Sabtu, 11 Agustus 2018

Mengapa Menjadi Petani?



Kita awali dengan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Apa itu Petani, dalam laman KBBI Petani adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam. Mulia sekali pengertian itu, tapi kenyataannya juru bercocok tanam itu jauh sepanjang hayatnya beratapkan mendung kelabu.

Tetapi Pada masa lampau awal negeri agraris ini ranum-ranumnya ada masa ketika petani diriwayatkan sedemikian mulianya. Tersebut dalam kata-kata seorang pejuang dan ulama besar yang saya banggakan KH Hasyim Asyari :
 ”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan di waktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.”
Kita bernostalgia menarik masa kebelakang bagaimana petani digambarkan dalam film layar lebar atau tulisan serta cerita-cerita sebagai figur yang cemerlang walaupun berpenampilan gembel serta compang camping tetapi perannya menjadi jagoan penumpas kejahatan dan sebagai orang dermawan.

Tapi kondisi sekarang postulat pendiri Jamiyah Nahdatul Ulama itu semakin terkikis dan kehilangan gaung, dan dunia petani semakin jauh dari ilustrasi-ilustrasi yang digambarkan dalam film ataupun tulisan-tulisan para pengarang dulu.

Sebelum kita berkecil hati untuk menjadikan anak-anak kita bercita-cita menjadi petani, mari kita cari alasan untuk menjawab mengapa kita dan generasi kita harus menjadi Petani:

Pertama sekarang petani kecil dan buruh tani yang ada sudah pada uzur dan generasi penerus masih enggan meneruskan kegiatan bercocok tanam. Tetapi kedepan kesempatan menjadi petani kaya dan suskses terbuka lebar untuk pengusaan lahan diatas 2 Ha sebab kondisi sekarang yang hampir putus regenerasi petani. Ditambahkan terus berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di dunia pertanian yang akan menjadikan optimis dunia pertanian akan dilirik tetapi tidak mengesampingkan kearifan budaya serta ramah terhadap alam. Serta dengan peran serta pemerintah yang terus menggenjot dunia pertanian sebagai salah satu penyumbang untuk pertumbuhan perekonomian, dengan berbagai hal kebijakan serta besarnya dana yang digelontorkan untuk memperkuat posisi tawar petani itu sendiri dari mulai hilir hingga hulu yang bermuara untuk sebuah kata yaitu KESEJAHTERAAN petani sendiri yang berimbas langsung pada meningkatnya perekonomian negara secara umum.

Kedua kalau dilhat dari perspektif  agama yang saya anut dalam agama Islam Petani adalah pekerjaan yang paling mulia dan banyak sekali balasan kebaikan yang akan diperoleh Bagaimana Imam Syafi’i berpendapat bahwa bertani atau menjadi petani adalah pekerjaan yang paling baik berlandaskan daripada asalnya hanya ada tiga profesi sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Mawardi. Beliau berkata: 
“Pokok mata pencaharian tersebut adalah bercocok tanam (pertanian), perdagangan dan pembuatan suatu barang(industri)”.
Dan petani adalah ahli sedekah tanpa pencitraan yang tersebut  dalam hadits dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu dia berkata:

Telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman melainkan apa yang dimakan dari tanaman tersebut bagi penanamnya menjadi sedekah, apa yang dicuri dari tanamannya tersebut bagi penanamnya menjadi sedekah, dan tidaklah seseorang merampas tanamannya melainkan bagi penanamnya menjadi sedekah”. (HR Muslim).

Itulah kelak alasan kita untuk generasi masa depan yang bertanya kenapa saya harus menjadi Petani.

Ketiga Sekarang kita lanjut Petani sebagai profesi sastrawi, yang menurut Komang Armada:
“Yang menghibur sekaligus jarang dicermati adalah, maqom dunia tani adalah maqom yang sastrawi. Ada relasi romantik antara sastra dengan dunia kaum tani. Ini pendapat subyektif memang, tetapi percayalah, ada benarnya kok. Begini. Profesi berwahana hutan, bukit-bukit, flora, ternak bahkan laut ini adalah silsilah dari mana ide dan gagasan dibedah”.

Sulit, misalnya, membayangkan sebuah karya puisi punya nyawa tanpa menyebut lembah, daun, angin, bunyi serangga, bulir padi. Sewaktu menggubah ‘Huma di Atas Bukit’, bisa jadi Ian Antono tiba-tiba dijatuhi wahyu berwujud anak sungai, “…sebatang sungai membelah huma yang cerah,” katanya. Chairil punya larik masyhur “Cemara berderai sampai jauh…”
 
Dalam ‘Anak Semua Bangsa’, Pramoedya memberi porsi khusus kepada anak tani bernama Trunodongso demi menyampaikan gagasannya. Novelis Mo Yan memilih kata ‘sorgum’ dalam salah satu novel maha karyanya, ‘Sorgum Merah’.

Nah, contoh-contoh tadi cukup kiranya sebagai tetenger seberapa kental kadar kesastrawian profesi ini. 

*Retno AS