Kamis, 06 Mei 2021

SUGIH




Mukadimah Poci Maiyah Mei 2021
Oleh : Rizki Eka Kurniawan

Bagi siapa saja, memiliki kekayaan merupakan dambaan. Dengan kekayaan, kita bisa hidup layak, tercukupi sandang, papan dan pangannya. Kelimpahan harta benda membuat kita merasa nyaman dan tak lagi mengawatirkan permasalahan finansial.

Di sisi lain, kekayaan juga dikait-kaitkan dengan kerakusan dan ketamakan. Ambisi seseorang untuk bisa menjadi kaya, biasanya membuatnya menghalalkan segala cara untuk bisa memperoleh harta sebanyak-banyaknya. Kekayaan bisa menjadi semacam penyakit delusi yang membuat seseorang tergila-gila oleh harta. Mementingkan dunia dan menganggap bahwa menjadi orang kaya adalah tujuan akhir dalam kehidupannya.

Masyarakat kita mungkin sangat salah kaprah dalam memaknai harta. Kita menganggap orang kaya adalah orang yang memiliki banyak uang ataupun properti. Padahal kepemilikan sangat tidak pantas dijadikan tolak ukur kekayaan. Sebab definisi kaya yang sebenarnya adalah sesuatu yang melimpah, mencurah, memancar bagai cahaya.

Cahaya tak akan pernah habis bila dibagi-bagi, sebab cahaya tercipta tanpa memiliki rongga. Begitu pula orang-orang kaya. Mereka tidak memiliki rongga-rongga kemiskinan yang harus ditutupi dalam dirinya. Hartanya selalu melimpah tak tenilai jemari, apabila dibagi-bagi. 

Dalam sebuah hadits Rasulullah mengatakan: “Manakala hamba Allah bangun pagi, dua malaikat turun ke bumi seraya mengatakan: “Semoga orang yang memberi segera diganti dan yang pelit segera habis hartanya.”

Rumi, seorang penyair sufi mengemukakan hal ini dengan bahasa yang sangat puitis, katanya: “Jangan pernah bersedih hati, apapun yang hilang darimu akan kembali dalam wujud lain.” 

Pada ayat Al-Qur'an, Allah berfirman: “Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.” 

Setiap hal yang kita berikan, akan selalu mendapatkan balasan. Tak ada yang hilang, selagi kita ikhlas melakukannya. Ada hukum pertukaran setara yang berlaku di dunia. Semakin memberi, kita akan semakin memiliki. Sebaliknya, semakin menimbun, kita tak akan memiliki apapun. 

Bercita-cita menjadi orang kaya adalah sebuah cita-cita mulia. Asalkan, kita tidak menjadikan kekayaan sebagai tujuan akhir dari kehidupan. Dengan kekayaan, kita bisa membahagiakan diri, keluarga dan orang-orang sekitar kita. Dengan kekayaan pula, kita bisa menolong banyak orang dan berbuat lebih dalam kebaikan. Namun, jika berhenti hanya menjadi orang kaya, kita tak akan berarti apa-apa. Sebuah mata uang akan bernilai, apabila dipergunakan untuk kebaikan. 

Cak Fuad pernah menuliskan kisah salah seorang sufi yang digelari Ĥujjatul-Islām, Abu Hamid Imam Al-Ghazali. Dikisahkan suatu hari seorang datang bertanya kepada Abu Hamid Imam Al-Ghazali: “Bolehkah saya menuntut ilmu untuk mendaptkan pekerjaan yang layak?” Al-Ghozali membolehkannya dengan alasan itu bukanlah tujuan final. Misalnya apabila dari ilmu tersebut, kita mendapatkan pekerjaan yang membuat kaya, maka pergunakan kekayaan itu untuk membahagiakan keluarga, orang tua dan membantu orang-orang di sekitar kita.

Banyak juga sufi yang kaya raya, salah satunya adalah Ibnu Arabi. Dikisahkan salah satu murid Ibnu Arabi dari Tunisia yang berprofesi sebagai nelayan. Setiap hari, ia selalu membagikan hasil ikan tangkapannya kepada orang-orang miskin dan ia hanya mengambil sepenggal kepala ikan untuk direbus sebagai makan malam.

Lambat laun nelayan itu yang merupakan murid Ibnu Arabi juga menjadi syakh sufi seperti gurunya, Ibnu Arabi. Pada suatu hari, ia merasa galau. Jiwanya hampa dan menjadi sangat rindu dengan nasihat-nasihat gurunya (Ibnu Arabi). Lalu, ia mengutus muridnya untuk pergi ke rumah Ibnu Arabi meminta nasihat untuknya.

