisa mematikan bagaimana?. Seperti pernyataan Syech Abdul Qodir al-Jalani “Ilahi anta maqsudi wa ridhoka matlubi a’tini mahababataka wa ma’rifataka” yang artinya Tuhanku, Engkaulah yang kutuju dan ridho-Mu yang kuharapkan, beri daku kecintaan dan makrifat kepada-Mu. Jadi kalau sama Allah urusannya cinta.
Di Maiyah kita berlatih untuk percaya bahwa satu-satunya kepastian adalah mati. Karena kita belum benar-benar terbangun untuk mengerti kebenaran sebelum melewati kematian.

Kalau memang kamu sudah putus asa mencari kebenaran. Kenapa tidak kamu gunakan energimu untuk berbuat kebaikan?


Qul inkuntum tuhibbunallah fattabi'uunii. 
Katakanlah (wahai Muhammad) jika kamu mencintai Allah swt, (bersukur atas nikmat yang telah diberikanNya pada kita), maka ikutilah aku (Muhammad saw). Karena satu-satunya pintu untuk mengenal Allah adalah Nabi Muhammad.

Dan apakah pantas mahluk mensifati Tuhan? Tidak ada mahluk yang bisa mensifati Tuhan. Kita tahu tentang Tuhan juga dari Tuhan sendiri yang memberi tahu. Daripada bingung mencari pangeran lebih baik mencari jodoh. Gelgak Gus Luay membuat jama’ah tertawa gembira.
Dilanjutkan respon dari Sabrang MDP, “Manusia memiliki sesuatu yang tak dimiliki Tuhan, yaitu limitasi. Dan nabi-lah yang melebarkan limitasi manusia, semakin mengenal keterbatasan dirinya. Seperti tetes air yang menuju laut."

Perjalanan manusia adalah bagaimana dia bisa melebarkan limitasinya sampai kembali kepada Yang Maha dan kita sebagai manusia harus menikmati perjalannanya.


Pembahasan Tentang Sanad

"Dan tentang sanad, jelas itu penting. Tapi tidak semua orang dapat mengakses ke kitab-kitab atau para ulama. Harus tetap ada ilmu yang aksesnya mudah didapat semua orang. Dan itu adalah pengalaman. Sanad pengalaman itu langsung dari Tuhan. Itu yang disampaikan Simbah tentang kedaulatan diri. Maka yang mampu mepelajari kitab-kitab, pelajarilah secara sungguh-sungguh. Dan yang baru bisa mengakses pengalaman sendiri, pelajarilah secara sungguh-sungguh juga”

Pembahasaan Tentan Tipe Orang Berfikir

“Tipe berpikir orang itu kan ada empat,” Sabrang MDP melanjutkan. “Ada tipe berpikir deklaratif, yang akrab dengan kata ‘atau’. Contoh, kamu mau buah mangga, atau jambu? Ada tipe kumulatif, yaitu dengan kata ‘dan’, contoh, kamu mau buah mangga dan jambu? Ada tipe berpikir serial, contoh, jika kamu mau jambu, mangga, apel, maka... dan keempat tipe paralel, yaitu berpikir secara komprehensif, dari berbagai sudut pandang, akar-pangkal, luar dalam, dst. Sedangkan kebanyakan pejabat cara berpikirnya sederhana, begitupun rakyat yang memilihnya. Maka di sanalah pentingnya ruang publik, karena darisanalah peradaban akan bergerak.

Pembahasan Tentang Hemofili

Kita sering salah mengartikan kata hemofili, di kamus bahasa indonesia itu berbeda dengan arti yang sebenarnya. Hemofili itu orang-orang yang memiliki interest (ketertarikan/minat) yang sama.” Selama ruang publik belum ada, dan para pejabat kita masih sikut-sikutan untuk menang, bangsa ini tak akan berubah. “Karena itulah kita mau seperti ini, untuk mengangkan mereka yang tak bisa terangkat karena ekonomi, karena tak punya koneksi, dan tak mau sikut-sikutan dengan saudaranya sendiri.”

Semoga dengan berbagai nilai yang tersirat maupun tersurat, dapat menjadi bahan merumat; mengenal, merawat diri, hingga mengenal Tuhan dalam segala perjalanannya.