Jumat, 13 April 2018

PIXEL


REPORTASE • RESOLUSI CAHAYA


"Maiyah itu bukan gula, bukan sirup, bukan madu, tapi manisnya itulah maiyah. Maiyah bukan pisau, bukan keris, bukan pedang, tapi tajamnya itulah maiyah"
Diawali dengan jawaban Kang Mocka, atas pertanyaan jama'ah baru bernama Oki tentang apa itu maiyah, tema Resoulusi Cahaya mulai menggeliat samar memperlihatkan auranya.

06 April 2018, babak baru Poci Maiyah setelah tasyakuran satu tahunnya mulai meniti, banyak hal menarik, banyak hal baru, banyak hal luar biasa. Bisa dilihat bahwa semakin istikomah ditempuh semakin sulit pula para penggiat mengontrol mental, emosi serta moodnya. Ada yang tergopoh-gopoh mencari konsumsi, ada yang mencoba membedah tema namun karena penulis muqodimahnya terlambat alhasil jurus "Allahumma bisa!" digunakan, ada kumpulan pemuda-pemudi baru yang berbeda niat tapi entah bagaimana diperjalankan ke lingkar maiyah, atas ketersesatannya. Ada pula sesepuh hebat yang sangat syahdu dirizkikan oleh Allah untuk rawuh ikut nitis-kaweruh kepada para penggiat tentang apa itu arti akar tradisi dan jati diri.

Kang Dhani salah satunya, yang penuh jujur menyampaikan bahwa beliau pamit kepada istrinya di rumah untuk keluar sebentar namun asyik-mabuk berkumpul turut melingkar. Kejujuran itu luar biasa, namun yang lebih luar biasa lagi beliau tidak hanyut atas apa yang ia senangi dan tetap berpijak pada tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan meminta izin kepada para penggiat untuk wangsul duluan, namun kalimat responnya atas tema Resolusi Cahaya menjadi misteri lain Poci Maiyah;

 "Jika di dalam ilmu desain grafis, resolusi adalah kumpulan pixel warna membentuk sebuah wujud, maka bisa jadi Resolusi Cahaya adalah titik-titik kehidupan yang telah kita alami selama ini dan menjadi satu Resolusi luar biasa."


SubhanAllah, Pakde Teguh membedah lebih maknawi lagi tentang 'hilangnya binerasi' saat membaca muqodimah pada kalimat;

"Di dalam Maiyah siang dan malam adalah satu.."

Hilangnya pemisahan hitam-putih. Bahwa leluhur-leluhur kita sangat arif memaknai kehidupan,  tidak ada istilah sukses bagi mereka, namun idiom yang terus dipatri dalam jiwa tentang arti keberhasilan adalah "dadi uwong", jadi manusia. 

Leluhur negeri kathulistiwa tidak pernah mengejar kapitalisme atau kekayaan pribadi, tidak ada rumah-rumah berpagar tinggi karena pagar terkuat bagi mereka adalah "puluhan piring makan untuk tetangga" alias berbuat baik kepada sekitar niscaya mereka akan menjaga kita pula. Rumah-rumah leluhur selalu menyediakan gentong air untuk sengaja disediakan bagi para pengelana dan peziarah bila-bila mereka kehausan.Yang penting bermanfaat bagi orang lain, itulah khasanah kearifan akar jati diri kita, sehingga ketika alam dan jalal bisa ditemukan kesatuannya, maka lahirlah kamal (kesempurnaan). 

Lantas apa sebenarnya ilmu tentang Resolusi Cahaya yang dibahas malam itu, yang kiranya bisa dituangkan kedalam tulisan ini? Justru disinilah Poci Maiyah menemukan getaran tauhid baru lagi, bahwa;

"Tidak perlu paham,mengerti, dan mampu menjelaskan, itu semua milik Allah atas QudrohNya, yang penting kita bisa merasakan sensasinya terlebih dahulu".

Maka, jika Dzulkifli menenun resolusinya dengan mengemban amanah berat di siang hari sebagai pemimpin dan beribadah di malam harinya, jika Ali Imron merangkangi resolusinya untuk mendidik keluarga, putra-putranya agar jangan pernah menyekutukan Allah,  jika Rosulullah Muhammad yang terkasih memikul resolusinya demi rahmatan lil alamin bahkan memanggil umatnya ketika beliau akan wafat, kemudian, jika hari ini, untuk Negrimu, bangsamu, lingkunganmu, keluargamu dan untuk pribadimu sendiri, apa resolusimu? cahayakah? 


*Muhammad Fatkhul Bary Lu'ay