Sang murid pun menaati perintah gurunya. Ia pergi ke kota kediaman Ibnu Arabi. Sesampainya di rumah Ibnu Arabi, sang murid menjadi sangat terkejut melihat rumah Ibnu Arabi yang sangat mewah seperti istana. Dindingnya terbuat dari marmer. Seluruh permukaan lantainya ditutupi karpet-karpet mahal. Sepanjang perjalanan menuju pintu rumahnya, lahan-lahan pertanian dan peternakan terhampar luas.  Setiap kali sang murid bertanya kepada orang-orang mengenai siapakah pemilik lahan dan peternakan besar ini? Semua orang menjawab: “Ini adalah lahan pertanian dan peternakan milik tuan Ibnu Arabi.”

Melihat itu sang murid terheran-heran: “Bagaimana mungkin seorang sufi sangat dimanjakan oleh kehidupan duniawi?”

Akhirnya, ia pun bertemu dengan Ibnu Arabi, terlihat banyak pelayan yang gagah dan cantik rupanya. Salah satu pelayan memberikan minuman kepadanya, lalu di saat mereka berdua (Ibnu Arabi dengannya) sudah saling bertatap muka, ia langsung meminta nasihat kepada Ibnu Arabi untuk gurunya. Ibnu Arabi memberikan nasihat kepada sang murid itu dan berpesan untuk menyampaikannya kepada gurunya: “Katakanlah pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.” Mendengar itu sang murid bertambah heran: “Bagaimana mungkin orang yang hidupnya bergelimang kemewahan menasihati untuk tidak terikat dunia kepada seorang nelayan yang hidupnya sangat sederhana?”

Singkat cerita akhirnya ia pulang ke kampung halamannya menemui gurunya. Sang guru pun tak sabar untuk mendengarkan nasihat yang telah diberikan oleh Ibnu Arabi. Ia mendesak muridnya untuk segera bercerita padanya tentang apa yang disampaikan oleh Ibnu Arabi untuknya. Meskipun sebelumnya sang murid enggan untuk menceritakan pertemuannya dengan Ibnu Arabi karena ia menilai bahwa nasihat yang diberikannya sangat tidak masuk akal. Namun, karena gurunya terus menerus mendesaknya ia pun menceritakannya. Dengan penuh keraguan sang murid yang masih bingung itu mengatakan nasihat yang telah diberikan Ibnu Arabi kepada gurunya.

“Ibnu Arabi berpesan kepada guru agar tidak terlalu terikat oleh dunia.”

Mendengar itu sang guru langsung menangis. Muridnya tambah keheranan, lalu sang guru berkata:

“Benar, Syeikh Ibnu Arabi benar-benar tidak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh.”

Kisah-kisah ini menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kekayaan. Kita bebas untuk bekerja dan memperoleh harta benda. Kita juga berhak untuk berbahagia dengan harta yang dimiliki. Namun, satu hal yang harus digaris bawahi bahwa kekayaan tidak bisa dijadikan sebagai tujuan dalam kehidupan. Kekayaan hanya alat untuk berbuat kebaikan sebagai bentuk upaya kita beribadah kepada Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang Bapak Ilmu Ekonomi asal Eropa: “Ada ilahi yang berkebajikan dan bijaksana, abadi, merencanakan dan mengatur mesin raksaksa alam semesta, demikian sepanjang masa untuk menghasilkan jumlah kebahagiaan sebesar mungkin. Dengan demikian dunia itu sempurna: kita menjalani hidup di dalam dunia yang terbaik dari semua dunia yang mungkin.”

Dan orang-orang kaya itu memiliki tanggung jawab besar di kehidupan. Siapa saja orang yang telah dilimpahi Tuhan anugerah kekayaan, maka ia berkewajiban untuk mendermakan hartanya untuk kebaikan. Bila ia serakah, maka kehancuran bukan hanya akan menimpanya saja, tapi orang-orang di sekitarnya bahkan satu negeri bisa binasa. Allah berfirman: wa izaaa arodnaaa an nuhlika qoryatan amarnaa mutrofiihaa fa fasaquu fiihaa fa haqqo 'alaihal-qoulu fa dammarnaahaa tadmiiroo.

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 16)

 

Maka berhati-hatilah…